[Naskah Ditolak] Apel Pagi

Barisan sudah disiapkan. Para peserta apel berdiri dengan posisinya masing-masing. Ada yang berdiri tegap, ada pula yang separuh menyandarkan kakinya. Tak lama kemudian seorang dari barisan direksi berjalan menuju podium yang telah disediakan di tengah lapangan. Tingginya sedang, dengan bahu sedikit membungkuk dan rambut yang mulai memutih. Gumaman-gumanan kecil langsung terdengar begitu para peserta apel mengetahui siapa yang akan memimpin apel pagi itu. Untuk pagi ini, sepertinya apel akan berjalan lebih lama dari biasanya.

Begitulah rutinitas yang saya lakukan setiap pagi di tempat kerja yang sekarang. Pukul setengah delapan tepat kami berkumpul di lapangan depan untuk mengikuti apel pagi. Setelah semua peserta upacara berikut para pejabat struktural terkumpul, apel pagi dimulai.

Secara bergiliran, salah satu dari pejabat struktural akan menjadi pemimpin apel tersebut. Apel dimulai dengan menyerukan yel-yel dan melafalkan ikrar dari perusahaan tempat saya bekerja. Biasanya juga, satu atau dua orang dari karyawan diminta maju ke depan untuk melafalkan ikrar tersebut. Setelah yel-yel dan ikrar selesai dilafalkan, bisa dilanjutkan dengan beberapa pengumuman atau sedikit pesan-pesan dari pemimpin apel.

Tentang sosok yang saya ceritakan pada bagian atas, beliau adalah salah satu pejabat struktural yang cukup vokal dalam menyuarakan pendapatnya. Jika beliau yang memimpin apel, bisa dipastikan apel hari itu akan berjalan lebih lama dari biasanya. Ada banyak hal yang bapak tersebut paparkan. Mulai dari cerita tentang perusahaan di tahun-tahun terdahulu, hingga ngomel-ngomel tentang karyawan yang katanya tidak pandai bersyukur. Kalau sudah begini, para karyawan senior biasanya akan berkelakar, “Si Bapak pasti lupa suntik insulin pagi ini.” Memang bukan rahasia lagi jika beliau mengidap diabetes.

Khusus untuk hari Kamis, giliran karyawan yang diberi tugas untuk berbicara di depan. Agen, begitu mereka biasa disebut. Topik yang diangkat biasanya diambil salah satu dari enam nilai-nilai yang ditanamkan perusahaan. Biasanya, wacana yang paling sering diangkat adalah tentang kepedulian dan kerja sama. Adapun tentang empat nilai lainnya (Integritas, disiplin, profesional dan komitmen), tak banyak yang membahas karena merasa belum benar-benar bisa menerapkannya.

Sesekali terjadi kejadian tak terduga dalam apel yang kami laksanakan setiap pagi tersebut. Pernah satu kali seorang agen dengan frontal-nya mengkritik salah satu karyawan, yang beberapa hari sebelumnya menolak untuk maju ke depan. Sebuah hal yang cukup membuat kami terkaget-kaget mengingat kritikan tersebut dilakukan di depan para jajaran pejabat struktural perusahaan.

“Sebagai karyawan senior perusahaan, seharusnya kita memberi contoh yang baik bagi para karyawan baru. Dan untuk tindakan karyawan tersebut, sudah sepatutnya dia diberikan Surat Peringatan!” begitu kata karyawan tersebut dengan nada yang berapi-api. Maklumlah, karyawan tersebut bertugas di divisi SDM yang secara tidak langsung turut memantau kinerja para karyawan. Jelas sudah menjadi kewajiban baginya untuk mengingatkan hal-hal yang dinilai melanggar peraturan tersebut.

Kejadian lain, ketika salah satu pejabat struktural secara iseng meminta salah satu karyawan baru yang memimpin pelafalan yel-yel. Kebetulan karyawan baru yang ditunjuk dadakan tersebut satu departemen dengan saya. Jujur saya sendiri terkaget-kaget ketika melihatnya berada di depan podium. Ini mengingat hari itu bukan jadwal departemen kami untuk maju, dan teman saya itu bukan tipe yang dengan sukarela mengajukan dirinya untuk maju ke depan. Bahkan untuk baris di depan saja dia selalu menolak.

Namun rupanya, takdir sudah menggariskan kalau teman saya akan mendapat kejutan. Secara tiba-tiba, pembina apel menunjuknya untuk memimpin pelafalan yel-yel. Dengan malu-malu teman saya pun berjalan menuju podium dan mulai memberikan instruksi.

“Kaki kiri ke depan,” begitu katanya datar dan tanpa basa-basi. Ada sedikit getaran dalam suaranya yang seolah memberitahukan bagaimana gugupnya dirinya.

Saya sendiri bisa merasakan seluruh mata peserta apel langsung tertuju kepada sosok teman saya itu. Loh? Ini kan karyawan baru? Kok bisa memimpin yel-yel? Begitu mungkin pertanyaan yang ada di kepala masing-masing orang.

Dan ketika teman saya mulai melafalkan yel-yel perusahaan, kehebohan terjadi. Kombinasi antara kekagetan para peserta apel dan cara bicara teman saya yang cukup lembut membuat seluruh peserta apel melafalkan ikrar dengan penuh semangat. Hal yang bisa dibilang cukup jarang terjadi sepanjang sejarah saya mengikuti apel pagi di kantor. Perhatian pun langsung tersedot padanya. Bahkan usai apel, beberapa dari pejabat struktural hingga Direktur Utama datang ke tempat kami untuk sekadar menyapanya. Singkatnya, teman saya hari itu sukses menjadi bintang!

***

Catatan :

Beberapa waktu yang lalu, saya mengirim sebuah naskah untuk rubrik Gado-gado di majalah Femina. Tak lama berselang, saya mendapat konfirmasi kalau naskah tersebut belum layak muat. Beruntung saya punya blog ini. Jadi naskahnya masih bisa ditampilkan bagi para pembaca. Yah, kali aja ada pembaca yang sudah pernah mengirim naskah juga dan dimuat, lalu bisa kasih masukan 🙂

44 pemikiran pada “[Naskah Ditolak] Apel Pagi

  1. Teman saya kerja sama perusahaan Jepang, apelnya cuma dua kali sepekan, tapi absensinya ketat. Ini apel tiap pagi? Emang romusha? Atau mau menghidupkan romusha, haha…
    Seperti kata INA kalo dikasih apel Malang atau apel Washington oke oke aja, 🙂

  2. Ping balik: Kado Pernikahan dari Femina | SAVING MY MEMORIES

Tinggalkan Balasan ke wiblackaholic Batalkan balasan