[Dimuat di Gadis] Bendahara Kelas

percikan

Di Departemen tempat saya bekerja saat ini, saya memegang sebuah posisi yang bisa dibilang cukup menyebalkan. Yup, layaknya judul tulisan saya yang dimuat di rubrik Percikan majalah Gadis minggu ini, saya dipercaya mengumpulkan dan mengelola uang kas karyawan.

Tentunya ada risiko dan godaan yang harus saya hadapi saat dipercaya memegang uang kas. Risiko pertama tentunya keberanian untuk melakukan penagihan. Beberapa teman di kantor menolak memegang uang kas dengan alasan tak nyaman jika harus melakukan penagihan. Saya sendiri, mungkin karena saat kuliah sudah pernah juga memegang uang kas, maka rasanya tak terlalu canggung jika harus melakukan penagihan. Risiko lainnya, ini membuat saya terlihat seperti debt collector yang ditakuti teman-teman saat gajian tiba.

Baca lebih lanjut

Femina Writer’s Club

Femina Writer’s Club merupakan salah satu komunitas yang ada di website online Femina. Komunitas ini diasuh langsung oleh tim editor Femina dan setiap tulisan yang dimuat di komunitas akan diberi komentar. Cara pengiriman naskah sendiri cukup mudah. Cukup melakukan pendaftaran di website Femina dan kita pun bisa mengirimkan karya kita. Tentang info pemuatannya sendiri mungkin para penulis harus sedikit bersabar dan mengecek sendiri ke website Femina. Saya sendiri sudah mengirimkan 2 cerpen dan alhamdulillah ditampilkan dan mendapat kritikan yang membangun. Berikut adalah salah satu cerpen saya yang ditampilkan di website tersebut.

***

Akhir Penantian Akan Dian

Sejak beberapa tahun terakhir, sejumput perasaan aneh muncul setiap kali aku memasuki pekarangan rumah ini. Pada warna cat yang dimiliki oleh dinding rumah ini, pada tanam-tanaman yang menghiasi pekarangan, juga pada sepasang kursi kayu yang diletakkan di teras rumah. Semuanya selalu membuatku merasa kembali ke masa lalu. Apalagi jika mengingat kebiasaan Tante Ros duduk di salah satu kursi teras tersebut sambil menikmati teh hangatnya di sore hari, seperti yang kulihat saat ini. Semuanya sungguh membuat hatiku miris.

Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi kediaman Tante Ros dan Om Yusran. Jika saat masih sekolah dahulu aku masih bisa datang sesering mungkin ke rumah ini. Maka ketika memasuki bangku kuliah dan dunia kerja seperti saat ini, kedatanganku ke rumah ini sangat bergantung pada waktu libur yang bisa kudapatkan. Kadang libur semester. Kadang saat libur lebaran. Itupun dalam waktu yang sangat singkat.

Baca lebih lanjut

[Naskah Ditolak] Apel Pagi

Barisan sudah disiapkan. Para peserta apel berdiri dengan posisinya masing-masing. Ada yang berdiri tegap, ada pula yang separuh menyandarkan kakinya. Tak lama kemudian seorang dari barisan direksi berjalan menuju podium yang telah disediakan di tengah lapangan. Tingginya sedang, dengan bahu sedikit membungkuk dan rambut yang mulai memutih. Gumaman-gumanan kecil langsung terdengar begitu para peserta apel mengetahui siapa yang akan memimpin apel pagi itu. Untuk pagi ini, sepertinya apel akan berjalan lebih lama dari biasanya.

Begitulah rutinitas yang saya lakukan setiap pagi di tempat kerja yang sekarang. Pukul setengah delapan tepat kami berkumpul di lapangan depan untuk mengikuti apel pagi. Setelah semua peserta upacara berikut para pejabat struktural terkumpul, apel pagi dimulai.

Secara bergiliran, salah satu dari pejabat struktural akan menjadi pemimpin apel tersebut. Apel dimulai dengan menyerukan yel-yel dan melafalkan ikrar dari perusahaan tempat saya bekerja. Biasanya juga, satu atau dua orang dari karyawan diminta maju ke depan untuk melafalkan ikrar tersebut. Setelah yel-yel dan ikrar selesai dilafalkan, bisa dilanjutkan dengan beberapa pengumuman atau sedikit pesan-pesan dari pemimpin apel.

Baca lebih lanjut

[Cerpen] Bukan Cinderella

Pangeran Erick menatap sepatu perempuan yang kini ada di tangannya. Berbentuk high heels dengan warna putih dan ornameh kristal pada bagian depannya, sepatu tersebut ditemukannya di lantai balkon istana saat pesta dansa berlangsung tadi malam. Sambil memutar-mutar sepatu tersebut, diketuk-ketukkannya jarinya ke sandaran kursi yang ia duduki sekarang.

“Menurutmu apa maksud gadis itu meninggalkan sebelah sepatunya, Ren?” tanya pangeran pada Ren, pengawal setia sekaligus sahabatnya yang sejak pagi sudah menemaninya.

“Kurasa jelas sekali. Dia ingin Anda mencarinya,” jawab Ren dari tempatnya berdiri.

“Maksudmu aku harus mengadakan sayembara dan meminta para gadis di kota ini mencoba sepatu ini? Hah! Kalau begitu caranya mungkin aku akan mendapatkan puluhan gadis yang kakinya pas dengan sepatu in,” kata Pangeran Erick, masih sambil memandangi sepatu di tangannya.

“Atau bisa juga Anda memanggil kembali para gadis yang datang tadi malam dan menanyakan sepatu apa yang mereka kenakan pada pesta tadi malam. Saya rasa itu akan lebih efektif.”

Baca lebih lanjut

[WC#12] Short Story

Kafe itu terletak di salah satu sudut kota. Tak seperti kafe yang sebelumnya ia singgahi, tempat itu lebih seperti sebuah rumah makan ketimbang kafe. Tak apalah, yang penting aku bisa mendapatkan segelas dua gelas minuman dari tempat ini, katanya dalam hati.

Saat memasuki kafe tersebut, terdengar alunan musik yang lembut terdengar dari dalam kafe. Dari pintu masuk, dilihatnya seorang wanita tampak berdiri di panggung yang ada di kafe tersebut. Wajahnya cantik dan suaranya merdu. Dia menyanyikan sebuah lagu yang sangat dikenalnya. Lagu miliknya.

Baca lebih lanjut