Bamboo Rafting di Sungai Amandit

“Kamu yakin mau ikut bamboo rafting?” begitu tanya salah seorang teman saat melihat saya mengenakan jaket pelampung di hari terakhir outbond yang kami ikuti.

Saya terdiam. Jujur saya sendiri agak bimbang kala itu. Di satu sisi saya cukup penasaran dengan kegiatan ini, namun di sisi lain saya juga mengkhawatirkan kandungan saya.

“Nggak usah ikut aja. Bahaya nanti kalau ada apa-apa sama kandungan kamu,” salah seorang rekan kerja yang lain berusaha memberitahu saya. Beliau adalah seorang wanita empat puluhan yang tidur sekamar dengan saya selama outbond.

Saya pun akhirnya melepaskan jaket pelampung dan meletakkannya di tumpukan jaket yang lain. Namun ketika saya mengungkapkan alasan saya tidak mengikuti bamboo rafting, salah satu panitia berusaha meyakinkan saya.

“Ikut aja. Nggak apa-apa kok. Insya Allah aman aja,” begitu kata Bapak itu.

Kali ini lagi-lagi saya berubah pikiran. Saya kenakan lagi jaket pelampung dan bergabung bersama teman-teman yang bersiap turun ke rakit.

Baca lebih lanjut

Pengalaman Outbond di Loksado

Selama beberapa tahun terakhir, setiap satu kali dalam setahun, perusahaan tempat saya bekerja mengadakan outbond bagi karyawannya. Tentunya tidak sekaligus seluruh karyawan yang dikirim untuk mengikuti outbond ini. Setiap tahunnya, 50 karyawan akan diberi surat tugas untuk mengikuti oubond dan bersenang-senang selama beberapa hari.

Akhir April lalu, saya terpilih untuk mengikuti outbond tahunan ini. Sama seperti outbond-outbond sebelumnya, saya dan puluhan rekan kerja lainnya dikirim menuju Loksado selama 3 hari 2 malam. Sebenarnya saya agak ragu mengikuti outbond kali ini mengingat beberapa hari sebelumnya saya baru mengetahui kalau sedang hamil 4 minggu. Namun karena tas dan perlengkapan outbond sudah dibagikan, saya putuskan untuk tetap berangkat. Tentunya saya membawa surat dari dokter untuk diserahkan pada panitia sebelum berangkat nanti.

Meski lahir dan besar di Kalimantan, ini adalah pertama kalinya saya bertolak ke Loksado, salah satu tempat wisata yang sangat terkenal di Kalimantan Selatan. Kami berangkat sekitar pukul 08.00 dan tiba di penginapan sekitar pukul 12.00. Penginapan yang dipilih untuk kami bernama Graha Wisata Amandit yang terletak di Desa Hulu Banyu – Muara Hatip Loksado.

Baca lebih lanjut

Menengok Mesjid Kubah Emas

img_20160306_105528.jpg

Jelang kepulangan kami ke Banjarmasin, saya dan ibu mengunjungi Mesjid Dian Al Mahri atau yang lebih sering disebut Mesjid Kubah Emas. Kata suami sih mesjid ini terletak tak jauh dari rumah orang tuanya. “Setengah jam sampai aja kayaknya,” kata suami kala itu. Nah, berhubung pesawat yang akan membawa kami berangkat pukul 3 siang, maka sebelum berangkat ke bandara kami putuskan untuk menyempatkan mampir ke mesjid yang ternama ini.

“Kita ke sananya naik Uber lagi, kan?” tanya saya pada pagi hari di hari kepulangan.

“Iya.”

“Trus rutenya gimana?” saya bertanya lagi. Dalam pikiran saya kala itu kami harus memesan Uber dua kali karena rute yang berbeda.

Suami diam sejenak. “Kita pilih tujuan bandara tapi nanti minta yang punya mobil mampir ke Mesjid Kubah Emas dulu,” katanya kemudian yang langsung saya setujui.

Berdasarkan informasi yang saya dapatkan di internet, Mesjid Kubah Emas dibuka untuk umum pada pukul 10 pagi. Saya pun langsung memesan Uber dengan tujuan bandara seperti yang disarankan suami. Tak lama menunggu, mobil yang kami tunggu tiba. Kali ini kami mendapatkan (kalau tidak salah) Honda Brio dengan seorang wanita paruh baya di belakang kemudinya. Kalau dikira-kira, mungkin usianya tak jauh berbeda dengan ibu saya.

Baca lebih lanjut

Akhirnya ke Puncak Monas

Salah satu agenda saya dan keluarga selama berada di Tangerang adalah mengunjungi beberapa tempat wisata yang ada di Jakarta. Saat itu beberapa tempat sempat menjadi pilihan. Mulai dari Taman Mini, Kebun Binatang Ragunan, hingga (tentunya) Monas. Nah, berhubung ibu saya ingin berbelanja di Tanah Abang, akhirnya Monas menjadi pilihan untuk dikunjungi. Kebetulan juga saya belum pernah benar-benar melihat bagian dalam Monas jadi saya oke saja dengan keputusan tersebut.

Sehari setelah akad nikah berlangsung, kami berdelapan berangkat menuju Jakarta. Karena tidak ada mobil pribadi , saya dan suami memutuskan menggunakan jasa Uber. Sehari sebelumnya, sepupu suami bercerita tentang layanan yang satu ini plus cara menggunakannya. Akhirnya tanpa pikir panjang saya pun segera menginstal aplikasi tersebut di ponsel milik saya dan suami.

Sekitar pukul 9, kami sekeluarga tiba di pintu depan Monas. Tak banyak orang yang kami lihat hari itu. Kami pun mulai berjalan mengitari lapangan. Saat tiba di depan tugu Monas. saya lihat tampak puluhan orang hilir mudik. Rupanya sejak pagi para pengunjung yang datang langsung menuju ke puncak Monas. Sambil berjalan, saya dan suami berusaha menemukan pintu masuk menuju pelataran Monas tersebut.

Baca lebih lanjut

Universitas Terbuka dan Jodoh

Saya memiliki kenangan tersendiri tentang Universitas Terbuka. Saat itu, saya menjadi salah satu pengawas untuk pembangunan kantor Universitas Terbuka di Banjarmasin. Untuk keperluan pencairan, saya harus terbang menuju Jakarta. Itu adalah untuk pertama kalinya saya mengunjungi kota Jakarta sendirian. Untungnya selama di Jakarta saya mendapat bantuan dari pihak kontraktor. Mereka meminjamkan kantor untuk saya bekerja, juga mengantarkan saya menuju Pondok Cabe tempat Universitas Terbuka berada.

Karena kenangan inilah, saya begitu bersemangat ketika suami mengatakan rumah orang tuanya ada di daerah Pondok Cabe. Dalam hati saya berkata, Wah, apakah ini tempat yang mengaitkan aku dan si Mas? Ya, saya selalu yakin bahwa siapapun yang menjadi jodoh kita pastilah memiliki kaitan dengan kita di masa lalu. Entah itu melalui tempat, keluarga, hingga momen tertentu. Dan untuk saya, selain FLP, ternyata UT juga menjadi tempat yang mengaitkan kami.

“Di mananya UT?” Tanya saya kemudian pada suami.

Baca lebih lanjut