14 hari di rumahNya

Foto di samping diambil saat saya dan keluarga – minus adik bungsu berangkat umroh pertengahan agustus tahun lalu. Kami berempat terlihat berbeda dengan seragam batik berwarna coklat diantara jamaah yang lain memakai sasirangan biru. Kenapa bisa begitu? Karena kami adalah rombongan yang harus berangkat belakangan karena permasalahan visa.

Jadi ceritanya saya sekeluarga beserta rombongan dari travel akan berangkat dari Banjarmasin pada tanggal 1 Agustus 2009. Namun tepat sehari sebelum keberangkatan kami mendapat kabar kalau ada masalah pada visa adik perempuan saya (yang pake kerudung item). Katanya foto adik saya tidak bisa muncul di dokumen visa. Waktu itu kami diberi 2 pilihan. Kami tetap berangkat bersama rombongan sementara adik perempuan saya berangkat belakangan, atau kami berempat berangkat belakangan. Tentu saja kami memilih opsi ke-2. Mana mungkin kami membiarkan Nisa (nama adik saya) berangkat sendiri. So, setelah memberikan jawaban atas pilihan yang diberikan, akhirnya kami mendapat kepastian akan tanggal keberangkatan kami, 08 Agustus.

Awalnya saya sempat berprasangka buruk dengan ditundanya keberangkatan kami ini. Berbagai ketakutan sempat muncul di benak saya dalam menanti hari keberangkatan itu. Takut ditelantarkan, takut tidak ada yang membimbing, dan berbagai ketakutan lain yang muncul di kepala saya. Tambahan lagi, waktu itu kami dititipkan pada travel lain yang jumlah jamaahnya mencapai 200 orang. Apa iya kami masih bisa keurus dengan jumlah jamaah sebanyak ini? Pikir saya kala itu.

Tapi nyatanya ketakutan saya tak terbukti. Sesampai di bandara King Abdul Aziz kami langsung disambut oleh beberapa orang dari travel. Tanpa harus menunggu lama kami bisa langsung meninggalkan bandara, sementara jamaah lain masih mengantri di bandara. Dan ketika kami terbangun untuk melaksanakan shalat subuh perdana di Masjid Nabawi, ternyata rombongan yang berjumlah 200 orang itu baru tiba di hotel.

Dan untungnya lagi kami juga dipilihkan pembimbing yang sangat baik, yang bernama Pak Wahyu. Kalau rombongan lain 1 pembimbing untuk 20 orang. Maka kami serasa menjadi jamaah eksklusif dengan 1 pembimbing khusus untuk kami berempat. Satu hal yang paling menyenangkan dari Pak Wahyu adalah, beliau dengan senang hati bersedia menemani kami berbelanja oleh-oleh. Baik ketika di Madinah maupun di Mekkah. Hal yang mungkin takkan kami dapatkan jika berangkat bersama rombongan.

Selain berbagai kemudahan yang kami peroleh selama 14 hari berada di tanah suci. Saya juga menyimpan beberapa peristiwa yang benar-benar berkesan di hati saya.

Misalnya ketika saya harus berjalan tanpa alas kaki dari Masjid Nabawi menuju hotel karena sandal jepit yang saya gunakan menghilang entah kemana. Dan ternyata besoknya sandal itu sudah saya temukan kembali.

Lalu ketika kami mengambil Miqat di Tan’im, yang ternyata hari itu dilaksanakan hukuman pancung tepat di lapangan di samping mesjid. Sayangnya (atau untungnya) saya tidak melihat langsung prosesi pemenggalan kepala itu. Padahal waktu itu orang-orang beramai-ramai mendatangi lokasi kejadian.

Ada juga adik saya, yang dilamar oleh salah seorang india ketika berbelanja di salah satu toko kain di sekitar Masjidil Haram.

Dan satu pengalaman tak terlupakan yang merupakan akibat dari lisan saya yang tak terjaga ketika berada di Masjidil Haram, yang tak mungkin saya sebutkan di sini.

Semua yang tertulis di atas adalah pengalaman tak terlupakan saya selama melaksanakan tibadah umroh. Namun Tentunya semua pengalaman itu tak bisa mengalahkan indahnya perasaan saya ketika menunaikan ibadah umroh. Ketika memandang Ka’bah. Ketika melaksanakan tawaf. Ketika air zam-zam membazahi kerongkongan saya. Ketika merasakan bagaimana ibunda Hajar berlari-lari di antara Safa dan Marwah.

Semuanya benar-benar berbekas di hati saya. Menerbitkan kerinduan yang tak terkira untuk kembali ke sana.

29 pemikiran pada “14 hari di rumahNya

  1. tiarrahman said: yang sudah ke sana slalu rindu balik lagi ya?

    heeh bang…dulu saya juga bingung kenapa sih orang2 itu selalu bilang pengen ke mekkah lagi. apalagi ibu saya. sampai bosan saya dengar beliau pengen ke mekah lagi. eh ternyata begitu saya sendiri mengalaminya saya juga jadi tau kenapa ibu saya bisa begitu 🙂

Tinggalkan Balasan ke zaidzydan Batalkan balasan