Femina Writer’s Club merupakan salah satu komunitas yang ada di website online Femina. Komunitas ini diasuh langsung oleh tim editor Femina dan setiap tulisan yang dimuat di komunitas akan diberi komentar. Cara pengiriman naskah sendiri cukup mudah. Cukup melakukan pendaftaran di website Femina dan kita pun bisa mengirimkan karya kita. Tentang info pemuatannya sendiri mungkin para penulis harus sedikit bersabar dan mengecek sendiri ke website Femina. Saya sendiri sudah mengirimkan 2 cerpen dan alhamdulillah ditampilkan dan mendapat kritikan yang membangun. Berikut adalah salah satu cerpen saya yang ditampilkan di website tersebut.
***
Akhir Penantian Akan Dian
Sejak beberapa tahun terakhir, sejumput perasaan aneh muncul setiap kali aku memasuki pekarangan rumah ini. Pada warna cat yang dimiliki oleh dinding rumah ini, pada tanam-tanaman yang menghiasi pekarangan, juga pada sepasang kursi kayu yang diletakkan di teras rumah. Semuanya selalu membuatku merasa kembali ke masa lalu. Apalagi jika mengingat kebiasaan Tante Ros duduk di salah satu kursi teras tersebut sambil menikmati teh hangatnya di sore hari, seperti yang kulihat saat ini. Semuanya sungguh membuat hatiku miris.
Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi kediaman Tante Ros dan Om Yusran. Jika saat masih sekolah dahulu aku masih bisa datang sesering mungkin ke rumah ini. Maka ketika memasuki bangku kuliah dan dunia kerja seperti saat ini, kedatanganku ke rumah ini sangat bergantung pada waktu libur yang bisa kudapatkan. Kadang libur semester. Kadang saat libur lebaran. Itupun dalam waktu yang sangat singkat.
Namun sepertinya semuanya tak menjadi masalah bagi Tante Ros dan Om Yusran. Bagi mereka, asalkan aku menyempatkan diri menemui mereka dan membagi ceritaku, itu sudah cukup. Karena itulah kapanpun aku mengabarkan akan menginap di rumah mereka, sambutan hangat selalu mereka berikan padaku, layaknya menyambut kedatangan anak mereka sendiri.
Tentunya bukan tanpa alasan jika aku dengan beraninya menyebutkan bahwa aku sudah dianggap seperti anak sendiri oleh Tante Ros dan Om Yusran. Belasan tahun lalu, saat Dian masih ada di rumah itu, tak terhitung berapa kali aku menginap di rumah Tante Ros. Ibuku sudah menganggap Dian seperti putrinya sendiri. Begitu juga Tante Ros dan Om Yusran terhadapku. Saking dekatnya aku dan Dian, teman-teman yang lain kadang menyebut kami sebagai saudara kembar yang terpisah. Dan seolah-olah semuanya memang sudah diatur, kami memiliki nama yang memiliki arti sama, Cahaya dan Dian.
Perlahan kudorong pintu pagar berwarna hijau kusam yang membatasi tubuhku dengan pekarangan rumah. Terdengar bunyi berderit saat pintu pagar itu bergerak. Tak ada reaksi dari Tante Ros. Seperti biasa ia begitu larut dalam dunianya.
“Assalamu’alaikum, Tante,” sapaku pada Tante Ros saat tubuhku hanya berjarak satu meter dari tempatnya duduk.
Mendengar suaraku, Tante Ros sedikit tersentak dan mendongakkan kepalanya. Seuntai senyum kemudian hadir di wajahnya ketika melihat wajahku.
“Wa’alaikumsalam, Ya! Sudah lama? Maaf Tante keasyikan membaca,” ucapnya sambil berdiri dan meletakkan majalah di tangannya. Segera kuraih tangan kanan Tante Ros dan mencium takzim punggung tangannya tersebut. Sebagai balasan, Tante Ros kemudian memberikan pelukan hangatnya untukku.
“Ayo masuk, Ya. Om juga sudah nunggu dari tadi,” ujarnya lagi sambil merangkul bahuku. Aku tersenyum dan mengikuti langkahnya.
***
Om Yusran adalah sosok ayah yang diidamkan semua anak perempuan. Tubuhnya jangkung dan wajahnya tampan. Di usianya yang sudah setengah abad seperti sekarang, tubuhnya masih terlihat gagah dan tegap, hasil dari olahraga rutin selama bertahun-tahun. Bagian rambutnya sudah mulai memutih, namun tetap tak menghilangkan ketampanan yang selalu menjadi kebanggaan Dian. Beliau juga orang yang sangat menyenangkan jika diajak bicara. Penuh kharisma dan pintar mengambil hati orang. Dan karena ayahku sudah meninggal saat usiaku sebelas tahun, sosok Om Yusran kini sudah seperti ayah kedua bagiku. Dulu, jika hanya sedang berdua saja dengan Dian, aku selalu berkata kalau aku ingin sekali menikah dengan orang seperti ayahnya. Mendengar hal itu, biasanya Dian akan langsung menyentuh bagian keningku, seolah-olah memastikan bahwa aku masih waras.
Begitu melihatku, Om Yusran langsung tersenyum dan melambaikan tangannya. Saat ini dia sedang sibuk dengan burung-burung kesayangannya di halaman belakang rumah. Setelah kepergian Dian empat belas tahun yang lalu, bisa dibilang keberadaan burung-burung tersebut merupakan salah satu hal yang membuat rumah ini tetap ramai. Aku kemudian berjalan mendatangi pria paruh baya tersebut. Kami berbincang sejenak, sebelum akhirnya aku pamit menuju kamar tempatku menginap malam ini.
***
Kamar Dian terletak di bagian ruang tengah rumah, tepat berdampingan dengan kamar kedua orang tuanya. Bagian dalam kamar tersebut dipenuhi barang-barang khas remaja usia empat belas tahun. Dinding kamarnya dicat warna pink, sesuai warna kesukaan Dian. Beberapa poster Hanson dan The Moffats –yang kini warnanya sudah mulai kekuningan- tampak masih menempel di dinding kamar. Di sudut lain, puluhan komik dan aneka majalah remaja tampak tersusun rapi dalam sebuah lemari buku. Beberapa foto dirinya juga tampak terbingkai dengan manis di bagian dinding yang lain. Mulai dari usianya masih balita, hingga yang terakhir saat usia Dian empat belas tahun.
Sampai hari ini aku tak habis pikir bagaimana Tante Ros bisa begitu telatennya menjaga semua barang milik Dian tetap berada pada tempatnya. Setiap hari beliau merapikan kamar ini, membersihkan debu yang menempel pada setiap benda. Beliau juga secara rutin mengecat ulang dinding kamar Dian agar warnanya tak berubah. Semua itu beliau lakukan selama empat belas tahun. Ketika kutanya mengapa beliau melakukan hal itu, Tante Ros menjawab sambil tersenyum, “Untuk berjaga-jaga. Siapa tahu Dian kembali.”
Aku sendiri, hingga saat ini, terkadang masih terus-menerus menyalahkan diri sendiri atas hilangnya belasan tahun yang lalu. Hari, itu di sebuah Jum’at pada bulan Mei tahun sembilan tujuh, sebuah peristiwa kelabu terjadi di kota Banjarmasin. Saat itu sedang musim kampanye, dan kami berdua masih sama-sama duduk di kelas dua SMP.
Seperti biasa, saat pulang sekolah, aku menemaninya menunggu angkot yang akan membawanya kembali ke rumahnya yang berjarak hampir empat kilometer dari komplek sekolah kami. Rumahku sendiri terletak tak terlalu jauh dari sekolah, sehingga sehari-hari aku menggunakan sepeda untuk ke sekolah.
Karena hari itu hari Jum’at, maka lalu lintas di sekitar sekolah lebih padat dari biasanya. Semua anak seolah berebut untuk bisa segera duduk di kursi belakang angkot. Atau kalau misalnya kurang beruntung, mereka harus rela duduk di dekat pintu. Namun tak masalah, asalkan bisa segera pulang. Dian sendiri, setelah setengah jam menunggu, akhirnya mendapatkan angkot yang menuju ke rumahnya.
Lepas shalat Jum’at kabar itu datang padaku. Dimulai dari satu rumah ke rumah berikutnya. Terjadi bentrok antara sebuah partai yang hari itu mendapat giliran kampanye dengan massa. Bentrokan tersebut kemudian berubah menjadi kerusuhan masal. Berbagai kabar datang ke telingaku hari itu. Mulai dari pelucutan pakaian pendukung partai tertentu. Hingga pembakaran tempat-tempat hiburan dan perbelanjaan di kotaku. Korban-korban pun berjatuhan. Ada yang terbunuh saat terjadi bentrokan. Ada yang terpanggang bersama api karena terjebak di tempat perbelanjaan yang dibakar massa. Suasana mencekam seketika menyelimuti seluruh kota, seiring dengan dilakukannya pemadaman listrik dan pemberlakuan jam malam.
Kabar tentang Dian sendiri baru kuketahui di hari berikutnya. Pagi-pagi sekali Om Yusran dan Tante Ros mendatangi rumah orang tuaku. Saat itu di rumah kami tak memiliki pesawat telepon, sehingga tak mungkin bagi mereka untuk menghubungi kami di hari sebelumnya. Keresahan yang terpancar di wajah mereka membuatku yakin suatu hal buruk sudah terjadi.
“Yaya, malam tadi Dian guring disinikah?” Tanya Tante Ros begitu melihatku. Kedua tangannya memegang erat bahuku, sementara matanya menjelajahi bagian dalam rumah.
Mendengar pertanyaan Tante Ros tersebut, rasa ngeri seketika menyelimuti tubuhku. Bagaimana bisa Dian tidak sampai ke rumahnya sementara aku melihat sendiri ia menaiki angkot? Apakah terjadi sesuatu pada angkot tersebut? Tapi bukankah saat itu masih satu jam sebelum shalat Jum’at? Seharusnya Dian sudah tiba di rumah sebelum bentrokan itu terjadi.
“Yaya?” suara tante Ros kembali terdengar di telingaku, mengingatkanku bahwa dirinya masih berada di hadapanku.
“Iya, Tante?”
”Dian ada di sinikah?” Tante Ros mengulangi pertanyaannya.
Maka, sembari mengingat kembali senyum yang diberikan Dian sesaat setelah ia menaiki angkot, aku menjawab pertanyaan Tante Ros. “Kadada, Tante,” jawabku dengan suara bergetar.
***
Setelah mengganti pakaian yang kukenakan dengan kaos longgar dan celana selutut, aku keluar kamar dan bergabung lagi dengan Tante Ros yang kini sudah berada di dapur. Tangannya tampak sibuk mengocok adonan dengan mixer. Di kanan kirinya, tampak berserakan butiran tepung, gula, coklat dan juga beberapa butir telur yang tersusun rapi dalam sebuah rak. Tanpa banyak bicara, aku langsung bergabung dengan Tante Ros, melakukan apa yang bisa kulakukan.
“Kalau Dian ada di sini, pasti dia yang paling bersemangat membuat kue-kue ini,” Tante Ros berkata sambil menuang adonan yang sudah selesai dikocok ke dalam loyang.
Aku tersenyum kecil mendengar perkataan perempuan paruh baya tersebut. Sejak dahulu Dian memang sangat tergila-gila dengan kue. Nyaris setiap minggu dihabiskannya dengan bereksperimen dengan berbagai resep kue. Mulai dari bolu kukus biasa, hingga kue tart untuk ulang tahun. Dan semua kue buatannya itu selalu terasa enak di lidahku. Bukan hal yang aneh sebenarnya, mengingat Tante Ros juga memiliki keahlian yang sama.
Begitu besarnya cinta Dian pada kue, dia bahkan dengan yakinnya berkata akan membuka sebuah toko kue terbesar di kota kami. “Nanti nama toko kuenya adalah Sweet and Love Bakery. Dan kalau kau menikah nanti, kau harus memintaku untuk membuatkan kue pernikahanmu,” begitu katanya kala itu.
“Sampai hari ini, rasanya tak sehari pun Tante lewatkan tanpa merindukan Dian. Entah di mana dia berada sekarang. Kadang Tante berpikir rasanya akan lebih mudah jika waktu itu kita menemukan jasadnya,” Tante Ros berkata lagi. Ada nada sedih dalam suaranya.
Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Tante Ros. Benar kata beliau. Akan lebih mudah jika seandainya kami menemukan jasadnya hari itu, bahkan jika kondisinya mengenaskan sekalipun. Namun nyatanya tidak! Berbilang hari, minggu, bahkan bulan kami habiskan untuk menemukan keberadaan Dian, dan tak pernah ada hasil. Kami mendatangi setiap kantor polisi, rumah sakit, memeriksa setiap jasad korban di hari kelabu tersebut, hingga menyewa detektif untuk mencari tahu keberadaan Dian. Dan meski pada akhirnya kami semua memutuskan untuk menghadiri pemakaman massal dari pada korban peristiwa tersebut, namun entah mengapa rasa penasaran itu tak pernah hilang. Hingga hari ini.
“Tante, ketika saya tiba di rumah kemarin, mama menyerahkan sebuah paket kepada saya. Katanya itu dari Om Erik,” akhirnya aku memutuskan untuk bicara.
Mendengar nama Om Erik disebut, Tante Ros langsung menghentikan pekerjaannya. Tubuhnya tampak menegang. Om Erik adalah detektif yang mereka sewa untuk melakukan pencarian terhadap Dian.
“Paket dari Erik? Kau sudah melihatnya, Ya?” tanya Tante Ros dengan tak sabar.
Alih-alih memberikan jawaban, kusodorkan sebuah amplop coklat berukuran A4 yang kuterima di hari sebelumnya. Tergesa-gesa Tante Ros membuka bagian penutup amplop tersebut. Begitu amplop terbuka. tangannya kemudian menarik selembar foto yang berada di dalamnya.
Selama beberapa detik Tante Ros memandang wajah yang ada pada foto tersebut. Setelah itu, matanya beralih pada catatan yang dilampirkan bersama-sama dengan foto itu. Kemudian, tanpa bisa dibendung, air mata mengalir deras dari kedua matanya. Persis seperti yang kulakukan ketika pertama kali melihat foto tersebut. Ya. Penantian kami selama empat belas tahun telah usai. Dian telah kami temukan. Meski hanya dalam selembar foto yang menampilkan kematiannya.
***
Catatan editor femina
Idenya menarik, tentang orang terdekat yang hilang. Ide ini sebetulnya masih bisa dikembangkan lagi menjadi sebuah cerita bersambung. Sebab, dalam cerpen ini rasanya tidak cukup informasi yang menjelaskan drama hilangnya Dian, dari sudut pandang Dian. Mungkin bisa dari imajinasi. Tidak hanya dalam beberapa paragraf kalimat tak langsung. Bisa juga dieksplorasi lagi tentang hidup yang tak lagi sama setelah Dian pergi. Tentang ayah dan ibunya, ataupun sahabat-sahabat dekatnya.
Bagus Mbak cerpennya, ide ini masih jarang diangkat, dan eksplorasi emosinya bisa pol banget soalnya menyangkut kehilangan seseorang yang dicintai. Iya Mbak, saya setuju dengan sarannya Tim Femina ituh, ini cerita masih bisa dipanjangin lagi, pasti jadinya lebih seru dan keren :)).
Ini sebenarnya juga pernah kukirim buat sayembara femina. Alhamdulillah lewat writer club jadi tahu kurangnya di mana ?
Yah moga ada ide buat bikin cerita panjangnya 🙂
Amin, tetap menulis ya Mbak :hehe.
sesuai saran editor… dijadikan cerber aja, mbak.
keren!
Femina writer’s club..mau gabung ah walaupun nggak begitu mahir bikin cerpen…tapi bisa juga buat belajar kan mbak yaaa
Wah enak kalau ada yang tugas editnya jadi kita bisa tahu di mana letak kekurangannya..
makasih mbak untuk infonya. pengen ikutan deh.
Wah mantap cerpennya.
makasih, mas 🙂
Bagus mbak. Suka bacanya. Tapi masih penasaran. Kemana Dian selama dia menghilang. Tulis lg dong mbak lanjutannya.
doain dapat ide buat lanjutannya ya, mas ryan 🙂
Amin. Didoakan mbak.
Keren cerpennya