[cerpen] Selina Gadis Pengintai

“Whoaa..”

Nyaris saja Selina  terjengkang dari tempat duduknya. Tak jauh di hadapannya kini berdiri seorang pria yang hanya mengenakan handuk pada bagian bawah tubuhnya. Butiran air tampak bergantung di beberapa helai rambutnya. Beberapa tampak berjatuhan di keningnya, dan juga bahunya yang telanjang. Sebuah pemandangan yang sangat mengundang bagi perempuan muda seperti Selina . Jika saja ia tidak sedang bertugas, entah apa yang akan terjadi padanya saat ini. Ditangkap pihak security karena ketahuan menyusup ke kamar orang? Atau yang lebih parah dikira sebagai escort yang sengaja dikirim untuk menggoda pria tersebut? Kalau disuruh memilih, jelas Selina  tidak akan memilih keduanya. Ibunya bisa mati berdiri jika mengetahui ia tertangkap dengan kondisi seperti sekarang.

Untungnya saat ini Selina  sedang dalam menjalankan tugasnya. Karena itu kecil kemungkinan pria tersebut akan menyadari keberadaannya di kamar tersebut. Kecuali jika pria tersebut memiliki kemampuan melihat benda tembus pandang, atau kacamata khusus untuk melihat makhluk tak kasat mata, yang setahu Selina tak satupun dimilikinya. Dan untuk beberapa hal seperti ini, Selina  selalu bersyukur atas kemampuan yang dimilikinya.

Selina menjalankan tugas ini atas perintah Miranda, seorang gadis cantik yang menghubunginya lewat email.

“Aku ingin kau mengikuti Evan selama ia berada di luar kota,” begitu katanya ketika mereka bertemu kemudian.

“Evan? Siapa dia?” tanya Selina.

“Dia adalah kekasihku. Beberapa hari lagi dia akan berangkat ke luar kota untuk urusan pekerjaannya.” Miranda menjawab sambil menyerahkan sebuah foto seorang pria.

“Jadi aku harus mengikutinya kemanapun ia pergi?” Tanya Selina  sambil memandangi foto tersebut.

“Ya.”

“Bahkan ke kamarnya?” Selina  meyakinkan. Matanya masih menatap foto pria tersebut.

“Ya. Tapi tugasmu HANYA mengikutinya dan melaporkan apa yang dikerjakannya padaku. Dan ingat, jarak paling dekat antara kau di Evan adalah 2 meter!” Miranda menjawab dengan nada ketus, mengerti arah pertanyaan Selina .

“Ah, yang benar saja. Tak bisakah jaraknya kau kurangi, Miranda? Aku akan mengurangi bayaranku sebagai gantinya,” Selina  mulai melancarkan rayuannya kepara Miranda.

“Dua meter. Tidak lebih. Kalau kau menolak, aku bisa mencari orang lain. Lagipula ini adalah pertama kalinya kau menjalankan pekerjaan ini, bukan? Tidakkah seharusnya kau mengumpulkan pengalaman terlebih dahulu sebelum bernegosiasi?”

Selina hanya memanyunkan bibirnya mendengar jawaban Miranda. Ini memang pertama kalinya ia menjalani pekerjaan ini, dan sebenarnya ini bukanlah hal yang disukainya. Selain karena mengganggu privasi orang lain, pekerjaan ini juga sangat menguras tenaganya. Jika saja Selina  sedang tak memerlukan uang, ia takkan begitu saja menerima tawaran Miranda. Satu hal lagi, ia juga tak tahan jika harus berhadapan dengan pria tampan. Jika pemberi pekerjaan tidak memberikan instruksi yang jelas, Selina  bisa lepas kontrol menyerap energi yang dimiliki pria tampan tersebut. Ya, itulah sisi buruk dari kemampuan yang dimilikinya.

Tak banyak keluarga di kota ini yang memiliki kemampuan khusus seperti Selina. Mungkin hanya ada sepuluh sampai dua puluh keluarga, dan hanya akan diturunkan kepada anak perempuan. Kemampuan ini akan muncul dengan sendirinya ketika anak perempuan berusia lima belas tahun. Pemilik kekuatan diperbolehkan menggunakan kemampuannya tersebut untuk kepentingan pribadi, termasuk mencari nafkah. Namun rata-rata dari mereka memandang rendah kepada siapapun yang menggunakan kemampuan khususnya untuk mendapatkan uang, meski penghasilan untuk pekerjaan ini bisa berkali lipat dari pekerjaan orang normal.

Selina sendiri sebelumnya memiliki bisnis pakaian yang dijalankan bersama seorang temannya. Sayangnya bisnis tersebut merugi karena ada karyawan yang menggelapkan uang mereka. Selina pun bangkrut dan terlilit banyak hutang. Untuk meminta tolong pada ibunya, ia terlalu gengsi. Karena itu dengan terpaksa Selina  memasang sebuah iklan tentang layanan jasa pengintai tak kasat mata yang rupanya terbaca oleh Miranda.

“Huh. Baiklah kalau begitu. Lagipula kekasihmu juga tak terlalu tampan,” Selina  akhirnya mengalah.

“Bagus. Kalau begitu akan kupesankan tiket pesawat dan kamar hotel untukmu. Kau akan menginap di hotel yang sama dengan Evan. Karena itu lakukan pekerjaanmu sebaik-baiknya. Deal?

Deal.”

***

Tiga puluh menit sudah Selina  duduk di ruang tamu kamar tersebut. Setelah cukup dikejutkan dengan kemunculan Evan yang hanya mengenakan handuk sebelumnya, akhirnya ia memutuskan untuk menunggu Evan di ruang tamu kamar. Tangan kirinya tampak sibuk memencet-mencet tombol di handphone-nya, sedang tangan kanannya memegang sepotong roti yang sudah dimakan separonya.

Untuk menjalankan pekerjaan pertamanya ini, Selina  mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Istirahat sepuas-puasnya, dan tentunya menyimpan cadangan makanan sebanyak-banyaknya. Ini semua penting, karena selama bertugas nanti ia kehilangan banyak tenaga, dan tentunya kesempatan untuk makan dengan normal. Tidak mungkin bukan ia mencomot makanan di hadapan Evan dalam keadaan tak kasat mata? Bisa-bisa satu hotel heboh dibuatnya.

Tepat saat roti yang dimakannya habis, Evan akhirnya muncul. Pakaiannya kini sudah berganti dari selembar handuk menjadi pakaian kerja formal. Kemeja dan celana kain yang disetrika dengan rapi, dasi bermotif polos yang melilit kerah baju, dan sebentuk kacamata yang membingkai matanya, membuat Evan terlihat dua kali lebih tampan dari yang Selina  lihat sebelumnya. Lekas Selina  beranjak dari tempat duduknya ketika melihat Evan mengambil tas kerjanya.

“Pekerjaan dimulai!!” serunya sambil mengikuti Evan keluar dari kamarnya.

***

“Jadi selama beberapa hari ini dia sibuk bekerja?” Tanya suara di hadapannya.

“Tentu saja. Memangnya menurutmu apa yang dilakukannya? Memang tugasnya ke sini untuk bekerja, bukan?” jawab Selina dengan santai. Saat ini dia sedang bersandar di tempat tidur dengan sepotong roti tangannya. Laptop di pangkuannya tampak menyala dengan wajah Miranda di layarnya.

“Kau yakin Evan tidak melakukan hal lain selain bekerja?” tanya Miranda lagi.

“Tidak ada.”

“Kenapa terdengar membosankan sekali?”

“Benar sekali. Bayangkan bagaimana bosannya aku mengikutinya. Kerja, kamar hotel, kerja lagi. Dan yang lebih membosankan adalah, melihatnya terus-menerus menerima teleponmu.”

“Memangnya kenapa?! Itu adalah kewajibannya untuk mengangkat teleponku. Dia kan kekasihku.”

“Nah, kalau kau terus-menerus menelponnya untuk menanyakan kegiatannya, apa gunanya kau menyewa jasaku?”

“Tentu saja ada gunanya. Siapa tahu Evan berbohong padaku, bukan?”

Selina hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Rasanya baru kali ini ia bertemu gadis yang begitu posesif seperti Miranda. Bayangkan saja, selama tiga hari ia menjalankan tugas sebagai pengintai, selama tiga hari itu pula ia menyaksikan sendiri bagaimana Miranda tak henti-hentinya menghubungi Evan. Tiga kali sehari, layaknya jadwal makan, hanya untuk menanyakan apa yang sedang dilakukan kekasihnya itu.

Yang lebih membuat Selina  heran, Evan tak terlihat bosan dengan panggilan-panggilan rutin tersebut. Selalu menjawab panggilan Miranda dengan jawaban yang manis seperti, “Iya, Sayang. Aku lagi kerja,” atau, “Aku juga kangen kamu, kok,” yang kemudian dilanjutkan dengan obrolan sepanjang lima belas sampai dua puluh menit, sementara Selina hanya bisa memandangi Evan dalam jarak dua meter dengan tatapan bosan.

“Kau sendiri, apa yang sedang kau lakukan?”

“Kau tidak lihat? Aku sedang menikmati makan malamku di kamarku. Sepotong roti isi daging yang kubeli 2 hari yang lalu. Untunglah masih bisa dimakan.”

“Kenapa kau berada di kamarmu?! Bukankah seharusnya kau memantau kegiatan Evan?”

“Astaga. Ini sudah tengah malam, Miranda. Evan sudah tidur. Buat apa aku memantaunya saat ia sedang tidur?”

“Bukankah sudah kukatakan padamu, siapa tahu Evan berbohong. Lagipula aku ingin tahu apakah dia mengigau saat sedang tidur. Cepat kembali ke kamarnya!”

Layar laptop di pangkuan Selina seakan bergetar ketika Miranda mengeluarkan teriakannya barusan. Tanpa berpikir lagi Selina  langsung menutup laptopnya tersebut, tak peduli apakah Miranda sudah selesai dengan kalimatnya atau belum.

“Dasar sinting!!” Ucapnya sambil beranjak dari tempat tidurnya.

***

Selina memandang wajah pria di sampingnya dengan tatapan berbinar-binar. Hari ini adalah hari ke tujuh ia menjalan tugasnya sebagai pengintai, juga hari terakhir Evan berada di kota ini. Dan sesuai dengan perkiraan Miranda, di hari ke tujuh ini Evan akan dibebaskan dari tugas kantornya.

“Bagaimana mungkin aku mengikutinya kalau kau masih membatasi jarak antara aku dengan Evan? Kau pikir taksi itu seluas apa?” tanya Selina malam sebelumnya dalam percakapan webcam-nya dengan Miranda. Keduanya sedang berdebat tentang “jarak aman” yang masih harus dipatuhi Selina di hari terakhirnya bertugas.

“Memangnya kau tidak bisa menghilang dan muncul di tempat lain?”

“Tidak bisa. Aku hanya bisa menghilang, tapi tak bisa berpindah tempat. Kekuatan seperti itu hanya dimiliki orang-orang tertentu,” Selina berusaha menjelaskan.

“Hmm, baiklah kalau begitu. Kau boleh berdekatan dengannya. Tapi hanya di dalam taksi. Selain itu, kau harus tetap berada 2 meter darinya.”

“Ayolah, Miranda. Hari ini hari terakhirku bekerja. Tak bisakah kau memberi sedikit keringanan?” Selina masih berusaha membujuk Miranda.

“Tidak. Aku tak mau mengambil resiko. Aku sudah cukup sering mendengar pengintai yang kehilangan kontrol dirinya karena berada terlalu dekat dengan orang yang diintainya. Hanya dalam taksi, tak lebih,” Miranda tetap bersikeras dengan peraturannya, membuat Selina lagi-lagi hanya bisa memanyunkan bibirnya.

“Yah, setidaknya jalanan yang macet ini bisa membuatku cukup lama berdekatan dengan Evan,” kata Selina dalam hati ketika mengingat obrolannya Miranda tersebut.

***

Taksi yang mereka tumpangi akhirnya tiba di tempat tujuan. Sebuah mal yang terletak di pusat kota. Evan yang selama enam hari terakhir tampil formal dengan kemeja dan celana kain, hari ini tampak santai dengan kaos polo dan celana jeans yang ia kenakan. Tas ransel yang selama perjalanan tadi diletakkanya di samping tubuhnya, kini sudah tersampir kembali ke salah satu lengannya.

Dari gerak-geriknya sebelum berangkat pagi tadi, Selina bisa menebak kalau hari ini Evan tak hanya akan berbelanja di mal tersebut. Beberapa kali ia tampak mengirim pesan melalui handphone-nya ke sebuah nomor. Evan juga sudah menyiapkan sebuah bingkisan yang ia bungkus dengan kertas kado sederhana. Dari situ Selina mengambil kesimpulan kalau Evan akan menemui seseorang hari ini. Siapakah orang itu? Itulah yang menjadi pertanyaan Selina.

Dengan santai Selina terus berjalan mengikuti Evan. Jarak dua meter yang ditentukan Miranda, ditambah dengan kecepatan jalan Evan yang nyaris dua kali dari kecepatan jalannya, membuat Selina nyaris keteteran. Untungnya tepat ketika keduanya berada di depan sebuah toko buku ternama, Evan menghentikan langkahnya. Evan kemudian mengambil handphone dari kantong celananya dan menghubungi seseorang dengan handphone tersebut.

Setelah beberapa menit Evan menunggu di depan toko buku tersebut, seorang perempuan muda datang menghampirinya. Dari bahasa tubuh yang mereka gunakan, terlihat bahwa Evan dan gadis muda tersebut sudah cukup akrab. Setelah berbincang sebentar, keduanya kemudian berjalan beriringan. Kali ini menuju sebuah area foodcourt yang ada di mall tersebut. Tak ada kesan canggung antara Evan dan perempuan muda tersebut. Keduanya tampak asik dengan pembicaraan mereka sambil tanpa sungkan menghabiskan makanan di hadapan mereka.

***

Sudah hampir 30 menit Selina mondar-mandir di kamar tidurnya. Malam ini adalah malam terakhirnya bertugas sebagai pengintai. Dan tak kurang dari 5 menit lagi Miranda akan menghubunginya untuk menanyakan kegiatan yang dilakukan Evan hari ini. Apa yang harus dikatakannya? Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya? Ataukah sebaiknya ia berbohong saja pada gadis itu? Selina mulai menggigit-gigit kukunya, sebuah kebiasaan yang ia lakukan jika sedang memikirkan sesuatu. Dan tepat ketika ia sudah mengambil keputusan, laptop miliknya bersuara.

“Jadi dia bertemu dengan seorang gadis?”

“Begitulah.”

“Bagaimana wajahnya? Cantik?” tanya Miranda lagi.

“Manis kalau kubilang.”

“Apakah mereka terlihat sangat akrab?”

“Kurasa begitu.”

“…”

“Tenang saja. Kurasa mereka hanya berteman.”

“Kau yakin?”

“Seratus persen.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Jadi aku sudah boleh tidur?”

“Ya. Jangan lupa ambil cekmu besok.”

“Tentu saja.”

Selina menutup layar laptopnya dengan nafas lega. Tadi adalah laporan terakhirnya kepada Miranda selama menjalankan tugas sebagai pengintai. Besok pagi, ia akan segera meninggalkan hotel dan kembali ke rumah mungilnya. Pakaian-pakaian miliknya sudah tersimpan rapi di koper sejak berjam-jam yang lalu. Sedang Evan, pria tampan itu mungkin sedang menikmati perjalanan pulangnya saat ini.

Meski memutuskan memberitahukan pertemuan Evan dengan gadis itu, ada satu hal yang tidak ia beritahukan kepada Miranda. Tentang pembicaraan yang terjadi antara Evan dengan gadis yang ditemuinya siang tadi. Selina sadar dengan merahasiakan isi pembicaraan tersebut, ia telah melanggar kode etik pekerjaannya sendiri. Namun untuk kali ini Selina lebih memilih untuk mengikuti kata hatinya. Dia yakin Miranda takkan marah atau melaporkan dirinya ke komite para pengintai. Terlebih jika cincin yang disimpan Evan di saku bajunya sudah bertengger di jari manisnya nanti.

“Kau sungguh gadis yang beruntung, Miranda,” katanya sebelum menutup mata.

***

28082012

Cerita Selina selanjutnya bisa dibaca di sini.

22 pemikiran pada “[cerpen] Selina Gadis Pengintai

    • Selina kalau dalam bayangan saya manusia, dok. Kalau di film-film mungkin dia termasuk kategori penyihir. hihi
      Soal pembicaraan Evan dengan Selina, itu juga yang masih saya pikirkan sampai sekarang. hehe

  1. Ping balik: Selina Case 2 : Finding Mr. Mechanic | SAVING MY MEMORIES

  2. Ping balik: [Fan Art] Selina – Gadis Pengintai | New-Rule

  3. Ping balik: Selina Story : Wedding Day | SAVING MY MEMORIES

  4. Ping balik: Seleksi Teman Ngeblog – Jejak-jejak yang Terserak

Tinggalkan komentar