I Hear Your Voice

Selama bertahun-tahun aku membayangkan pertemuanku dengan cinta pertamaku. Dia adalah seorang gadis yang kutemui sepuluh tahun yang lalu. Wajahnya cantik dan  pemberani. Dengan keberaniannya, ia telah menyelamatkan hidupku dan memberi keadilan atas kematian ayahku.

Setiap hari aku menyusuri jalan di Yeon Ju sambil berharap bisa menemukan sosoknya kembali. Sosoknya terekam dalam tiap lembaran buku harian yang mengiringi perjalanan kehidupanku selama sepuluh tahun terakhir. Dan meski sepuluh tahun telah berlalu sejak pertemuan kami, aku yakin akan bisa langsung mengenalinya.

Sayangnya saat hari pertemuan itu akhirnya tiba, aku dihadapkan pada kenyataan pahit. Cinta pertamaku ternyata tak seperti yang kubayangkan. Dia masih cantik seperti dulu, dan kini bekerja sebagai pengacara publik di Yeon Ju. Namun alih-alih menjadi pengacara hebat, dia malah menjelma menjadi seorang pengacara payah yang bahkan tak mau berusaha untuk membela kliennya. Selain itu ada sisi lain dari dirinya yang belakangan kuketahui, yang membuat diriku harus banyak mengurut dada.

Baca lebih lanjut

[Cerpen] Bukan Cinderella

Pangeran Erick menatap sepatu perempuan yang kini ada di tangannya. Berbentuk high heels dengan warna putih dan ornameh kristal pada bagian depannya, sepatu tersebut ditemukannya di lantai balkon istana saat pesta dansa berlangsung tadi malam. Sambil memutar-mutar sepatu tersebut, diketuk-ketukkannya jarinya ke sandaran kursi yang ia duduki sekarang.

“Menurutmu apa maksud gadis itu meninggalkan sebelah sepatunya, Ren?” tanya pangeran pada Ren, pengawal setia sekaligus sahabatnya yang sejak pagi sudah menemaninya.

“Kurasa jelas sekali. Dia ingin Anda mencarinya,” jawab Ren dari tempatnya berdiri.

“Maksudmu aku harus mengadakan sayembara dan meminta para gadis di kota ini mencoba sepatu ini? Hah! Kalau begitu caranya mungkin aku akan mendapatkan puluhan gadis yang kakinya pas dengan sepatu in,” kata Pangeran Erick, masih sambil memandangi sepatu di tangannya.

“Atau bisa juga Anda memanggil kembali para gadis yang datang tadi malam dan menanyakan sepatu apa yang mereka kenakan pada pesta tadi malam. Saya rasa itu akan lebih efektif.”

Baca lebih lanjut

My Love From Another Star

Perlu waktu tiga tahun hingga akhirnya aku bisa bertemu lagi dengan sosoknya. Di tengah puluhan wartawan dan kamera mereka yang berkilat sosoknya tiba-tiba muncul. Tak ada yang berubah dari dirinya. Masih jangkung dan tampan, tak bertambah tua sedikitpun. Dengan mantap ia berjalan menuju ke arahku, melewati orang-orang yang berdiri membeku. “Aku sudah bilang jangan keluar pakaian terbuka, ” katanya setelah menyampirkan jas luarnya ke punggungku yang terbuka.

Aku menyentuh wajahnya. Masih tak percaya dengan sosoknya yang kini berada di hadapanku. Ini jelas bukan ilusi, seperti yang pernah kualami tiga tahun yang lalu, saat menunggunya di menara Namsan di hari keseratus kebersamaan kami. Sosoknya benar-benar nyata. Tanpa sadar air mata menetes dari mataku.

“Kau kembali,” kataku masih tak percaya

“Ya, ini aku,” jawabnya.

Baca lebih lanjut

[Selina Story] Broken Date

Cerita sebelumnya di sini.

Selina menatap daftar menu di tangannya. Entah sudah berapa kali ia membolak-balik lembaran kertas tersebut, namun belum juga ia bisa memutuskan menu apa yang akan ia pilih. Padahal pada lembaran-lembaran kertas berwarna yang dilaminasi tersebut terdapat aneka jenis makanan yang sangat menggugah selera (yah, setidaknya dari foto yang ditampilkan). Mulai dari cemilan ringan seperti kentang goreng, aneka pasta kesukaan Selina, hingga es krim aneka rasa. Bahkan jika Selina hanya ingin meminum jus sekalipun, daftar menu yang diberikan tak kalah panjang dengan daftar makanannya.

Masih sambil membolak-balik daftar menu, Selina melirik ke arah pria yang duduk di hadapannya. Pria itu tampak masih sibuk mengetikkan sesuatu pada ponsel miliknya. Sejak mereka menginjakkan kaki di kafe tersebut, pria di hadapannya ini tak bisa lepas dari ponselnya. Entah apa saja yang diketiknya pada layar benda segi empat panjang tersebut. Jika tidak mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka, mungkin sudah sejak beberapa menit yang lalu Selina mengambil ponsel tersebut dari tangan si pria, dan melemparkannya sejauh mungkin.

Selina kini menghela nafasnya. Sudah sepuluh menit berlalu, dan pria di hadapannya masih saja sibuk dengan ponselnya. Ini takkan berhasil, katanya dalam hati. Siapapun pasti takkan merasa nyaman jika kehadirannya tak dipedulikan, apalagi jika orang itu sudah susah payah mempersiapkan dirinya untuk pertemuan ini. Akhirnya Selina pun menutup daftar menu di tangannya. Pada pramusaji yang sejak beberapa menit lalu menunggunya, ia berkata, “Maaf, Mbak. Sepertinya saya tidak jadi makan di sini.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Selina pun meninggalkan mejanya. Dia bahkan tak mau repot-repot berpamitan pada pria yang sebelumnya duduk di hadapannya.

***

Baca lebih lanjut

Dil Chahta Hai – Siddharth

Aku bertemu Tara Jaiswal dalam perjalanan pulang. Saat itu dirinya sedang kerepotan memindahkan koper-koper besar miliknya ke rumah yang akan ditempatinya. Sempat kutawarkan diri untuk membantunya. Namun wanita itu menolaknya. Barulah saat gagang kopernya patah, ia menyerah dan menemukanku yang sedang memperhatikannya dari kap sebuah mobil.

Ada banyak barang yang dibawaTara. Namun yang paling menarik perhatianku adalah tiga lukisan yang tersimpan dalam salah satu kopernya. Ketiga benda tersebut membuatku merasa perlu memberitahunya sebuah kebenaran. “Aku seorang pelukis,” begitu jawabku ketika Tara bertanya tentang kegiatanku sehari-hari. Dan seperti yang sudah kuduga, Tara tampak antusias dan langsung meminta izin untuk bisa melihat lukisanku.

Saat setuju untuk menunjukkan lukisanku pada Tara, aku tak pernah menyangka bahwa saat itu pula aku menunjukkan sisi terdalam diriku padanya. “Kau bertemu orang-orang, berbicara dan tertawa dengan mereka. Namun ada sebuah dunia dalam dirimu, yang penuh dengan mimpi, fantasi, yang tidak kau bagi dengan orang lain. Bahkan mungkin mereka yang mengaku mengenalmu sebenarnya tak benar-benar mengenalmu,” begitu katanya saat memandangi lukisanku.

Baca lebih lanjut