Trimester Tiga Kehamilan

Alhamdulillah minggu ini usia kehamilan saya sudah memasuki minggu 38. Kalau kata orang sih, sudah tinggal menunggu harinya, sebab dari minggu 37, bayi sudah siap lahir. Saya sendiri juga sudah tidak sabar menanti kelahiran si Dede Cinta, panggilan sayang saya dan suami untuk si bayi. Pengennya sih lahirnya sebelum HPL mengingat kata dokter ukuran bayi saya lumayan besar. Terakhir periksa kemarin, beratnya sudah 3,3 kilo, asli deh saya nervous dibuatnya. Antara yakin dan tidak yakin bakal bisa lahiran normal atau tidak.

Menjalani trimester tiga ini, kayaknya tidak terlalu berbeda dengan trimester dua kemarin. Perut yang membesar dan pegal di sana-sini merupakan dua hal yang pasti dirasakan. Namun ada beberapa hal yang saya ingin catat lebih detail tentang hal-hal yang saya alami di trimester tiga kehamilan. Adapun beberapa hal yang bisa saya rangkumkan dari kehamilan trimester tiga ini antara lain:

Bayinya ternyata lumayan besar

Saat saya dan suami periksa ke dokter kandungan di usia kehamilan 33 minggu, secara spontan dokter mengatakan kalau ukuran bayi saya lumayan besar. Kalau tidak salah beratnya sekitar 2300 gram sementara menurut tabel kehamilan idealnya berat bayi usia 33 minggu sekitar 1800 gram saja. “Kamu harus mulai kurangi makan nasi dan yang manis-manis. Kalau tidak ini lahirnya bisa 3,5 kilo nanti,” begitu kata dokter kala itu. Saat itu saya agak bandel dan tidak terlalu disiplin soal diet karbo ini. Makan nasi memang rada dikurangi sih, tapi saya masih suka ngemil kue. Apalagi di kantor godaannya lumayan besar.

Baca lebih lanjut

Belajar tentang ASI di Kelas EdukASI AIMI Kalsel

20161124_153634.jpg

Hari itu, saya bersiap menuju IAIN Antasari untuk mengikuti Kelas EdukASI yang diadakan oleh AIMI Kalsel. Saat akan berangkat, ibu tiba-tiba menegur saya.

“Mau ke mana lagi?” tanya ibu.

“Mau belajar tentang ASI. Lanjutan yang kemarin,” jawab saya. Memang hari sebelumnya saya sudah mengikuti kelas pertama dari Kelas EdukASI ini

“Ah, menyusui aja harus ikut kelas segala. Mama dulu nggak pakai belajar lancar-lancar aja ASI-nya,” kata ibu saya lagi.

Saya hanya tersenyum mendengar jawaban ibu saya itu. Memang sebagai ibu dari 3 orang anak, ibu saya terbilang sukses memberi ASI pada saya dan kedua adik saya. Seingat saya, tak satupun dari kami yang berkenalan dengan susu formula di masa kecil. Ya selain karena susu formula mahal juga karena ASI ibu saya cukup tadi.

“Ya mumpung gratis ini, Ma,” jawab saya kemudian. Usai percakapan singkat dengan ibu, saya pun langsung memacu motor menuju lokasi acara.

Baca lebih lanjut

Jenis Kelaminnya Apa? Mau Melahirkan Di mana?

“Jenis kelaminnya apa?”

Memasuki usia kandungan 5 bulan, saya mulai sering mendapat pertanyaan seperti ini dari orang sekitar. Memang bisa dibilang ini adalah salah satu pertanyaan yang paling sering muncul saat seorang ibu hamil mulai membuncit perutnya. Ada yang bertanya secara langsung, ada juga yang iseng iseng menebak-nebak dari bentuk perut dan wajah si ibu hamil. Menanggapi pertanyaan ini, biasanya saya hanya tersenyum dan memberikan jawaban sesuai yang diberikan dokter setelah pemeriksaan USG.

Dari yang saya tahu, jenis kelamin janin mulai terbentuk saat kehamilan berusia 3-4 bulan dan bisa diketahui saat pemeriksaan USG. Karena itulah, saat usia kehamilan memasuki minggu 17, saya berinisiatif menanyakan jenis kelamin janin yang dikandung pada dokter yang memeriksa saya. Dokter kemudian meletakkan alat USG pada bagian yang memperlihatkan bagian kaki janin. “Belum jelas, sih. Tapi kayaknya sih perempuan. Lihat ini ada belahannya. Biasanya kalau ada belahan begini jenis kelaminnya perempuan,” kata dokter sambil menunjukkan bagian sebelah dalam kaki janin.

Saya hanya manggut-manggut mendengar penjelasan dokter. Aslinya sih saya dan suami ingin memiliki anak laki-laki. Meski begitu, tentu saja kami tetap antusias menyambut kehadiran Dede bayi. Apalagi ini anak pertama. Toh kalau misalnya anak pertama perempuan, bisa program lagi buat anak kedua. Hehe. “Lagian kalau perempuan biaya akikahnya nggak mahal,” canda saya pada suami sepulang dari pemeriksaan kehamilan rutin hari itu.

Baca lebih lanjut

Membuat Buku Pink (KIA) dan Perkembangan Trimester 2 Kehamilan

Sekitar minggu ke-20 kehamilan, saya dan suami memeriksakan kandungan ke dokter Rizarina yang berpraktik di RS. Islam Banjarmasin. Saya memilih dokter ini pertama karena beliau berjenis kelamin wanita dan sebelum hamil juga sempat periksa plus program hamil di tempat beliau. Sebenarnya sih saya pengen juga nyoba periksa ke dokter lain biar dapat perbandingan gaya meriksa. Tapi mungkin karena merasa hamilnya nggak ribet akhirnya saya balik lagi ke beliau buat periksa kandungan plus sesekali ke bidan juga.

Nah, setelah selesai memeriksa kandungan hari itu, dokter Rizarina tiba-tiba menyarankan agar saya segera membuat buku pink alias buku Kesehatan Ibu dan Anak. “Biar gampang bikin akta kelahiran anak,” begitu kata dokter Rizarina. Saya sendiri sudah pernah mendengar tentang pentingnya memiliki buku pink ini bagi ibu hamil. Tapi yang saya tahu, untuk mendapatkan buku pink ini ibu hamil harus periksa ke Puskesmas.

“Bikinnya di mana, Dok?” tanya saya kemudian.

“Di Puskesmas,” jawab dokter lagi tepat seperti dugaan saya.

Sepulang dari dokter, saya pun mencari-cari info di mana bisa mendapatkan si buku pink selain di Puskesmas. Maklumlah, ya, saya malas antri di kalau di Puskesmas. Eh ternyata setelah bertanya kepada seorang teman, saya jadi tahu kalau klinik bersalin yang letaknya tak jauh dari rumah bisa memberikan buku itu.

Baca lebih lanjut

Janin yang Mulai Bergerak

Malam itu, saya dan suami sudah bersiap-siap tidur. Seperti malam-malam sebelumnya, saya memintanya mengelus-elus perut yang sudah semakin membesar. Katanya sih, di usia kehamilan trimester kedua, janin sudah mulai bisa merasakan sentuhan dari luar. jadilah

Saat hampir terlelap, tiba-tiba saja suami berkata, “Eh, perutmu kenapa?”

“Kenapa memangnya, Mas. Tadi ngerasain dede bayi nendang, ya?” tanya saya kemudian.

“Iya. Tadi kayak ada yang ngetuk-ngetuk dari dalam gitu. Kupikir itu bunyi perutmu,” kata suami lagi.

Saya tertawa. “Horee akhirnya kamu bisa merasakan gerakan dede bayi. Senang, nggak?” tanya saya lagi. Jelas ini adalah momen yang sangat menyenangkan bagi saya dan suami. Setelah mencoba berkali-kali, akhirnya suami bisa merasakan sendiri gerakan janin di perut saya di minggu 24 kehamilan.

Baca lebih lanjut