USG yang Bikin Kangen

“Kita lihat dede bayi, yuk,” kata suami pada saya pada suatu sore. Saat itu kehamilan sudah memasuki usia 12 minggu.

Saya berpikir sejenak.

“Yah, nggak bisa hari ini, Mas. Kalau bulan Ramadhan kan bidannya buka pagi aja,” kata saya kemudian. Saya ingat hari itu sudah Sabtu sore, dan kebetulan bidan yang kerap kami kunjungi tidak buka sore hari.

“Senin pagi aja, gimana?” tawar saya kemudian.

“Oke, deh,” jawab suami akhirnya.

Senin pagi, sekitar pukul sembilan, saya izin keluar kantor untuk pergi ke klinik bidan yang akan kami kunjungi. Selama bulan Ramadhan, klinik tersebut buka dari pukul sembilan pagi hingga pukul dua belas siang. Salah satu alasan saya memilih bidan ini adalah adanya fasilitas USG dalam pemeriksaannya. Biayanya juga jauh lebih murah ketimbang jika harus ke dokter kandungan.

Suami tampak sudah menunggu saat saya tiba di klinik. Saat itu, kliniknya sendiri juga baru buka. Tanpa perlu menunggu lama, saya dan suami sudah berada di ruang periksa bersama bu Bidan dan seorang asistennya.

Baca lebih lanjut

Sepenggal Kisah Meet & Greet Tere Liye

Penunjuk waktu pada monitor di hadapan saya sudah menunjukkan angka empat lewat tiga puluh. Tak seperti biasanya, saya segera membereskan barang-barang di meja. Memasukkan ponsel, al qur’an, dan tentunya menutup semua laman yang ada di monitor saya. Sesudahnya, saya berjalan ke luar ruangan tempat beberapa rekan bekerja.

“Kalian jadi ‘kan ke acara Tere Liye?” tanya saya pada kedua teman yang terlihat masih anteng di depan monitor mereka masing-masing. Ya, hari itu, di atrium Duta Mall Banjarmasin akan diadakan acara Meet and Greet bersama Tere Liye. Bagi para pecinta buku, kayaknya nggak asing lagi dengan nama yang satu ini. Tere Liye bisa dibilang salah satu penulis paling produktif dan bukunya laris manis di dunia perbukuan Indonesia. Saya sendiri meski bukan fans berat, namun masih menikmati novel-novel beliau. So, saat mengetahui Tere Liye akan hadir di Banjarmasin, pastilah saya takkan melewatkannya.

“Iya, kami ke sana, Kak. Tapi sebentar lagi. Memangnya Tere Liye-nya sudah datang? Ntar kayak kejadian kemarin. Sudah datang ke lokasi eh ternyata bang Tere tidak jadi datang,” jawab Nita, salah satu rekan kerja saya.

Saya hanya tertawa mendengar jawaban teman saya itu. Memang benar beberapa bulan sebelumnya tersiar kabar kalau Tere Liye akan hadir di Gramedia Duta Mall Banjarmasin. Sayangnya karena satu dan lain hal, kedatangan Bang Tere kala itu dibatalkan. Padahal teman-teman saya itu sudah dengan semangatnya mendatangi lokasi pertemuan. Rupanya kala itu mereka belum berjodoh dengan Bang Tere Liye.

Baca lebih lanjut

Gaya Lebaran Kita Beda!

“Di keluarga kamu, kalau lebaran biasanya ada sungkemannya, nggak?”

Itulah salah satu pertanyaan yang keluar dari mulut suami saya di tahun pertama kami merayakan Idul Fitri.

Saat itu, dengan mantap saya menjawab, “Ada dong.”

Lalu suami bertanya lagi, “Sungkemannya yang kayak gimana?”

“Ya, yang kayak biasa. Maaf-maafan ke yang lebih tua. Memangnya kenapa?” Saya balik bertanya.

“Kalau di keluargaku, biasanya acara sungkeman itu panjang prosesnya. Bisa setengah jam lebih,” suami menjelaskan. Saya hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya. Tak lama ia kemudian mengambil ponselnya. “Aku mau nelpon orang tuaku dulu, ya,” katanya pada saya.

Sambil tetap berdiri di sampingnya, saya turut mendengarkan percakapan suami dengan keluarganya di pulau seberang. Tahun ini, entah tahun keberapa sosoknya tak berada bersama keluarga di saat lebaran. Sudah barang tentu momen seperti ini menjadi saat yang cukup mengharukan baik bagi suami maupun kedua mertua saya.

Baca lebih lanjut

Balada Kue Kering

img_20160703_154631.jpg

Di masa kecil, saya dan adik perempuan kerap membantu ibu kami membuat kue kering jelang lebaran. Kala itu dengan penuh semangat saya dan adik mencetak adonan-adonan yang sudah dibuat ibu sebelumnya. Ada yang berbentuk bunga, hati juga kemiri dengan isian selai. Biasanya prosesi pembuatan kue kering ini berlangsung 1-2 hari sebelum lebaran.

Tahun berlalu, ibu saya mulai malas membuat kue kering. Alasan utamanya karena kebanyakan kue kering yang dibuat itu ujung-ujungnya tidak habis dimakan. Tak banyak memang tamu yang berkunjung ke rumah kami jika lebaran tiba. Apalagi makin ke sini saya selalu merasa lebaran semakin kehilangan keseruannya. Hingga akhirnya, kebiasaan membuat kue kering pun menghilang di keluarga saya.

Tahun ini, memasuki Ramadhan kedua bersama suami, saya memutuskan untuk membuat kue kering untuk lebaran. Pengalaman berkali-kali menggunakan oven milik ibu membuat saya cukup percaya diri akan berhasil dengan proyek ini. Apalagi suami juga mendukung dan berjanji akan membantu dalam membuat kue kering ini. Jadilah saya semakin bersemangat dengan rencana saya.

“Jadinya kita mau bikin apa hari ini?” tanya suami di Minggu siang. Baca lebih lanjut

Bamboo Rafting di Sungai Amandit

“Kamu yakin mau ikut bamboo rafting?” begitu tanya salah seorang teman saat melihat saya mengenakan jaket pelampung di hari terakhir outbond yang kami ikuti.

Saya terdiam. Jujur saya sendiri agak bimbang kala itu. Di satu sisi saya cukup penasaran dengan kegiatan ini, namun di sisi lain saya juga mengkhawatirkan kandungan saya.

“Nggak usah ikut aja. Bahaya nanti kalau ada apa-apa sama kandungan kamu,” salah seorang rekan kerja yang lain berusaha memberitahu saya. Beliau adalah seorang wanita empat puluhan yang tidur sekamar dengan saya selama outbond.

Saya pun akhirnya melepaskan jaket pelampung dan meletakkannya di tumpukan jaket yang lain. Namun ketika saya mengungkapkan alasan saya tidak mengikuti bamboo rafting, salah satu panitia berusaha meyakinkan saya.

“Ikut aja. Nggak apa-apa kok. Insya Allah aman aja,” begitu kata Bapak itu.

Kali ini lagi-lagi saya berubah pikiran. Saya kenakan lagi jaket pelampung dan bergabung bersama teman-teman yang bersiap turun ke rakit.

Baca lebih lanjut