Pantai Takisung yang Kini Berwarna

Ada yang menarik dari pemandangan di bibir pantai Takisung. Dari kejauhan bisa saya lihat pesisir pantai tampak berwarna-warni. Setelah didekati, ternyata warna-warni itu berasal dari payung-payung yang ditegakkan di tepian pantai. Di bawahnya, tampak beberapa orang sedang duduk bersantai sambil memandangi mereka yang asyik berenang.

“Mau sewa payung, Bu? Biar kada kepanasan. Tiga puluh ribu aja,” begitu kata seorang pemuda pada saya dan suami. Selain pemuda tersebut, beberapa pemuda lain juga menawarkan payung milik mereka. Rupanya di pantai ini, setiap payung memiliki pemilik yang berbeda-beda.

“Bentar, Mas. Saya mau nyari keluarga yang lain dulu,” balas saya pada si pemuda. Mata saya sibuk mencari-cari beberapa sosok yang sebelumnya membersamai kami dalam perjalanan menuju Pantai Takisung.

“Wah, kayaknya mereka sudah dapat payung duluan, Mas. Maaf, ya,” kata saya setelah menemukan sosok paman dan salah satu sepupu saya. Pemuda itu tampak tak keberatan dengan penolakan saya dan langsung berjalan menjauh. Setelahnya kami pun berjalan menuju anggota keluarga saya sedang duduk santai.

Baca lebih lanjut

Resepsi Pernikahan

Setelah resmi menjadi suami istri pada 20 Mei lalu, akhirnya resepsi pernikahan saya dilangsungkan pada 7 Juni 2015. Meski masih dalam suasana berduka setelah kepergian abah beberapa hari sebelumnya, alhamdulillah acara tetap bisa berlangsung dengan lancar.

Sejak awal, mama memang bersikeras agar resepsi pernikahan saya diselenggarakan di rumah saja. Selain karena pertimbangan biaya, juga kondisi abah (yang kala itu masih sakit), mama juga sepertinya agak kapok dengan pernikahan yang diselenggarakan di gedung saat adik saya dulu menikah.

Pemilihan tanggal 7 Juni sebagai hari resepsi pernikahan sendiri sebenarnya lebih karena alasan teknis. Salon yang diinginkan Mama untuk merias saya sudah kepenuhan job di bulan Mei. Akhirnya resepsi yang mulanya akan digelar tanggal 24 Mei harus dimundurkan ke tanggal 7 Juni. Itu artinya mertua saya tidak bisa menghadiri pernikahan kami dan hanya datang di hari resepsi.

Baca lebih lanjut

Dari Gunung Kayangan ke Mandi Angin

“Kak, Sabtu sibuk, ngga? Kami mau jalan-jalan ke Taman Labirin,” tanya seorang adik pada saya beberapa waktu yang lalu. Mendengar nama Taman Labirin, sontak saya bersemangat. Taman Labirin merupakan sebuah tempat wisata baru di kabupaten Tanah Laut yang sedang booming beberapa bulan terakhir.

Sesuai rencana, Sabtu pagi kami bertujuh Untuk menuju ke Taman Labirin ini, kami menempuh perjalanan sekitar satu jam menuju Taman Agrowisata Tambang Ulang di kabupaten Tanah Laut. Sebelum menjejakkan kaki di Tambang Ulang, terlebih dahulu kami mampir di Gunung Kayangan, sebuah spot lain di kabupaten Tanah Laut yang juga cukup terkenal. Untuk masuk ke tempat ini setiap kepala dikenai iuran Rp. 5000,-

Pada bagian atas tempat ini, terdapat sebuah bangunan mirip musalla tempat orang biasanya mengambil foto. Ukiran Tanah Laut dalam huruf raksasa menjadi ikon utama dari tempat wisata ini. Sayang aneka macam coretan hiasan batu tempel ini berkurang keindahannya. Puas berfoto-foto di Gunung Kayangan, kami pun kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan kembali ke Tambang Ulang.

Baca lebih lanjut

Mesjid Nurul Jannah QMall Banjarbaru

Ada yang berbeda saat saya mengunjungi Q Mall Banjarbaru beberapa hari yang lalu. Ketika salah seorang teman akan menunaikan salat Dzuhur di musala yang ada di lantai dua, ternyata musala tersebut ditutup. Sebagai ganti, para pengunjung yang ingin menunaikan salat diarahkan untuk menuju ke masjid yang berada satu lantai di atas.

Menggunakan eskalator, kami pun bergegas menuju tempat yang dimaksud. Tepat di samping zona bermain anak Time Zone, sebuah pintu kecil bertuliskan Masjid Nurul Jannah sudah menanti. Pada bagian depannya, sebuah pohon palem diletakkan sebagai penanda.

Belasan anak tangga menanti saat kami memasuki pintu masuk. Setiba di ujung tangga, sebuah ruangan besar sudah menunggu. Di salah satu sisi terdapat rak untuk meletakkan alas kaki, juga kursi panjang untuk melepas penat. Di tengah ruangan, empat buah pohon palem ditanam sebagai penghias ruangan. Beberapa orang tampak duduk pada cetakan yang menyelimuti pohon palem, mungkin menunggu anggota keluarga mereka yang masih menyelesaikan salat.

Baca lebih lanjut

Lesehan H. Djari

Hujan menyapa Ahad pagi di kota Banjarmasin. Lima orang wanita, di kediaman mereka masing-masing saling bertukar pesan melalui ponsel mereka.

“Jadi nggak kita berangkat? Hujan lebat, nih,” kata wanita pertama.

“Jadi aja. Kita tunggu sampai hujan reda,” jawab wanita yang lain.

“Ada yang berpikiran dibatalkan saja rencananya?” tanya wanita yang satu lagi.

“Nggak. Kita tetap berangkat. Insya Allah hujannya tidak lama,” wanita kedua bersikeras meski sebenarnya hujan masih turun dengan lebatnya

Wanita ketiga pun akhirnya mengalah, dan setuju untuk menunggu hujan reda. “Ok,” begitu balasnya melalui ponselnya.

Sekitar pukul delapan, hujan reda. Keempat wanita berkumpul di depan perpustakaan daerah kota Banjarmasin, untuk kemudian berangkat bersama-sama menuju kota tetangga, Banjarbaru. Seorang lagi teman mereka sudah mendahului bersama temannya. “Kita langsung bertemu di Murjani saja,” begitu katanya lewat pesan BBM.

Baca lebih lanjut