“Di keluarga kamu, kalau lebaran biasanya ada sungkemannya, nggak?”
Itulah salah satu pertanyaan yang keluar dari mulut suami saya di tahun pertama kami merayakan Idul Fitri.
Saat itu, dengan mantap saya menjawab, “Ada dong.”
Lalu suami bertanya lagi, “Sungkemannya yang kayak gimana?”
“Ya, yang kayak biasa. Maaf-maafan ke yang lebih tua. Memangnya kenapa?” Saya balik bertanya.
“Kalau di keluargaku, biasanya acara sungkeman itu panjang prosesnya. Bisa setengah jam lebih,” suami menjelaskan. Saya hanya manggut-manggut mendengar penjelasannya. Tak lama ia kemudian mengambil ponselnya. “Aku mau nelpon orang tuaku dulu, ya,” katanya pada saya.
Sambil tetap berdiri di sampingnya, saya turut mendengarkan percakapan suami dengan keluarganya di pulau seberang. Tahun ini, entah tahun keberapa sosoknya tak berada bersama keluarga di saat lebaran. Sudah barang tentu momen seperti ini menjadi saat yang cukup mengharukan baik bagi suami maupun kedua mertua saya.
“Pak, aku mau sungkeman,” kata suami setelah beberapa menit percakapan basa-basi dengan orang tuanya. Setelahnya, suami saya pun memulai prosesi sungkeman jarak jauhnya. Ia memulainya dengan salam, shalawat dan dilanjutkan dengan permohonan maaf dalam bahasa Jawa yang tentu saja tak saya mengerti.
Selesai suami mengucapkan permohonan maafnya, di seberang sana, ayah mertua membalas dengan bahasa Jawa yang kalimatnya tak kalah panjang dengan suami. Ah, ini sungguh jauh berbeda dengan kebiasaan keluarga kami yang prosesi sungkeman hanya berlangsung dalam hitungan menit.
Tak hanya perihal sungkeman, dalam hal masakan lebaran juga ternyata ada perbedaan antara keluarga saya dan suami. Ibu saya selama bertahun-tahun terbiasa menyajikan nasi kuning atau lontong sebagai menu lebaran di rumah. Menu yang terbilang sangat sederhana terutama jika dibandingkan dengan menu olahan keluarga lain.
“Memangnya tiap tahun menu lebaran kalian ini aja, ya?” tanya suami di tahun kedua kami merayakan Idul Fitri.
“Iya. Kalau nggak lontong ya nasi kuning. Pernah juga sih bikin soto. Tapi udah lama banget,” jawab saya.
“Kalau di rumahku biasanya Mamaku bikin ketupat dan menu lainnya. Kalau nasi kuning kan tiap hari juga bisa makan,” kata suami saya lagi.
Saya hanya terdiam. Ah, mungkin sudah saatnya bagi saya untuk mencoba resep opor ayam agar di tahun depan kami sekeluarga bisa menyajikan ketupat untuk menu lebaran.
aku kak lebaran tanpa baju baru
aku awalnya nggak pengen beli juga. tapi ujung-ujungnya tetap beli. he
Haha semuanya beda walaupun maksutnya sama ya
iya, mbak 🙂
Di kampung saya gak ada sungkeman, cukup salaman saja. Bahkan dengan orang tua pun juga hanya salaman. Setahu saya seluruh orang Minang gak ada yang sungkeman. Paling banter hanya pelukan. Mungkin ini karena jiwa egaliter yang sudah berlangsung sejak dulu kala.
Selamat lebaran idul fitri 1437 H, maaf lahir dan batin.
oo gitu, ya, mas. kalau orang jawa pasti ada sungkemannya kayaknya. di keluarga saya juga kayaknya sungkeman itu bukan hal yang wajib
met idul fitri juga. mohon maaf lahir batin
Aku sungkeman aslinya cuma salaman biasa, cuma sejak di rumah ada kakak ipar, proses sungkemnya jadi kayak di tipi-tipi karena orangtua harus duduk, terus satu persatu sungkeman gantian gitu…
kakak iparnya orang jawa, ya?
Iya, orang Surabaya tepatnya…