Film Non-Hollywood yang Bikin Susah Move On

Bicara soal film, mungkin hampir semua orang menyukainya. Selain menghibur, film juga bisa memberikan wawasan dan pengetahuan baru bagi penontonnya. Bagi saya sendiri, film bisa menjadi salah satu sumber ide untuk menulis cerpen atau beberapa tulisan pengingat diri.

Jika ditanya genre film kesukaan saya, maka dengan pasti saya akan menyebutkan drama sebagai jawabannya. Entah itu drama romantis atau drama komedi romantis. Ini mungkin karena film drama itu biasanya dekat dengan keseharian kita sehingga membuat saya merasa nyaman menontonnya.

Selain film Hollywood, saya juga kerap menonton film-film negara lain. Entah itu film Bollywood, Thailand, Iran, Korea, juga Perancis. Nah berikut adalah film-film non-Hollywood yang sukses membuat saya susah move on.

Bollywood – 3 Idiots

Di mata saya, 3 Idiots merupakan salah satu film terbaik yang diproduksi industri perfilman Bollywood. Film ini tak hanya sukses secara komersil, namun juga membawa pesan moral tersendiri. Kalau kata saya, film sukses menampar penonton dengan aneka quote yang keluar dari mulut pemerannya.

3 Idiots sendiri bercerita tentang kehidupan 3 sahabat dengan latar belakang yang berbeda-beda. Ada Raju yang sebenarnya pintar namun terkungkung oleh kemiskinan. Ada juga Farhan yang terpaksa masuk fakultas Teknik untuk mengikuti kemamuan ayahnya meski dirinya lebih mencintai dunia fotografi. Terakhir ada Rancho yang jenius namun kadang terlalu vokal menyuarakan pendapatnya dan sulit diatur.

Dengan setting institus teknik terbaik di India, 3 Idiots membuka mata kita tentang bagaimana kadang kita sistem pendidikan bisa memenjarakan kita. Salah satu quote yang selalu saya ingat dari film ini adalah sebuah kalimat diucapkan Rancho pada kedua sahabatnya:

Never study to be successful, study for self efficiency. Don’t run behind success. Follow behind excellence, success will come all way behind you.”

Thailand – Bangkok Traffic Love Story

Film ini saya tonton saat sedang galau-galaunya menanti datangnya sang Pangeran yang menjadi jodoh saya. Film ini bercerita tentang Mei Li yang merasa kesepian setelah ditinggal sahabatnya menikah. Kesepian yang semakin terasa menyakitkan saat dirinya sadar bahwa selain Ped, dia tak punya orang lain lagi untuk bisa menjadi tempatnya berbagi.

Mei kemudian bertemu Lung. Dengan Lung inilah Mei Li memutuskan untuk berusaha segera mengakhiri masa kesendiriannya. Sayangnya kisahnya dengan Lung tak berjalan seindah yang dibayangkan. Karena justru di saat merasa cintanya berbalas, Mei Li harus menghadapi kenyataan kalau Lung harus meninggalkannya. Nah, salah satu adegan yang paling mengena di hati saya adalah ketika dalam rasa putus asanya Mei Li mendatangi Ped hanya untuk bertanya,

“What if you have a boyfriend but he’s not available to eat with you,
he doesn’t have time to go anywhere with you, then what’s the use in having boyfriend, if we’re not together then how can we call each other boyfriend and girlfriend?”

Mendengar pertanyaan sahabatnya itu, Ped kemudian menjawab dengan bijak.

“People don’t have boyfriend or girlfriend to be together all the time
they have them to know that there’s still someone who loves them“

Ah, sungguh sebuah jawaban yang sangat bijak.

Perancis – Intouchable

Intouchables bercerita tentang persahabatan Philippe, seorang pria kaya raya namun lumpuh dengan Driss, perawatnya yang berkulit hitam. Meski pekerjaannya adalah menjadi asisten seorang pria lumpuh, namun Driss menjalankan pekerjaannya tersebut dengan senang hati. Mulai dari memandikan Philippe, hingga membersihkan (maaf) kotorannya, semua dilakukan Driss seolah tanpa beban.

Driss telah membawa warna tersendiri dalam hidup Philippe. Driss bahkan yang mendorong Philippe untuk mau berkenalan dengan seorang wanita. Mungkin hal itulah yang pada akhirnya kemudian membuat hubungan Driss dengan Philippe lebih seperti sahabat ketimbang pelayan dengan majikan.

Film ini sendiri terinspirasi dari kisah nyata persahabatan Philippe Pozzo di Borgo dan perawatnya yang bernama Abdel Sellou.

Iran – Turtles Can Fly

Turtles Can Fly merupakan film kerja sama dua negara, yakni Iran dan Irak. Sejak dulu saya menganggap Iran sebagai negara pembuat film humanis yang selalu sukses menyentuh hati penontonnya. Sebut saja Children of Heaven yang legendaris itu, atau juga A Separation yang berjaya di Academy Award.

Turtles Can Fly sendiri berkisah tentang kehidupan anak-anak Iran di masa perang Iran-Irak. Alih-alih tinggal dengan nyaman di rumah, para remaja ini tinggal di tank-tank dan mencari uang dengan cara mencari sisa-sisa ranjau. Padahal beberapa dari mereka kondisi fisiknya sudah tak sempurna lagi. Ada yang kehilangan tangan, kehilangan kakinya, hingga buta.

Hal yang paling menyentuh dari film ini tentulah bagaimana anak-anak ini menjalani kehidupannya di pengungsian tersebut. Meski mereka dikeliling ranjau darat, namun hal tersebut tak mengurangi semangat hidup mereka.

Korea – My Sassy Girl

My Sassy Girl bisa jadi merupakan film Korea favorit saya hingga saat ini. Film ini bercerita tentang pertemuan seorang pemuda bernama Gyeun Woo dengan seorang gadis yang tak pernah disebutkan namanya seanjang film. Kisah cinta antara Gyeun Woo dan gadis inilah yang menjadi magnet dari film ini. Si gadis digambarkan sebagai sosok yang sangat “berandal”, sementara Gyeon Woo digambarkan sebagai sosok yang culun. Meski begitu entah mengapa sulit sekali bagi Gyeun Woo untuk melepaskan diri dari si gadis.

Salah satu adegan yang paling saya ingat dari film ini adalah ketika Gyeun Woo bertemu dengan pria yang dijodohkan dengan si gadis. Alih-alih merasa sedih atau marah, Gyeun Woo malah menyebutkan 10 hal yang harus diingat tentang si gadis kepada pasangan kencan si gadis. Ini tentunya berdasarkan pengalaman Gyeon Woo selama berkencan dengan si gadis. Ah, benar-benar menyentuh.

Indonesia – Mari Lari

Tak lengkap rasanya jika saya tak menyebutkan film Indonesia dalam postingan ini. Kali ini film Mari Lari yang menjadi pilihan saya. Mulanya saya tidak memiliki ekspektasi apa-apa saat menonton film ini. Namun ternyata, film ini memiliki premis yang sangat menarik.

Mari Lari sendiri bercerita tentang seorang anak yang tak pernah menyelesaikan apapun dalam hidupnya. Mulai dari les piano hingga urusan kuliah, semua tak ada yang selesai. Hingga akhirnya sang ayah mengusirnya dari rumah. Meninggalnya sang ibu menjadi titik balik dari kehidupan Rio, pemuda tersebut. Melalui olahraga lari, Rio berusaha membuktikan kalau dia bisa menyelesaikan apa yang sudah dimulainya.

Mari Lari merupakan sebuah film keluarga yang memberikan pesan moral tentang pentingnya kita menyelesaikan hal-hal yang sudah kita mulai. Melihat tokoh Rio dalam film ini membuat saya sedikit berkaca, terutama tentang hal-hal yang belum bisa saya selesaikan.

Postingan ini diikutsertakan dalam Evrinasp Second Giveaway: What Movie are You?

26 pemikiran pada “Film Non-Hollywood yang Bikin Susah Move On

  1. Saya jarang nonton film. Kalopun nonton ya liat aja. Jarang yang nempel.
    Ada sih yang nempel yaitu film yang saya tonton waktu kecil. Film yang ditonton di lapangan terbuka yang diputar oleh BKKBN jaman dulu, haha…

  2. Wah, jadi pengen ikutan…
    Btw, dari semua film di atas, yg saya udah nonton itu 3 Idiots, Bangkok Traffic Love Story, dan My Sassy Girl. Setuju nih. Ketiga film tersebut bisa dibilang cukup nyangkut di saya. Hehe… ga bisa lupa. Untuk My Sassy Girl, mungkin karena akting keren dari Jun Ji Hyun, si cewe itu, saya bener2 sebel sama dia. Hahaha… kebuktinya pas nonton dia di film lain. Judulnya Daisy. Saya udah sebel aja ngeliat dia. Padahal di situ dia jadi pelukis yg ayu dan kalem. Baru saya nyadar, emang aktingnya aja yg keren. Ga terasa jadi beneran sebel. Dari situ saya malah suka sama dia. 😀

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s