Susahnya Mencari Uang Kecil

Satu hari di bulan Ramadhan, saya membeli bensin di eceran. Saat itu, sebelum mengambilkan botol berisi bensin, ibu penjual bensin bertanya pada saya, “Uangnya pas kan, dik? Kalau pakai uang besar mending nggak usah beli di sini. Saya nggak ada kembaliannya soalnya.”

Mendengar pernyataan ibu tersebut, saya sedikit terperangah. Buset si ibu sampai berani nolak pembeli, begitu kata saya dalam hati. Saya pun segera mengecek ke dompet. Alhamdulillah masih ada uang lima ribuan dan beberapa lembar uang dua ribuan di dompet tersebut.

“Nah, alhamdulillah uangnya, Bu,” kata saya sembari menyerahkan uang pas dan memberi isyarat membeli bensin satu liter saja.

“Sekarang ini uang kecil cepat sekali habisnya. Ini aja dari tadi yang beli bensin ngasihnya uang besar semua,” kata ibu itu lagi sambil menuangkan bensin ke tangki motor.

Baca lebih lanjut

Martabak Manis

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah episode Master Chef Indonesia para kontestan diminta membuat martabak manis. Seperti yang kita tahu, martabak manis merupakan salah satu jajanan yang sangat sering kita jumpai di pinggir jalan. Jenisnya pun bermacam-macam mulai dari yang hanya dikasih gula dan susu hingga isian coklat mahal yang tentunya membuat harga si martabak manis semakin mahal.

Lucunya, dari seluruh kontestan yang memasak kue ini, tak satupun berhasil membuat martabak dengan memuaskan. Ada yang hangus, bantet, hingga mentah. Padahal, di awal-awal proses pembuatan mereka semua tampak optimis dengan martabak manis buatan mereka.

Saya sendiri setelah menonton episode tersebut langsung dibuat penasaran. Masa iya sih membuat martabak sebegitu susahnya? Tanya saya dalam hati. Maka berbekal bantuan mbah Google, saya pun mencoba membuat martabak manis sendiri yang resepnya didapat dari web kokiku.tv. Alhamdulillah, resep yang saya ikuti ini berhasil dan suami juga menyukainya.

Baca lebih lanjut

Diskon Lebaran

Beberapa hari jelang akhir Ramadhan, saya dan anggota keluarga berkunjung ke satu-satunya mal di kota kami. Seperti yang selalu terjadi di tahun-tahun sebelumnya, di penghujung bulan Ramadhan, pusat perbelanjaan pasti dipenuhi oleh mereka-mereka yang ingin berbelanja keperluan hari raya (termasuk juga saya). Memang tidak dipungkiri rayuan diskon besar-besaran selalu menjadi magnet yang sulit untuk ditolak.

Saat itu, sambil menunggu antrian di kasir sayup-sayup saya mendengar suara dari speaker di departmen store tersebut.

“Yak, untuk urutan pertama sementara dipegang oleh Bapak X dengan total belanjaan 3 juta rupiah. Ayo siapa lagi yang ingin mengikuti jejak Bapak X dan mendapat voucher belanja senilai 1 juta rupiah!”

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar pengumuman tersebut. Belanja apa ya kira-kira si Bapak sampai berjuta-juta begitu? Tanya saya dalam hati. Memang sih ada beberapa merk pakaian yang harga satu lembarnya saja hampir satu juta. Tapi kalau saya sih kayaknya tidak akan terbeli baju semahal itu. Belum lagi biasanya voucher yang diberikan itu hanya bisa digunakan untuk hari itu juga. Itu artinya, si pembeli harus segera membelanjakan voucher dengan syarat dan ketentuannya berlaku itu.

Baca lebih lanjut

Femina Writer’s Club

Femina Writer’s Club merupakan salah satu komunitas yang ada di website online Femina. Komunitas ini diasuh langsung oleh tim editor Femina dan setiap tulisan yang dimuat di komunitas akan diberi komentar. Cara pengiriman naskah sendiri cukup mudah. Cukup melakukan pendaftaran di website Femina dan kita pun bisa mengirimkan karya kita. Tentang info pemuatannya sendiri mungkin para penulis harus sedikit bersabar dan mengecek sendiri ke website Femina. Saya sendiri sudah mengirimkan 2 cerpen dan alhamdulillah ditampilkan dan mendapat kritikan yang membangun. Berikut adalah salah satu cerpen saya yang ditampilkan di website tersebut.

***

Akhir Penantian Akan Dian

Sejak beberapa tahun terakhir, sejumput perasaan aneh muncul setiap kali aku memasuki pekarangan rumah ini. Pada warna cat yang dimiliki oleh dinding rumah ini, pada tanam-tanaman yang menghiasi pekarangan, juga pada sepasang kursi kayu yang diletakkan di teras rumah. Semuanya selalu membuatku merasa kembali ke masa lalu. Apalagi jika mengingat kebiasaan Tante Ros duduk di salah satu kursi teras tersebut sambil menikmati teh hangatnya di sore hari, seperti yang kulihat saat ini. Semuanya sungguh membuat hatiku miris.

Hari ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku menyempatkan diri untuk mengunjungi kediaman Tante Ros dan Om Yusran. Jika saat masih sekolah dahulu aku masih bisa datang sesering mungkin ke rumah ini. Maka ketika memasuki bangku kuliah dan dunia kerja seperti saat ini, kedatanganku ke rumah ini sangat bergantung pada waktu libur yang bisa kudapatkan. Kadang libur semester. Kadang saat libur lebaran. Itupun dalam waktu yang sangat singkat.

Baca lebih lanjut