Tempat itu bernama Dapur Nyonya Monika, sebuah restoran terbaik di kotaku. Pemiliknya adalah seorang wanita cantik akhir empat puluhan bernama Monika. Beliau membuka restoran tersebut dua puluh tahun yang lalu bersama almarhum suaminya. Setiap harinya restoran itu selalu penuh dengan pengunjung. Tak hanya dari kalangan atas, namun juga dari kalangan menengah ke bawah. Bahkan para tamu yang datang ke kota kami selalu menyempatkan diri untuk mencicipi masakan di Dapur Nyonya Monika.
Beberapa hari yang lalu, sebuah kabar tersiar. Dapur Nyonya Monika sedang mencari beberapa juru masak baru untuk dapur mereka. Kabarnya beberapa juru masak utama di restoran tersebut mengundurkan diri dari posisi mereka untuk membuka usahanya sendiri. Bagi para juru masak, ini tentu saja sebuah berita besar! Siapa coba yang tak ingin bekerja di Dapur Nyonya Monika?
“Kau sudah tahu dapur nyonya Monika sedang membutuhkan juru masak baru?”
“Tentu saja. Beritanya sudah menyebar ke seluruh kota.”
“Menurutmu apakah tesnya akan sulit?”
“Kudengar tesnya tidak terlalu sulit. Kau hanya perlu memasak telur mata sapi.”
“Telur mata sapi? Kau serius?”
“Tentu saja. Memangnya kau tidak pernah dengar? Nyonya Monika bisa tahu seseorang pandai memasak atau tidak hanya dari telur mata sapi yang dibuatnya.”
Begitulah percakapan yang kudengar di sepanjang perjalanan pulang tadi. Setelah berpikir berulang kali, akhirnya kuputuskan untuk turut serta dalam seleksi juru masak tersebut. Sayang sekali rasanya jika aku harus melewatkan kesempatan sebesar ini.
Aku sendiri berasal dari keluarga tukang masak. Ayahku adalah lulusan sebuah akademi memasak di kota kami. Namun alih-alih membuka rumah makan, beliau malah membuka sebuah hotel yang bisa dibilang cukup terkenal di kota kami. Adapun ibuku adalah seorang ibu rumah tangga biasa namun memiliki banyak keahlian. Beliau adalah sosok yang selalu kami kagumi.
Setelah ibu meninggal aku yang bertanggung jawab atas dapur rumah kami. Dua kakakku, Jasmine dan Lily sebenarnya juga pandai memasak. Namun kata ayah akulah yang paling jago di antara semua putrinya. Tentu saja kedua kakakku itu tak keberatan saat aku yang harus turun tangan di dapur. Keduanya memang lebih senang melakukan pekerjaan lain. Kak Jasmine membantu ayah mengelola hotel, sedangkan kak Lily memilih bekerja sebagai guru. Sementara aku, selain membantu di dapur hotel juga mengelola sebuah toko kue yang baru dibuka setahun yang lalu.
“Kau pasti sudah gila! Ayah takkan mengizinkannya,” begitu komentar kak Jasmine saat kuutarakan niatku untuk mengikuti seleksi di Dapur Nyonya Monika. Reaksi yang sebenarnya sudah bisa diperkirakan.
“Kau tahu kan Ayah tak pernah suka dengan Nyonya Monika. Dia bahkan melarang kita untuk dekat-dekat dengan restoran itu,” kali ini kak Lily yang berbicara.
Aku memilih tak menjawab komentar kedua kakakku itu. Sudah bukan rahasia lagi jika ada semacam perang dingin antara ayah dengan Nyonya Monika. Kami tak pernah diizinkan untuk menginjakkan kaki ke restoran tersebut. Bahkan menyebut namanya saja bisa jadi sebuah kesalahan. Pada kami, ayah selalu menyebut nyonya Monikaa sebagai ‘wanita culas yang mencuri resepnya’.
Perseteruan mereka sendiri sudah berlangsung sejak belasan tahun yang lalu. Kata kak Jasmine, dulunya ayah dan nyonya Monika adalah dua murid terbaik di akademi memasak ternama di kota kami. Mereka kerap mengikuti berbagai kompetisi dan menjadi juara. Karena itu jualah pada akhirnya ayah dan Nyonya Monika mulai menjalin hubungan. Sayangnya hanya selang satu tahun hubungan ayah dan nyonya Monika kandas dan mereka kemudian menemukan jodoh mereka masing-masing.
Setelah menikah, ayah merintis usahanya di bidang perhotelan. Adapun Nyonya Monika sesuai jalurnya membuka Dapur Nyonya Monika. Tidak ada masalah berarti antara keduanya selama beberapa tahun sampai kemudian Dapur Nyonya Monika berhasil meraih predikat restoran terbaik di kota dengan resep bebek andalannya yang hingga kini masih terkenal. Yang membuat ayah marah besar, resep tersebut sebenarnya adalah resep miliknya yang diwariskan oleh nenek padanya. Karena itulah ayah selalu mewanti-wanti kami, “Jangan pernah bagikan resep rahasiamu pada kekasihmu. Kau tidak akan tahu kapan dia akan mengkhianatimu,” begitu kata ayah.
***
Satu minggu setelah pendaftaran ditutup, akhirnya seleksi juru masak Dapur Nyonya Monika dilaksanakan. Akademi memasak dipilih sebagai lokasi pelaksanaan seleksi. Seperti yang kuduga, banyak sekali yang mengikuti seleksi ini. Beberapa dari peserta tersebut cukup familiar di mataku. Mereka adalah para juru masak dari restoran-restoran yang ada di kotaku. Sisanya lagi mungkin para juru masak rumahan yang hanya menunjukkan bakat terpendam mereka untuk keluarganya.
Saat memasuki ruangan tes, tampak Nyonya Monika ditemani sesosok pemuda menyambut kami. Pemuda itu berusia sekitar pertengahan dua puluhan dengan tubuh tinggi menjulang, wajah tampan dan kulit kecoklatan. Dia adalah putra tunggal nyonya Monikaa. Alva namanya. Seperti layaknya aku, Alva diharapkan bisa meneruskan usaha nyonya Monika. Karena itulah saat remaja ia langsung didaftarkan ke sebuah sekolah memasak bergengsi di negeri tetangga. Bukan keputusan yang salah. Karena ternyata Alva juga memiliki passion memasak yang sama besarnya dengan ibunya.
“Selamat datang di seleksi juru masak Dapur Nyonya Monika. Silakan mengambil tempat kalian masing-masing,” begitu kata Alva ketika kami semua sudah berkumpul di hadapannya. Kami bersepuluh adalah peserta terakhir hari itu.
Aku menuju meja yang sudah disediakan. Sebuah telur sudah disediakan di dalam mangkuk di hadapan kami. Selain itu, ada juga beberapa wadah kecil berisi garam, merica, gula dan penyedap masakan.
“Tugas kalian sederhana saja. Buatlah telur mata sapi untuk Nyonya Monika,” kata Alva kemudian yang diiringi senyuman oleh Nyonya Monika.
Telur mata sapi untuk Nyonya Monika. Hanya itu perintah yang diberikan pada kami semua. Telur mata sapi yang seperti apa, tentunya hanya nyonya Monika yang mengetahuinya. Apakah ia menginginkan telur mata sapi setengah matang atau matang sepenuhnya? Apakah ia menyukai telur mata sapi dengan tambahan garam atau merica? Kami sendirilah yang menentukannya.
Aku terpekur sesaat. Hanya ada satu telur di hadapanku. Jelas aku tidak boleh gagal. Tidak untuk rasanya juga bentuknya. Aku harus segera memutuskan apakah harus membuat telur mata sapi yang plain atau perlukah kutambahkan sedikit garam di dalamnya?
Akhirnya kuputuskan untuk membuat telur mata sapi seperti yang biasanya kubuat untuk ayah dan kedua kakakku. Di keluargaku, telur mata sapi yang enak berarti telur setengah matang dengan campuran merica dan garam di atasnya. Ayah sangat menyukai telur mata sapi seperti ini. Beliau yang memberitahuku resep rahasianya.
***
“Hei! Bukankah kau putri pemilik hotel Dandelion?” Sebuah suara mengejutkanku saat akan meninggalkan tempat memasak. Kualihkan pandanganku ke arah suara itu. Ternyata Alva! Sosoknya kini berdiri tepat di sampingku. Bisa kulihat dengan jelas wajah tampannya itu tersenyum menatapku.
“Umm, yah, kau benar. Aku putri bungsu pemilik hotel itu,” jawabku. Jujur aku tak menyangka kalau dia bisa mengenaliku. Maksudku aku kan tidak terkenal seperti dirinya. Tugasku juga lebih banyak di dapur, tidak seperti dirinya yang benar-benar tampil untuk Dapur Nyonya Monika.
“Siapa namamu?” tanya Alva lagi.
“Rosy.”
“Hmm… Rosy, ya? Apa ayahmu sudah mengizinkanmu mengikuti seleksi ini?”
Aku memandang Alva sesaat. Jelas bukan hanya ayah yang bercerita tentang perseteruan dirinya dengan Nyonya Monikaa.
“Seingatku tidak ada peraturan kalau harus ada izin orang tua untuk mengikuti seleksi ini,” jawabku kemudian.
“Tapi pastinya ia takkan suka jika mengetahui kau mengikuti seleksi ini,” kata Alva lagi.
Aku mengedikkan bahu. “Yah, mari berharap ayah tidak tahu kalau aku mengikuti seleksi ini,” kataku akhirnya walau sejujurnya aku tak yakin dengan jawabanku sendiri sambil mulai mengambil ancang-ancang untuk pergi. Bisa kurasakan Alva masih memandangiku dengan sorot mata tajamnya.
“Hei! Bagaimana kalau kita makan siang dulu?” tiba-tiba Alva berkata lagi.
Aku mengerutkan kening. Ini permintaan yang tak biasa. Selama ini tak satupun dari kami semua berhubungan dengan nyonya Monika dan orang-orang dekatnya. Bahkan kak Jasmine yang pernah satu kelas dengan Alva pun tidak berteman dengannya.
“Ayolah. Hanya karena orang tua kita bermusuhan maka anak-anaknya harus bermusuhan juga, kan? Lagipula aku berjanji takkan ada yang mengetahui pertemuan kita ini,” Alva berusaha membujukku.
Akhirnya aku menyerah dan mengikuti ajakan pemuda tampan tersebut.
***
Alva kemudian mengajakku makan siang di sebuah restoran kecil di kota kami. Katanya restoran ini adalah favoritnya jika ia sedang bosan dengan masakannya sendiri. Aku tersenyum geli mendengar pernyataan Alva tersebut. “Apanya yang lucu? Sesekali kau perlu mencicipi masakan orang lain, bukan?”
“Ya, aku tahu itu. Tapi ini restoran cepat saji. Favorit semua orang,” balasku kemudian. Alva hanya tersenyum lebar mendengar jawabanku.
Sambil menunggu pesanan masing-masing, Alva mengajakku mengobrol. Ternyata selain memiliki wajah yang tampan, ia juga sosok lelaki yang cerdas dan berwawasan luas. Tak melulu soal makanan, Alva mengajakku berbicara tentang perkembangan baru di kota kami, dan tentunya juga tentang perseteruan ayahku dengan ibunya.
“Sejak kapan kau mengetahui permusuhan mereka?” tanyaku pada Alva ketika topik itu dibuka.
“Aku tak terlalu ingat. Ibu sebenarnya tak pernah benar-benar memberitahukannya padaku. Hanya saya dia selalu berkata kalau pemilik Hotel Dandelion itu tidak menyukainya.”
“Jadi ibumu tak memberitahu alasannya?” tanyaku lagi.
“Ibu hanya berkata kalau ayahmu adalah mantan kekasihnya. Itu saja. Jadi kurasa tak perlu bertanya lebih jauh lagi.”
Aku manggut-manggut mendengar jawaban Alva. Jadi ibunya tidak memberitahukan alasan sebenarnya dari perseteruannya dengan ayah. Yah, kurasa aku pun akan melakukan hal yang sama jika berada pada posisi Nyonya Monika.
“Yah, aku hanya berharap suatu saat perseteruan mereka akan berakhir. Bukankah akan lebih menyenangkan jika kita bisa saling berdamai dengan masa lalu kita?” Alva berkata lagi. Aku hanya memandangnya tanpa bisa memberikan jawaban.
***
Hari sudah gelap ketika aku kembali ke rumah. Setelah menghabiskan makan siang dengan Alva, aku menyempatkan diri kembali ke toko kue untuk memeriksa penjualan toko hari ini. Sebenarnya di hari biasa aku sudah harus pulang sebelum senja. Namun untuk hari ini tentu ada pengecualian.
Saat tiba rumah, kulihat ayah dan kedua kakakku sudah berkumpul di meja makan keluarga. Dari raut wajahnya bisa kutebak kalau suasana hati ayah sedang tidak baik. Kulirik kak Jasmine dan kak Lily yang duduk di samping kiri dan kanan ayah. Mereka berdua hanya mengedikkan bahu.
“Dari mana saja kau seharian, Rosy? Ayah tadi ke toko kuemu dan ternyata kau tidak berada di sana. Kata Diana kau pergi dari pukul sepuluh pagi,” tanya ayah begitu aku berkumpul bersamanya di meja makan. Diana adalah nama asisten yang membantu pekerjaanku di toko kue.
“Aku ada sedikit urusan, Ayah,” jawabku sambil mengambil beberapa sendok nasi dan kuletakkan di atas piringku.
“Biar ayah tebak. Kau mengikuti seleksi itu?” tanya ayah lagi tanpa basa-basi.
Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya menjawab. “Iya.”
“Kenapa kau mengikutinya?” Ayah bertanya lagi sambil mengunyah makanan di mulutnya.
Kutelan nasi yang masih kukunyah. “Aku hanya ingin mengukur kemampuanku,” jawabku kemudian
Ayah menghentikan kegiatannya.
“Kemampuan apa yang kau maksud? Apa kau merasa kemampuanmu belum diakui? Apa kau lupa kalau kau yang bertanggung penuh atas masakan hotel? Dan semua pengunjung juga menyukai masakanmu,” ayah mulai mencecarku.
“Aku ingin mengukurnya dari standar yang lain, Ayah. Dapur Nyonya Monika adalah restoran terbaik di kota kita. Aku hanya ingin tahu apakah aku cukup baik untuk memenuhi standarnya.” Aku berusaha menjelaskan maksudku pada ayah.
Ayah terdiam sejenak, kemudian menghela nafasnya.
“Baiklah kalau begitu. Apa yang kau buat untuk tes tadi?” tanyanya kemudian. Kali ini nada bicaranya sedikit lebih tenang dari sebelumnya.
“Telur mata sapi. Mereka hanya meminta peserta memasak menu tersebut.”
“Lalu kau membuat telur seperti yang biasa kau buat?”
“Iya. Dan kurasa Nyonya Monika tidak akan menyukainya.”
“Kenapa kau berkata begitu?”
“Telur yang kubuat terlihat jelek sekali. Dan kulihat nyonya Monika juga tak tersenyum saat mencicipinya.”
Mendengar jawabanku, ayah tersenyum. “Kau salah, Rosy. Dia akan sangat menyukai telur mata sapi buatanmu.”
Aku mengerutkan kening, tak bisa mengerti maksud ucapan ayah.
“Itu adalah telur mata sapi kesukaannya,” sambung ayah lagi ketika dilihatnya aku masih kebingung.
Aku langsung termenung mendengar perkataan ayah. Mendadak ingatanku kembali pada momen ketika Nyonya Monika mencicipi telur mata sapi buatanku. Ekspresinya saat itu benar-benar sulit untuk kuartikan. Dahinya mengernyit dan ia tak berhenti menatapku bahkan hingga acara selesai.
(Dimuat di Femina Edisi 23 terbit 4 Juni 2015)
Keren cerpennya Ay 😀
makasih, mbak 🙂
Endingnya misterius 😀
hehehe
Luar biasa!! Email Femina yg mana ya? Biar bisa ngirim pula ke sana.. 🙂
emailnya kontak@femina.co.id atau kontak@femina-online.com
wah aku udah gak bisa ngejar lagi deh. udah lama gak nulis cerita 😦
Tapi hapalannya dah banyak kayaknya nih, bang tiar 😉
masih sedikit. belum ada sepertiga 😦
kalo dikembangkan bagus jadi buku tuh Ant..
Iya sih, bang. Yah moga aja nanti idenya bisa lancar kalau betulan dijadiin novel
Ada lanjutannya ya???
Nggak ada. He
wohoo keren 🙂
Makasih, mbak noni
waahhhhh…. jempol 😀
moga cerpen pian bisa mejeng di femina juga ya kaa 🙂
hahaha…Yana makin piawai nih…pembaca masih berharap ada kelanjutannya tapi justru cerita berakhir begitu saja.
Tapi koq kalimat ini seperti kurang lengkap…
“Ayolah. Hanya karena orang tua kita bermusuhan maka anak-anaknya harus bermusuhan juga, kan?”
Benar begitu atau typo?
Sepertinya typo. Soalnya ini langsung copas dari naskah aslinya 😀
emang layak dimuat, mbak
makasih, mas rifki 🙂
Pas baca, yang ada di bayanganku mukanya Helen Mirren yang jadi ny Monika hihihi. Kereeeen, hwaaah jadi kangen nulis cerpen lagi. Btw mbak Yana apa boleh publish di blog cerpennya?
boleh aja menurutku asal sudah lewat dari masa edar majalahnya, yan
Woow keren endingnya, soalnya membawa perasaan yang campur aduk. Sederhana dari segi tema dan susunan kejadian, tapi jadinya malah penuh cerita dan perasaan di hati. Apakah Alva suka dengan Rosy? Atau orang tua mereka masih memendam perasaan? Atau semua harus selesai dengan status quo?
Saya suka dengan cerpennya, Mbak :)).
iya. endingnya memang mengundang banyak pertanyaan 🙂
makasih sudah baca ya 🙂
Siap, sama-sama. Keren Mbak ceritanya :)).
Saya penasaran sama endingnya nih
Duuuuuh jadi tebak2an sendiri deh
endingnya tergantung pembaca, mbak arni 🙂
kesel deh ayahnya masih inget telor mata sapi kesukaannya bu monika hahaha
hahaha
waaah Nyonya Monika sulit move on ya hahahha
iya, hehe
bagus ceritanya mbak 🙂
Keren ceritanya.
Selamat ya.
makasih 🙂
mba yana..maaf baru sempet baca…
keren…endingnya agak misterius, tpi klo aq menafsirkan gara2 nyicip telor mata sapi rosy, nyonya monika jadi tau klo rosy anak mantannya..trus di kasih tau ke alva, makanya alva mengenali rosy anak pemilik hotel..pdahal rosy kan gak terkenal2 amat… kira2 gitu gak ya..hehe
tergantung interpretasi pembaca saja, mba. he
kirim pakai email ini?
asyik, dari nonton film dapat ide jadi cerpen 🙂
kadang aku lebih cepat dapat ide dari nonton film. heu
Ping balik: Momen-momen di 2015 | SAVING MY MEMORIES