Seorang guru memberikan PR untuk muridnya yang duduk di kelas 2 SD. Soal tersebut berupa penambahan berulang yang akan menghasilkan sebuah perkalian.
4+4+4+4+4+4 = ?
Oleh seorang murid, penjumlahan berulang tersebut menghasilkan jawaban 4×6 = 24. Ternyata setelah PR dikembalikan, sang guru mencoret hampir semua jawaban di murid dan memberikan nilai dua puluh pada murid tersebut.
Sang kakak, yang kebetulan membantu adiknya mengerjakan PR kemudian mengajukan protes pada guru. Menurut bukankah jawaban akhir si adik sudah benar? Jadi kenapa adiknya mendapat nilai sejelek itu?
Cerita ini kemudian menyebar di dunia maya dan kemudian terjadilah pro kontra. Ada yang mengatakan guru tersebut sudah benar karena lebih menekankan proses ketimbang hasil akhir. Ada pula yang malah menyalahkan guru karena menyalahkan jawaban murid bisa menghambat kreatifitas si anak dan juga karena baik 4×6 atau 6×4 toh akan menghasilkan angka yang sama. Jika hasil akhir sudah benar, maka proses bisa diabaikan. Begitu katanya.
Saya sendiri ketika mengetahui topik ini mau tak mau berusaha mengingat bagaimana dulu saya belajar perkalian. Yah, kalau kata orang sih, membangungnkan macan yang sedang tidur. Dan setelah menggali memori yang ada, ternyata dulu saya belajar perkalian dengan sistem hafalan. Terlebih dahulu saya menghafalkan perkalian 1 hingga 10 (dengan bantuan tabel). Hafalan perkalian 1 hingga ini nantinya akan menjadi dasar bagi saya untuk tahap perkalian selanjutnya.
Ketika soal perkalian mulai berada pada tingkatan rumit (puluhan dan ratusan), almarhum kakek kemudian mengajarkan sebuah trik untuk mengecek hasil perkalian kita sudah benar apa tidak.
Caranya adalah dengan membuat sebuah timbangan mata angin untuk 4 penjuru. Bagian atas dan bawah mewakili bilangan pengali dalam bentuk satuan. Nah berhubung dalam kasusnya bilangan pengali tersebut adalah puluhan, maka harus dijumlahkan terlebih dahulu hingga menghasilkan angka satuan.
Bilangan pengali yang sudah jadi satuan ini kemudian dikalikan dan hasilnya ditulis pada bagian timbangan sebelah kiri. Kemudian untuk timbangan sebelah kanan, merupakan hasil dari perhitungan perkalian yang sebenarnya, yang juga sudah dijadikan satuan.
Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar berikut:
Trik ini benar-benar membantu saya dalam mengerjakan soal matematika tanpa kalkulator. Dan seingat saya, waktu itu saya tidak belajar tentang konsep penjumlahan berulang dalam menghitung perkalian.
Kembali lagi ke soal 4×6 dan 6×4, asaat soal tersebut saya tanyakan pada adik bungsu saya yang duduk di kelas XII, dia pun dengan cepat memberikan jawaban 4×6 untuk soal ibu guru. Jawaban yang sama yang mungkin saya berikan ketika melihat soal tersebut. Dan ketika saya tanya alasan dia menjawab seperti itu, jawabannya adalah karena dia terlebih dahulu melihat angka 4.
Masalah visual. Mungkin hanya itu yang bisa saya simpulkan dari kasus yang terjadi kemarin. Karena mata kita lebih dulu mengirim angka 4 ke otak, baru kemudian otak memberi perintah menghitung jumlah angka 4 yang ada pada soal. Jadilah secara tak sadar kita akan menuliskan jawaban 4×6 sebagai jawaban. Kalau diibaratkan seperti membaca huruf latin dari kanan ke kiri. Perlu waktu untuk berpikir.
Saya tidak tahu apakah ada yang setuju dengan pendapat saya ini. Namun sebagai produk lama dunia pendidikan, harus saya akui kalau kasus sukses membuat saya berpikir lagi tentang kemampuan matematika saya. 😀
Ulun 4×6 jua ka. Alasannya sama lawan ading pian. Bingung jua malihat perdebatan tuh. Yang timbangan mata angin tuh ulun dilajari abah ulun 😀
nah ada kawan ku. hehe
yang timbangan tu bujur-bujur ilmu yang beharga. soalnya bahari kd kawa bekalkulator 😀
kalo untuk anak sd logikanya ga nyamp lah diajari model kayak gitu ya
kuliah jurusan bahasa..matematika ilang semua xixi
paling pengurangan ama penambahan, buat jurnal keuangan di perusahaan
Iya. Menurutku juga buat anak kelas 2 sd rada berat mikir begitu. Wong buat mikir perkalian aja udah ribet. Tapi mgkn memang begitu ya kurikulum yang sekarang
Sama mbak, dulu jg belajar perkalian dg metode hafalan dr tabel. 4×6, atau 6×4, kalo hasilnya tetap 24 yo wes abis perkara. Mungkin guru-nya pengen anak tsb belajar sesuai dg konsep yg diterapkan. Soalnya gimanapun guru itu kan ada penataran, mau ga mau dia mengajarkan sesuai dg apa yg ditanamkan dlm kurikulum, walaupun sisi kreatif siswa kdg agak dikesampingkan :).
Iya. Dulu nggak pernah mikirin 4×6 sama 6×4 itu. Mgkn dilihat produk lama yang belajar sistem hafalan pada salah konsep jadilah dibikin berkonsep gini. Hihi
beda kurikulum dulu dan sekarang. saya juga pake hafalan perkalian 1 – 10. untuk perkalian puluhan dan ratusan ya sama seperti di atas.
dan saya juga mikirnya sama untuk soal penambahan berulang itu, tapi ya nggak tahu konsep yang ada di kurikulum sekarang
Sebagai orang tua berarti kita harus benar-benar update sama kurikulum terbaru ya, mas rifki
Orang teknik mah simpel aja : 4×6=6×4 toh hasilnya 24 jua 😀
Betuul! 🙂
perdebatan yg nggilani menurutku 😀
Heeh. Sampai profesor ikut ngebahas
sala perkenalan ya bu ^_^
salam kenal juga 🙂
tinggi ilmunya untuk anak sd hahah
iya. hehe
memang 4 x 6 hasilnya sama dengan 6 x 4. Tapi konsepnya beda. Kalau kelas 2 SD, yang penting hafal dulu dengan perkalian itu. Nanti di kelas 4 ke atas baru dijelaskan tentang konsep. Memang kurikulum sekarang – menurut saya – terlalu “tinggi”, tapi akibatnya tidak membumi. Perkalian, tidak hafal diluar kepala seperti dulu. Masih mikir. Ukuran hafal menurut ayah saya dulu (sekarang beliau 80 thn) : pas bangun tidur, mata masih kriyep2, ditanya perkalian bisa jawab dengan benar tanpa mikir!
nah memang sepertinya terlalu berat buat anak kelas 2 ya, dok. semoga aja kurikulum yang baru nanti bisa lebih baik