Delapan Tahun Setelah Wisuda

Waktu menunjukkan pukul 19. 20 ketika saya tiba di parkiran dalam Duta Mall Banjarmasin. Setelah memarkir motor di sela-sela ruang yang tersedia, saya meraih ponsel dari dalam tas dan menghubungi sebuah nomor. Satu kali, dua kali, terdengar nada tersambung. Di kali ke tiga, nada sambung terputus. Dan sebagai gantinya saya menerima panggilan dari nomor yang saya hubungi tadi. “Di AW, Tung,” begitu katanya saat panggilan saya jawab.

Lekas saya menuju tempat yang dimaksud. Begitu tiba AW, saya menemukan sosoknya di pojokan. Mengenakan kaos sweater hijau toska, tangannya melambai pada saya yang sempat kebingungan. Tersenyum, saya pun memasuki restoran fastfood dari negeri paman Sam tersebut dan mendatanginya. Sebelum saya duduk, ia memperkenalkan sosok lain yang menemaninya malam itu. Seorang gadis manis berjilbab bernama Galuh yang merupakan adik bungsunya.

Baca lebih lanjut

I Hear Your Voice

Selama bertahun-tahun aku membayangkan pertemuanku dengan cinta pertamaku. Dia adalah seorang gadis yang kutemui sepuluh tahun yang lalu. Wajahnya cantik dan  pemberani. Dengan keberaniannya, ia telah menyelamatkan hidupku dan memberi keadilan atas kematian ayahku.

Setiap hari aku menyusuri jalan di Yeon Ju sambil berharap bisa menemukan sosoknya kembali. Sosoknya terekam dalam tiap lembaran buku harian yang mengiringi perjalanan kehidupanku selama sepuluh tahun terakhir. Dan meski sepuluh tahun telah berlalu sejak pertemuan kami, aku yakin akan bisa langsung mengenalinya.

Sayangnya saat hari pertemuan itu akhirnya tiba, aku dihadapkan pada kenyataan pahit. Cinta pertamaku ternyata tak seperti yang kubayangkan. Dia masih cantik seperti dulu, dan kini bekerja sebagai pengacara publik di Yeon Ju. Namun alih-alih menjadi pengacara hebat, dia malah menjelma menjadi seorang pengacara payah yang bahkan tak mau berusaha untuk membela kliennya. Selain itu ada sisi lain dari dirinya yang belakangan kuketahui, yang membuat diriku harus banyak mengurut dada.

Baca lebih lanjut

Having Fun With The Liebster Award

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih banyak buat Eka  yang sudah memberikan award ini kepada saya.  Kalau nggak salah sih dulu juga pernah bikin yang kayak gini hehe. Liebster Award ini sendiri bertujuan untuk menjalin keakraban sesama komunitas blogger. Penghargaan ini didedikasikan kepada blog-blog yang mendukung blogger baru dengan harapan mendapatkan wawasan kedalam komunitas blogging.

Caranya:

  • Post award ke blog kamu
  • Sampaikan terima kasih kepada blogger yang mengenalkan award ini & link back ke blog dia
  • Share 11 hal tentang kamu
  • Jawab 11 pertanyaan yang diberikan padamu
  • Pilih 11 blogger lainnya dan berikan mereka 11 pertanyaan yang kamu inginkan

Baca lebih lanjut

Resensi di Koran Jakarta

korjakIri, mungkin begitulah awalnya. Gara-gara melihat adik tingkat saya yang satu ini sering sekali nampang di media dengan resensinya, saya pun terpacu untuk melakukan hal yang sama. Dan berhubung kala itu buku yang saya baca lumayan baru dan menarik, maka dengan penuh perjuangan terkirimlah sebuah resensi yang cara penulisan dan pengiriman naskahnya saya intip dari jurnal si adik.

Satu hari setelah naskah dikirim, saya ternyata mendapat surel balasan dari editor koran tersebut. Isinya antara lain permintaan untuk merevisi naskah yang sudah saya kirim. Poin-poin yang diminta direvisi yakni : resensi harus menjelaskan awal dan akhir dari buku, apalagi kalau itu sebuah novel. jangan pernah memberi beban seperti ini ,“Adakah hubungan mobil wagon hijau tersebut dengan penculikan Yunus? Berhasilkah Riska dan teman-temannya menemukan  Yunus?”. Selain itu saya juga diminta untuk mengubah kalimat pembuka dari resensi yang saya kirimkan.

Berdasarkan surel yang dikirimkan sang editor, saya pun menyunting kembali naskah yang sudah saya kirim dan segera mengirimkannya kembali. Satu hari berselang, melalui facebook, Yanti mengabarkan kepada saya kalau resensi saya dimuat di media tersebut. Benar-benar sebuah berita gembira! Apalagi jika mengingat ini adalah pertama kalinya tulisan saya tembus media lagi setelah cerpen Femina beberapa tahun lalu. Yah, semoga saja setelah ini saya bisa konsisten membuat resensi yang baik dan benar dan tentunya tetap disiplin menulis.

Bagi yang ingin membaca resensi saya yang sudah dimuat, bisa mampir ke sini.  Sedang untuk versi aslinya, bisa mampir ke sini.

[Cerpen] Bukan Cinderella

Pangeran Erick menatap sepatu perempuan yang kini ada di tangannya. Berbentuk high heels dengan warna putih dan ornameh kristal pada bagian depannya, sepatu tersebut ditemukannya di lantai balkon istana saat pesta dansa berlangsung tadi malam. Sambil memutar-mutar sepatu tersebut, diketuk-ketukkannya jarinya ke sandaran kursi yang ia duduki sekarang.

“Menurutmu apa maksud gadis itu meninggalkan sebelah sepatunya, Ren?” tanya pangeran pada Ren, pengawal setia sekaligus sahabatnya yang sejak pagi sudah menemaninya.

“Kurasa jelas sekali. Dia ingin Anda mencarinya,” jawab Ren dari tempatnya berdiri.

“Maksudmu aku harus mengadakan sayembara dan meminta para gadis di kota ini mencoba sepatu ini? Hah! Kalau begitu caranya mungkin aku akan mendapatkan puluhan gadis yang kakinya pas dengan sepatu in,” kata Pangeran Erick, masih sambil memandangi sepatu di tangannya.

“Atau bisa juga Anda memanggil kembali para gadis yang datang tadi malam dan menanyakan sepatu apa yang mereka kenakan pada pesta tadi malam. Saya rasa itu akan lebih efektif.”

Baca lebih lanjut