Kopi dan Saya

Saya kadang iri pada para pecandu kopi. Mereka seolah selalu bisa membanggakan kecanduannya pada biji-biji berwarna coklat dengan cita rasa tinggi tersebut. Entah itu lewat cangkir-cangkir yang mereka pamerkan, aneka macam kopi yang mereka suka, hingga buku-buku yang lahir sebagai bukti cinta mereka pada kopi. Membuat kopi seolah menjadi sumber inspirasi yang tak ada habisnya.

Saya sendiri bisa dibilang lebih memilih teh ketimbang kopi. Saya mencintai rasa segar yang hinggap di kerongkongan saat teh manis panas itu mengalir di sana. Namun tetap saja harus diakui wangi secangkir kopi panas jauh lebih menggoda di indera penciuman kita.

Saya ingat dulu ketika salah satu paman berkunjung ke rumah, saya kerap mencicipi kopi hitam buatannya. Kopi instan saja sebenarnya. Namun tetap saja wangi kopi tersebut begitu semerbak dan rasanya sangat nikmat di lidah saya. Sayang kesukaan saya tersebut hanya sebatas mencicipi. Tak pernah terbersit di benak saya untuk membuat kopi untuk saya sendiri.
Baca lebih lanjut

Cafe Satu Hati

Sore itu, saya dan Nita, seorang rekan kantor, menyambangi sebuah kafe yang terletak di samping dealer motor di kota saya. Cafe Satu Hati, begitu nama cafe tersebut. Dari namanya mungkin sudah bisa ditebak ya dealer motor apa yang ada di samping kafe tersebut. 🙂

Saat menginjakkan kaki di kafe yang terletak di lantai dua tersebut, rasa kaget sontak hadir di antara saya dan Nita. Kafe tersebut begitu sepi. Hanya ada para barista dan kami berdua sebagai pengunjung. Sempat ragu di awal, akhirnya kami memutuskan untuk tetap menghabiskan sore di salah satu sudut kafe.

Salah satu hal yang paling saya suka selama berada di kafe tersebut adalah interiornya yang cantik. Sofa-sofa berwarna coklat tersusun rapi dengan meja putih di hadapannya. Satu set peralatan musik juga telah menyapa kami saat memasuki kafe tersebut, pertanda adanya live musik yang ditawarkan. Menghadap jalan, lapisan kaca tembus pandang juga memberikan pemandangan sepanjang jalan Perintis Kemerdekaan. Yang paling menarik tentu saja vas-vas bunga yang dihiasi foto-foto bertema secangkir kopi yang ditemani seekor anjing yang lucu.

Baca lebih lanjut

Celoteh Abdullah

Hari itu, seperti biasa saya hadir di ma’had Umar bin Khattab untuk menyetorkan hafalan. Ada sekitar delapan orang yang hadir pada pertemuan hari itu. Jumlah yang mungkin hanya separuh dari jumlah seluruh peserta kelas tahfidz yang kami ikuti.

Seperti biasa, ustadzah Ihsan datang dengan mengajak serta putri bungsunya yang berusia delapan belas bulan. Turut serta pula si sulung Abdullah, yang kini telah menginjak usia tujuh tahun. Sembari sang ibu menerima setoran hafalan dari para santri, Abdullah juga tampak sibuk menjaga adik bungsunya yang tak pernah bisa diam.

Karena tak banyak yang menyetor, setengah jam jelang jam pulang ustadzah Ihsan memutuskan mengadakan kuis menyambung ayat. Jadi dalam pelaksanaannya, ustadzah akan membacakan sebuah potongan ayat dan menunjuk seorang santri untuk menyambung lanjutan ayat tersebut. Kuis ini sesekali diadakan dalam rangka mengetes hafalan kami semua yang mengikuti kelas tahfidz.

Baca lebih lanjut

Memilih Cinta

Dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa, kita tahu ada tokoh bernama Marja yang sesekali mencuri perhatian di antara scene-scene indah dalam film tersebut. Dengan wajah cantik dan pintar tentunya menjadikan Marja sosok yang digandrungi lelaki. Namun dalam film tersebut, Marja dikisahkan menaruh perhatian ada Rangga, suami dari Hanum.

Dalam tiap kesempatan, kita bisa melihat bagaimana “gencar”nya Marja mendekati Rangga. Mulai dari mengajak berdiskusi masalah perkuliahan, hingga sekadar memberikan bantuan kecil pada Rangga. Kenyataan bahwa Rangga sudah memiliki istri nampaknya tidak menjadi penghalang bagi Marja untuk menunjukkan perhatiannya. Untungnya, Rangga sebagai suami tidak pernah menanggapi perhatian yang diberikan Marja padanya. Dan pada akhirnya, Marja pun menyerah dari usahanya mendapatkan hati Rangga. Satu kalimat yang paling saya ingat keluar dari mulut Khan saat mengingatkan Marja di sekuel kedua film tersebut, “Apa kamu mau jadi yang kedua?”

***

Baca lebih lanjut

Malam Jum’at di Kota Mekkah

Adzan Magrib selesai berkumandang saat kami tiba di depan pelataran Masjidil Haram. Di sekitar kami, puluhan jamaah dari berbagai negara melangkahkan kaki mereka secepat mungkin menuju mesjid. Masih dengan ponsel menempel di telinga, sayup-sayup saya dengar suara ibu bertanya dari belakang. “Katanya ketemu di mana, Yan?” tanya ibu pada saya. Banyaknya orang di sekitar cukup membuat kami kesulitan mengenali orang yang hendak kami temui kala itu.

“Di depan KFC. Tapi kayaknya kadada urangnya, nah,” jawab saya sambil mematikan ponsel. Kemudian, tepat saat kami memutuskan untuk bergabung dengan jamaah lain di barisan belakang, dua sosok datang menghampiri. Pakaian mereka berwarna hitam, dengan cadar menutupi wajah mereka. Saat kami menatap bingung kedua sosok tersebut, salah satunya kemudian membuka cadarnya dan berkata pada ibu saya, “Acil, ini Ijah, keponakan pian.”

Menyadari siapa yang sedang berdiri di hadapannya, sontak ibu saya memeluk sosok tersebut. Ijah sendiri kemudian mengenalkan sosok yang menemaninya sore itu. Sebut saja nama beliau acil Isah. Beliau merupakan teman sekampung yang mengajak Ijah merantau ke tanah Arab, dan tentunya banyak membantu Ijah selama berada di negara tersebut. Tanpa banyak bicara, kami pun kemudian bergegas mencari tempat yang kosong di antara ratusan jamaah yang berkumpul di pelataran Masjidil Haram.

Baca lebih lanjut