Cerita sebelumnya di sini.
Selina menatap daftar menu di tangannya. Entah sudah berapa kali ia membolak-balik lembaran kertas tersebut, namun belum juga ia bisa memutuskan menu apa yang akan ia pilih. Padahal pada lembaran-lembaran kertas berwarna yang dilaminasi tersebut terdapat aneka jenis makanan yang sangat menggugah selera (yah, setidaknya dari foto yang ditampilkan). Mulai dari cemilan ringan seperti kentang goreng, aneka pasta kesukaan Selina, hingga es krim aneka rasa. Bahkan jika Selina hanya ingin meminum jus sekalipun, daftar menu yang diberikan tak kalah panjang dengan daftar makanannya.
Masih sambil membolak-balik daftar menu, Selina melirik ke arah pria yang duduk di hadapannya. Pria itu tampak masih sibuk mengetikkan sesuatu pada ponsel miliknya. Sejak mereka menginjakkan kaki di kafe tersebut, pria di hadapannya ini tak bisa lepas dari ponselnya. Entah apa saja yang diketiknya pada layar benda segi empat panjang tersebut. Jika tidak mengingat ini adalah pertemuan pertama mereka, mungkin sudah sejak beberapa menit yang lalu Selina mengambil ponsel tersebut dari tangan si pria, dan melemparkannya sejauh mungkin.
Selina kini menghela nafasnya. Sudah sepuluh menit berlalu, dan pria di hadapannya masih saja sibuk dengan ponselnya. Ini takkan berhasil, katanya dalam hati. Siapapun pasti takkan merasa nyaman jika kehadirannya tak dipedulikan, apalagi jika orang itu sudah susah payah mempersiapkan dirinya untuk pertemuan ini. Akhirnya Selina pun menutup daftar menu di tangannya. Pada pramusaji yang sejak beberapa menit lalu menunggunya, ia berkata, “Maaf, Mbak. Sepertinya saya tidak jadi makan di sini.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Selina pun meninggalkan mejanya. Dia bahkan tak mau repot-repot berpamitan pada pria yang sebelumnya duduk di hadapannya.
***
Baca lebih lanjut →