Rumah itu berdiri di atas air, berjejer bersama rumah-rumah lain yang berdiri di sepanjang daerah Pulau Bromo. Penghuninya adalah sepasang suami istri di akhir usia paruh baya mereka. Saat kami meminta ijin untuk numpang duduk di teras rumah mereka, sang istri menyambut kami dengan hangat.
“Kalian dari mana?” Tanya beliau pada salah seorang dari kami.
“Kami dari PDAM, Bu. Mau survey lokasi untuk pemasangan alat pengolah air,” jawab salah satu senior saya.
Kebetulan memang lokasi lahan yang sedang kami survey berada tepat di depan rumah pasangan suami istri itu. Sambil menunggu rekan yang lain mensurvei lahan, saya pun terlibat obrolan singkat dengan ibu pemilik rumah.
“Kami sudah tiga puluh tahun tinggal di sini. Sejak tahun delapan dua.”
“Wah, saya waktu itu belum lahir tuh, Bu,” balas saya kemudian. “Dari dulu rumahnya di sini?” Tanya saya lagi.
“Iya. Kami cuma tinggal berdua. Anak-anak kami sudah meninggal.”
Saya terdiam sesaat saat mendengar kata-kata ibu itu. Sulit rasanya membayangkan bagaimana jika orang tua harus menghadapi kenyataan bahwa anak-anak mereka pergi lebih dahulu dari mereka. Meski begitu, tak saya tangkap nada sedih dari ibu tersebut saat bercerita tentang anak-anaknya. Ah, pastilah mereka sudah bisa mengikhlaskan kepergian anak-anak mereka, begitu pikir saya.
Tak mau pembicaraan terhenti, kami pun mengalihkan topik pembicaraan. Kali ini rekan saya memilih mengajukan pertanyaan seputar air bersih di daerah tersebut.
“Biasanya air bersih beli di mana, Bu?” Tanya rekan saya tersebut.
“Biasanya ada yang jual di tempat pak RT atau bisa juga beli ke seberang. Ada rumah yang jualan air.”
“Nanti kalau alatnya sudah jadi, ibu nggak perlu beli air lagi. Airnya langsung mengalir ke rumah ibu,” kata rekan saya kemudian, yang disambut dengan gembira oleh ibu itu.
Pembicaraan kemudian berlanjut kembali. Tentang air pasang yang beberapa waktu terakhir semakin mengkhawatirkan, angin ribut yang bisa menggoyang tiang rumah mereka,hingga kondisi titian di depan rumah beliau.
“Tiap malam ramai motor-motor lewat titian ini. Bahkan sampai tengah malam. Biasanya mereka itu baru pulang dari jalan-jalan di kota.”
Saya bisa membayangkan bagaimana ributnya jalan saat motor-motor tersebut melewati titian kayu selebar satu meter tersebut. Mendengar ibu tersebut menyebut kata kota membuat saya merasa daerah ini seolah bukan bagian dari Banjarmasin.
“Wah, pasti susah tidur ya, jadinya, bu, gara-gara motor tersebut,” kata saya kemudian.
“Ya, namanya sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Jadinya sudah biasa,” jawab ibu itu sambil tersenyum.
Tak lama, adzan dzuhur berkumandang. Karena tak menemukan mukena di mushola yang ada di daerah tersebut, saya pun meminta ijin untuk numpang shalat di rumah ibu itu. Dengan segera beliau menyiapkan sarung dan mukena untuk saya gunakan saat shalat. Saya mengambil wudhu ke belakang dan langsung menuju kamar yang beliau sediakan. Saat berada di rumah tersebut, saya menemukan beberapa baju tergantung dan sebuah mesin jahit. Akhirnya terjawab sudah rasa penasaran saya tentang kesibukan ibu tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya bersama suami.
Posted from WordPress for Android
Hwaaaa…. kerja sekalian jalan2 sekalian belajar, sekalian dpt pengalaman,… 😀
Iyaaa. Hehe 🙂
Mantaapppp
Jadi ibu itu penjahit?
Eh ada pulau namanya pulau Bromo. Ada hubungannya gak ya sama gunung Bromo di Jawa Timur?
Iya, mba. Ibunya penjahit. Saya penasaran soalnya katanya udah nggak nanam padi lagi.
Kurang tahu juga sih ada hubungan apa nggak sama gunung bromo. Hehe
Kalau nanam padi, lahannya dimana ya?
Kayaknya di pulau yang lain, mba. Biasanya sih gitu
Kapan jadinya tuh PDAM
Rencananya sih tahun ini.
ini cerita tempat yang kemaren… atau balik lagi setelah kunjungan pertama?
Masih yg kemarin, mas
Saving our clean water…
betuuull
Kesederhanaan yang tidak menghalangi mereka untuk bahagia ya.. Tinggal di rumah tersebut sejak 82 saya rasa tak membuat mereka berkecil hati, meski hidup di daerah yang katanya “bukan bagian dari kota”…
iya. apalagi sekarang mereka tinggal berdua saja. saya sempat mikir mereka ngobrolin apa aja ya tiap harinya? hehe
Gak ditanyain ya pada mereka apa yang diobrolkan.. Hehehe
ya, nggak. hehe
Di Palembang juga masih ada rumah-rumah yang seperti ini mba 🙂
iya. kata teman yang orang palembang, Banjarmasin sama Palembang itu mirip 🙂
wah, jadi pengen main kesana mba, someday insyaAllah 😀
Amiiin. Aku juga pengen ke palembang euy 🙂
Ga bisa kah dipasang plang kaya di gang-gang, “lewat jam 12, matikan mesin motor anda”
Ga bisa kayaknya. Soalnya titian itu udah kayak jalan utamanya
di jakarta juga sama klo musim hujan, tapi bukan rumah diatas air tapi rumah di dalam air (kelelep banjir)
di daerah kayak gitu ada manfaatnya juga banyak yang lewat,memberikan rasa aman 😛
soalnya tempat saya juga di depan gang tiap malam ada bapak2 nongkrong sambil nonton pertamanya risih tapi difikir2 itung2 jagain gang 😛
mudah2an kehidupan ibu2 itu dan warga lain makin membaik
Di sini belum pernah banjir sih. Cuma kalau air pasang bisa sampai masuk rumah juga
waduh padahal udah tinggi itu masih masuk rumah juga
takut ada binatang masuk masalahnya
Bukan di daerah situ sih. Tapi di daerah rumah saya. Kadang takut juga kalau beberapa tahun lagi bakal banjir betulan.
Mba, itu pulau bromo daerah mana yak ?
koq baru pernah denger ….
itu di daerah saya. di daerah mantuil namanya. katanya dulu ada kapal yang namanya bromo lewat situ. trus jadilah pulaunya dikasih nama pulau bromo