Menjadi Agen Islam yang Baik

Menjadi agen Islam yang baik.

Itulah pesan yang ingin disampaikan Hanum Salsabiela dalam buku 99 Cahaya di Langit Eropa ditulisnya bersama suami tahun 2011 lalu (sekarang sudah difilmkan). Buku ini bercerita tentang pengalaman Hanum menjalani hidup di Eropa saat mengikuti sang suami, Rangga -yang menjalani pendidikan S3- di kota Wina. Pertemuan Hanum dengan Fatma Pasha  seorang wanita Turki yang ikut sang suami tinggal di Wina secara tidak langsung mengubah pandangannya tentang Eropa (terutama Wina). Bersama Fatma, Hanum menapaki kembali jejak-jejak peninggalan Islam di kota Wina. Bersama Fatma juga Hanum menanamkan mimpi untuk mengunjungi cahaya-cahaya Islam lain di Eropa, yakni Cordoba dan Granada.

Fatma juga yang membuka mata Hanum tentang bagaimana seorang muslim harus berperilaku. Dalam sebuah fragmen, diceritakan bagaimana Fatma malah mentraktir tiga bule yang mengolok-olok Islam dan negaranya. Saat ditanya alasannya, maka inilah jawaban yang diberikan Fatma, “…. Hanya satu yang harus kita ingat. Misi kita adalah menjadi agen Islam yang damai, teduh, indah, yang membawa keberkahan di komunitas nonmuslim…” (hal. 47).

Jika Fatma memperlihatkan sikap bijaksana dan smart-nya dalam menghadapi pelecehan terhadap agama dan negaranya, maka melalui sosok Latife, kita bisa melihat bagaimana dengan senyumnya, Latife berhasil meluluhkan hati Ezra, saingannya dalam berdagang. Tak hanya itu, senyum dan kejujuran Latife juga bahkan berhasil membuat Ezra jatuh cinta pada Islam.

Baca lebih lanjut

CLBK

CLBK -cinta lama belum kelar- merupakan tema yang diangkat dalam acara Mario Teguh Minggu malam lalu. Saya mengetahuinya dari rekan kantor, yang mendadak membahas hal tersebut setelah ia terlibat obrolan dengan rekan kantor yang lain. Obrolan yang bermula dari sebuah status facebook, hingga akhirnya melebar ke persoalan cinta dari masa lalu.

Apa yang akan kau lakukan jika seseorang dari masa lalumu hadir lagi dalam hidupmu? Begitulah kira-kira pertanyaan yang diajukan oleh Mario Teguh dalam acaranya. Ada beberapa pilihan yang diajukan. Berhubungan kembali dengannya, tapi dengan status teman. Berhubungan kembali namun tetap menjaga jarak. Atau pilihan terakhir tidak membuka hubungan lagi dan menutup segala celah yang bisa menumbuhkan hadirnya kembali perasaan yang pernah terkubur.

Bagi saya, jawaban dari pertanyaan tersebut sudah jelas. Meski sebenarnya kadang terbayang di benak saya tentang pertemuan kembali dengan sang mantan, namun jauh di lubuk hati saya tahu saya tak ingin lagi bertemu dengannya. Untuk apa? Membuka luka lama? Mengulang kenangan? Keduanya jelas bukan hal yang baik untuk dilakukan, setidaknya hingga sepuluh tahun ke depan. Atau hingga saya menemukan jodoh dan merasa cukup dengannya.

Suka atau tidak suka, cinta dari masa lalu (yang belum kelar) bisa menjadi salah satu bahaya tersembunyi dalam sebuah hubungan. Kenangan yang pernah tercipta merupakan penghubung utama dari hubungan yang terputus tersebut. Cara mereka tertawa, cara mereka makan, obrolan yang pernah tercipta, hingga mimpi yang pernah direncanakan bersama. Kita takkan tahu sebesar apa kita merindukan kenangan-kenangan tersebut. Tentunya akan sangat bagus jika kenangan yang kita miliki saat ini jauh lebih manis ketimbang dengan cinta yang lalu. Namun bagaimana jika sebaliknya?

Winna Efendi, dalam novel Unforgettable miliknya menuliskan, “… kita tidak akan pernah benar-benar berhenti mencintai seseorang. Kita hanya belajar untuk hidup tanpa mereka.” Meski konteks dalam kalimat tersebut ditujukan bagi mereka yang dipisahkan dengan kekasih mereka karena kematian, namun bagi saya kalimat tersebut juga bisa dikaitkan dengan CLBK ini. Setidaknya atas nama kenangan, rasa manis itu akan tetap ada di hati kita.

Posted from WordPress for Android

Jum’at Sore di Coffee Toffee

Jum’at lalu, saya dan seorang teman kantor berencana menonton film 99 Cahaya Langit di Eropa. Sayangnya, karena antrian yang panjang (kami berencana menggunakan poin telkomsel) akhirnya rencana tersebut harus ditunda. Dan sebagai gantinya, kami pun mengalihkan tempat hang out kami ke Coffee Toffee, sebuah tempat minum kopi yang baru dibuka beberapa bulan lalu.

Coffee Toffee merupakan sebuah franchise kedai kopi yang terletak di kawasan Taher Square Banjarmasin, jalan Piere Tendean No. 25. Sejak pertama kali dibuka beberapa bulan lalu, kedai kopi yang satu ini cukup berhasil menarik minat para anak muda di kota Banjarmasin. Letaknya yang cukup strategis bisa jadi menjadi salah satu faktor yang membuat Coffee Toffee laris manis. Ini tentunya juga di luar dari faktor kedai kopi ini sudah punya nama sebelumnya.

Saya sendiri datang ke kedai tersebut dalam rangka menuntaskan rasa penasaran. Suasana masih cukup sepi saat kami tiba di lantai 2 tempat kedai berada. Ini mungkin karena saat itu masih jam kerja. Tak seperti kafe pada umumnya, pemesanan langsung dilakukan di kasir dan bayar di tempat.

Baca lebih lanjut

Setelah kontrak ditandatangani

Kemarin, Surat Perjanjian Kerja kami keluar. Dan seperti yang sudah saya duga, ada salah satu pasal dalam SPK tersebut yang tidak mengizinkan kami semua untuk menikah sampai diangkat jadi pegawai. Yah, kalau dikira-kira, kurang lebih satu setengah tahun lah kami semua harus menunggu. Bagaimana dengan yang sudah terlanjur menikah sebelum jadi karyawan? Untuk kasus ini, karyawan tersebut tidak akan mendapat tunjangan suami/istri sampai dia diangkat jadi pegawai tetap.

Jujur, saat membaca pasal tersebut, ada rasa tidak rela di hati saya. Umur saya tahun depan sudah kepala tiga. Usia yang (kata orang) sudah tak muda lagi untuk menikah. Kenapa perusahaan tidak mempertimbangkan hal tersebut dalam pembuatan SPK kami? Tambahan lagi beberapa teman juga saya ketahui sedang mempersiapkan pernikahan mereka. Apakah dengan pasal ini berarti mereka harus menunda pernikahannya?

Lucunya, saat kontrak tersebut disodorkan tak ada satupun dari kami yang berani mempertanyakan pasal di kontrak tersebut. Semua hanya bisa tanda tangan dan langsung beranjak dari kursi untuk mempersilakan kawan yang lain. Saya sendiri hanya berani bertanya tentang sanksi yang akan diberikan jika peraturan dilanggar.

Baca lebih lanjut

[Berani Cerita #38] Luka Lama

Mataku menatap ke sekitarku. Sudah cukup lama rasanya sejak terakhir kali aku menginjakkan kaki di tempat ini. Apakah itu enam bulan? Sembilan bulan? Atau bahkan mungkin satu tahun? Entahlah. Aku tak bisa mengingatnya dengan pasti. Yang bisa kuingat, terakhir kali aku ke tempat ini adalah saat kebakaran besar melahap tempat ini dan tak lama kemudian kami sekeluarga harus pindah ke tempat baru.

Sekian lama tak berkunjung, bisa kulihat beberapa perubahan dari tempat ini. Jalanan yang dulu sedikit becek kini sudah berganti menjadi lantai-lantai beton yang tentunya lebih nyaman di kaki. Los-los yang dulu tak beraturan kini juga sudah tertata rapi. Para penjual ayam dan ikan-ikan di los A, para penjual sayur di los B, dan para penjual kelontong di los C. Beberapa papan penunjuk arah kulihat terpampang pada setiap jalur los-los tersebut, yang tentunya memudahkan para pengunjung yang ingin berbelanja.

Di bagian depan, para penjual kue dan pengganjal perut yang lain berjejer rapi memamerkan dagangan mereka. Bagi mereka yang sibuk berbelanja sepanjang pagi, singgah di los ini jelas menjadi godaan tersendiri. Kue serabi, lumpia bahkan nasi rames dan nasi sop akan menjadi penganan yang nikmat bagi kaki-kaki yang lelah dan bibir yang sibuk menawar barang-barang yang dibeli sebelumnya. Aku sendiri bahkan saat tiba di tempat ini sudah berhasil digoda oleh semangkuk bubur ayam yang dijual salah satu penjual di los tersebut.

Baca lebih lanjut