Untuk Mereka yang Melanjutkan Hidup

Dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang saya tonton kemarin, diceritakan Zainudin, seorang keturunan campuran Minang-Makassar yang datang ke tanah kelahiran ayahnya di Batipuh untuk menyambung tali silaturahim. Di Batipuh, ia bertemu dengan Hayati, gadis yatim piatu keponakan pemuka adat di kampung mereka. Keduanya jatuh cinta, namun karena status Zainudin yang tidak jelas (tidak berdarah Minang asli) maka lamaran Zainudin pun ditolak dan Hayati kemudian menikah dengan Aziz.

Untuk mengobati sakit hatinya, Zainudin, yang ditemani Muluk kemudian merantau ke Batavia. Selama di Batavia, Zainudin secara rutin mengirimkan tulisannya ke koran, hingga akhirnya kemudian cerita-cerita tersebut dibukukan dan laku keras. Atas kesuksesan yang diraihnya terdebut, Zaimudin kemudian diminta untuk mengelola sebuah penerbitan di Surabaya. Siapa sangka ternyata di Surabaya inilah ia bertemu kembali dengan Hayati, gadis yang sangat dicintainya. Ironisnya, saat dirinya mendapat kesempatan untuk memiliki Hayati, Zainudin malah menolaknya dan meminta Hayati pulang ke kampung halamannya. Dengan hati yang hancur, Hayati pun pulang dengan menaiki kapal Van Der Wijck. Dan seperti judul yang diberikan, kapal tersebut tenggelam dan Hayati pun meninggal.

Mulanya, saya berpikir film ini kemudian akan diakhiri dengan kemuraman. Entah itu Zainudin yang gila atau malah bunuh diri. Namun ternyata, penulis skenario dari film ini lebih memilih memberikan akhir yang berbeda dari versi bukunya. Alih-alih mengakhiri film dengan tragedi, mereka malah menyampaikan sebuah pesan positif di akhir ceritanya. Dan menurut saya, perubahan pada ending ini semakin memberi nilai tambah pada film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Baca lebih lanjut

[BeraniCerita #41] Tanda Cinta

Ratri menutup buku di tangannya. Matanya beralih ke jam dinding yang ada di kamarnya. Sudah lewat dari pukul dua belas malam. Dua jam sudah ia tak bergerak dari tempat tidurnya. Segelas air minum yang ia letakkan pada nakas di samping tempat tidurnya juga sudah habis tak bersisa. Ratri kemudian memandang ke sisi kanan tempat tidurnya yang masih kosong. Ia menghela nafas.

Masih dengan buku di tangannya, Ratri kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Kakinya melangkah menuju sebuah ruangan yang terletak di dekat lantai dua. Ruangan tersebut merupakan tempat favorit Adrian di rumah mungil mereka. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah meja kerja dengan puluhan buku tersusun rapi pada rak yang menempel dinding. Jika sudah berada di dalam ruangan itu, Adrian sanggup menghabiskan waktu berjam-jam tanpa peduli dengan dunia luar, termasuk dirinya. Hal yang kerap membuat Ratri cemburu setengah mati.

Setiba di depan di ruangan tersebut, dilihatnya Adrian masih sibuk memelototi laptop miliknya.

“Belum tidur?” tanya Adrian saat menyadari keberadaan sosok Ratri di ruangannya.

“Baru selesai baca buku kamu,” balas Ratri sambil melangkahkan kakinya memasuki ruang kerja tersebut.

Baca lebih lanjut