Dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang saya tonton kemarin, diceritakan Zainudin, seorang keturunan campuran Minang-Makassar yang datang ke tanah kelahiran ayahnya di Batipuh untuk menyambung tali silaturahim. Di Batipuh, ia bertemu dengan Hayati, gadis yatim piatu keponakan pemuka adat di kampung mereka. Keduanya jatuh cinta, namun karena status Zainudin yang tidak jelas (tidak berdarah Minang asli) maka lamaran Zainudin pun ditolak dan Hayati kemudian menikah dengan Aziz.
Untuk mengobati sakit hatinya, Zainudin, yang ditemani Muluk kemudian merantau ke Batavia. Selama di Batavia, Zainudin secara rutin mengirimkan tulisannya ke koran, hingga akhirnya kemudian cerita-cerita tersebut dibukukan dan laku keras. Atas kesuksesan yang diraihnya terdebut, Zaimudin kemudian diminta untuk mengelola sebuah penerbitan di Surabaya. Siapa sangka ternyata di Surabaya inilah ia bertemu kembali dengan Hayati, gadis yang sangat dicintainya. Ironisnya, saat dirinya mendapat kesempatan untuk memiliki Hayati, Zainudin malah menolaknya dan meminta Hayati pulang ke kampung halamannya. Dengan hati yang hancur, Hayati pun pulang dengan menaiki kapal Van Der Wijck. Dan seperti judul yang diberikan, kapal tersebut tenggelam dan Hayati pun meninggal.
Mulanya, saya berpikir film ini kemudian akan diakhiri dengan kemuraman. Entah itu Zainudin yang gila atau malah bunuh diri. Namun ternyata, penulis skenario dari film ini lebih memilih memberikan akhir yang berbeda dari versi bukunya. Alih-alih mengakhiri film dengan tragedi, mereka malah menyampaikan sebuah pesan positif di akhir ceritanya. Dan menurut saya, perubahan pada ending ini semakin memberi nilai tambah pada film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.