Membersamai si Sakit

Driss adalah seorang pemuda kulit hitam yang datang ke kediaman Philippe untuk mendapatkan uang jaminan sosial. Anehnya, Philippe, sang milyuner yang lumpuh seluruh tubuhnya itu malah memintanya bekerja di rumahnya. Dengan berbagai pertimbangan akhirnya Driss menerima tawaran pekerjaan tersebut.

Meski pekerjaannya adalah menjadi asisten seorang pria lumpuh, namun Driss menjalankan pekerjaannya tersebut dengan senang hati. Mulai dari memandikan Philippe, hingga membersihkan (maaf) kotorannya, semua dilakukan Driss seolah tanpa beban. Driss telah membawa warna tersendiri dalam hidup Philippe. Driss bahkan yang mendorong Philippe untuk mau berkenalan dengan seorang wanita. Mungkin hal itulah yang pada akhirnya kemudian membuat hubungan Driss dengan Philippe lebih seperti sahabat ketimbang pelayan dengan majikan.

Jika di the Intouchables bercerita tentang persahabatan seorang lumpuh dengan asistennya, maka dalam Amour, diceritakan seorang suami yang harus merawat istrinya yang menderita kelumpuhan pada tubuh bagian kanannya. Mulanya George, sang suami, merawat dengan Anne dengan penuh kesabaran. Namun seiring waktu, kelumpuhan yang diderita Anne bertambah parah. Ini membuat George frustasi dan kadang tanpa sadar bertindak sedikit kasar pada Anne. Bahkan pada akhirnya, George pun menyerah dalam upayanya merawat sang istri tercinta.

Baca lebih lanjut

[Draft] Orang Ketiga

“KAMU INI PEREMPUAN APA?!! SUDAH TAHU SUAMI ORANG MASIH DIGODA JUGA. DASAR NGGAK PUNYA HARGA DIRI!!!”

Lengkingan suara tersebut menggema ke seluruh ruangan tempatku berada. Pemiliknya adalah seorang wanita muda berusia pertengahan tiga puluhan. Tingginya kurang lebih seratus lima puluh lima sentimeter, mengenakan blus lengan panjang dipadukan dengan celana pensil. Wajahnya yang ayu kini tampak memerah karena karena marah.

Di hadapan wanita itu, berdiri seorang wanita lain yang tak kalah cantiknya. Dia adalah Era, salah satu rekan kerjaku di kantor ini. Rambutnya agak berantakan dan pipinya sedikit memerah sebagai akibat dari sebuah tamparan yang baru saja mendarat di pipi kirinya. Namun itu semua mungkin tak sebanding dengan rasa malu yang kini ditanggung Era.

“Saya ingatkan sama kamu, ya. Jangan sekali-kali menghubungi suami saya lagi. Kamu tidak mau kan reputasi kamu yang bagus itu berantakan karena kelakuan busukmu itu?!” Wanita itu berkata lagi. Kali ini sambil menudingkan telunjuknya ke arah Era  yang hanya bisa terdiam.

Usai memuntahkan segala kemarahannya tersebut, wanita itu pun berlalu tanpa berkata apa-apa lagi. Meninggalkan Era dengan segunung perasaan malu, dan tentunya belasan karyawan yang menatapnya dengan tatapan shock.

Beberapa menit sebelum insiden ini terjadi, Era baru saja selesai merayakan keberhasilan proyek yang dipegangnya. Setelah hampir tiga tahun berkutat sebagai asisten supervisi, gadis cantik itu akhirnya mendapat kesempatan untuk meng-handle proyeknya sendiri, dan sukses. Untuk merayakan keberhasilannya tersebut, pagi-pagi sekali Era sudah tiba di kantor, dengan membawa sekotak besar brownies dan membagi-bagikannya pada kami semua.

Baca lebih lanjut

Untuk Mereka yang Melanjutkan Hidup

Dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang saya tonton kemarin, diceritakan Zainudin, seorang keturunan campuran Minang-Makassar yang datang ke tanah kelahiran ayahnya di Batipuh untuk menyambung tali silaturahim. Di Batipuh, ia bertemu dengan Hayati, gadis yatim piatu keponakan pemuka adat di kampung mereka. Keduanya jatuh cinta, namun karena status Zainudin yang tidak jelas (tidak berdarah Minang asli) maka lamaran Zainudin pun ditolak dan Hayati kemudian menikah dengan Aziz.

Untuk mengobati sakit hatinya, Zainudin, yang ditemani Muluk kemudian merantau ke Batavia. Selama di Batavia, Zainudin secara rutin mengirimkan tulisannya ke koran, hingga akhirnya kemudian cerita-cerita tersebut dibukukan dan laku keras. Atas kesuksesan yang diraihnya terdebut, Zaimudin kemudian diminta untuk mengelola sebuah penerbitan di Surabaya. Siapa sangka ternyata di Surabaya inilah ia bertemu kembali dengan Hayati, gadis yang sangat dicintainya. Ironisnya, saat dirinya mendapat kesempatan untuk memiliki Hayati, Zainudin malah menolaknya dan meminta Hayati pulang ke kampung halamannya. Dengan hati yang hancur, Hayati pun pulang dengan menaiki kapal Van Der Wijck. Dan seperti judul yang diberikan, kapal tersebut tenggelam dan Hayati pun meninggal.

Mulanya, saya berpikir film ini kemudian akan diakhiri dengan kemuraman. Entah itu Zainudin yang gila atau malah bunuh diri. Namun ternyata, penulis skenario dari film ini lebih memilih memberikan akhir yang berbeda dari versi bukunya. Alih-alih mengakhiri film dengan tragedi, mereka malah menyampaikan sebuah pesan positif di akhir ceritanya. Dan menurut saya, perubahan pada ending ini semakin memberi nilai tambah pada film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.

Baca lebih lanjut

[BeraniCerita #41] Tanda Cinta

Ratri menutup buku di tangannya. Matanya beralih ke jam dinding yang ada di kamarnya. Sudah lewat dari pukul dua belas malam. Dua jam sudah ia tak bergerak dari tempat tidurnya. Segelas air minum yang ia letakkan pada nakas di samping tempat tidurnya juga sudah habis tak bersisa. Ratri kemudian memandang ke sisi kanan tempat tidurnya yang masih kosong. Ia menghela nafas.

Masih dengan buku di tangannya, Ratri kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Kakinya melangkah menuju sebuah ruangan yang terletak di dekat lantai dua. Ruangan tersebut merupakan tempat favorit Adrian di rumah mungil mereka. Dalam ruangan tersebut terdapat sebuah meja kerja dengan puluhan buku tersusun rapi pada rak yang menempel dinding. Jika sudah berada di dalam ruangan itu, Adrian sanggup menghabiskan waktu berjam-jam tanpa peduli dengan dunia luar, termasuk dirinya. Hal yang kerap membuat Ratri cemburu setengah mati.

Setiba di depan di ruangan tersebut, dilihatnya Adrian masih sibuk memelototi laptop miliknya.

“Belum tidur?” tanya Adrian saat menyadari keberadaan sosok Ratri di ruangannya.

“Baru selesai baca buku kamu,” balas Ratri sambil melangkahkan kakinya memasuki ruang kerja tersebut.

Baca lebih lanjut