Cinta Monyet

Saat masih duduk di bangku SMP dulu, saya menyukai seorang teman satu angkatan yang juga satu kelas dengan saya. Layaknya remaja yang sedang jatuh cinta, saya senang memandangi teman saya ini dari kejauhan. Dan karena di masa itu saya masih pemalu dan pendiam (sekarang juga masih pemalu tapi lebih cerewet :D) maka akhirnya rasa suka saya tersebut hanya bisa saya simpan dalam hati, mulai dari kelas 1 SMP hingga saya duduk di bangku kuliah.

Di bangku kuliah, perasaan saya pada teman saya itu mulai memudar. Di masa ini jug saya akhirnya bisa mewujudkan keinginan saya untuk setidaknya bisa akrab dengannya. NIM yang berdekatan serta seringnya kami satu kelompok dalam praktikum dan tugas besar menjadi katalis dari akrabnya saya dengannya. Lucunya, saat akhirnya bisa dekat dengannya, saya malah menunjukkan sisi jelek saya. Entah berapa kali teman saya ini kena omel karena hal-hal kecil. Dan saat dia protes dengan keadaan tersebut, saya hanya bisa beralasan dengan berkata, “Kamu itu datangnya selalu pada saat yang salah, sih!” 😀

Sekarang, teman saya ini sudah menikah dengan gadis pilihannya. Kadang, kalau mengingat sosoknya, saya sempat berpikir, apakah karena akhirnya bisa akrab dengannya maka rasa suka saya padanya bisa berkurang? Apakah karena saya akhirnya mengetahui beberapa sifatnya maka sosoknya tak lagi wah di mata saya? Ataukah karena otak saya sudah semakin rasional maka akhirnya saya berhenti mengharapkannya?

Ah, apapun alasannya, sosok teman saya ini akan selalu saya kenang sebagai cinta monyet saya 🙂