Pada sebuah hari Jum’at, sepulang kerja saya mendapati bendera hijau di depan gang. Waktu itu karena satu dan lain hal saya tidak sempat membaca nama yang tertera pada papan pengumuman di dekat bendera hijau tersebut. Kemudian, setiba di rumah, saya pun menanyakan pada ibu saya perihal siapa yang meninggal.
“Anang,” jawab ibu saya.
“Anang? Anang yang mana ya?” tanya saya lagi.
“Itu Anang anaknya bapak itu, Yang kurus-kurus itu,” jawab ibu saya lagi.
Otak saya pun mulai bekerja. Seingat saya hanya ada satu orang di gang ini yang saya kenal bernama Anang.
“Anang yang seumuran ulun itukah?” Saya bertanya lagi memastikan.
“Iya.” Ibu saya berkata lagi.
“Innalillahi. Dia kan masih tiga puluh tahun, Ma? Kok bisa?”
“Sakit jantung. Tadi pas shalat Jum’at dia pingsan. Pas dibawa ke rumah sakit ternyata sudah meninggal.”
Saya hanya bisa terpana mendengar penjelasan ibu saya. Pikiran saya kemudian berkelana pada istri dan anaknya yang masih berusia dua tahun.
Kemudian, beberapa bulan setelah kejadian itu, tiba-tiba sore ini ibu berkata lagi.
“Herman kena kanker hati.”
Oke, di gang tempat saya tinggal, hanya ada satu Herman yang saya kenal. Dan dia adalah teman sepermainan saya semasa kecil.
“Sejak kapan sakitnya, Ma?” tanya saya.
“Baru setengah bulan ini. Kankernya sudah stadium akhir. Dokter bahkan sudah menyerah.”
Saya hanya bisa terdiam. Lagi-lagi saya teringat pada usia Herman yang bahkan belum tiga puluh tahun, serta istri dan anaknya yang masih kecil. Dan beberapa menit yang lalu, kami pun mendengar kabar kalau Herman telah meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi rooji’un. Begitu dekatnya kematian dengan kita.