Tempat itu bernama Kedai Hujan. Sebuah cafe mungil yang berada tak jauh dari tempat kursusnya. Kabarnya nama Kedai Hujan dipilih karena dulunya kedai tersebut merupakan tempat persinggahan orang di kala hujan. Dan bagi pecinta hujan seperti dirinya, menanti hujan di tempat tersebut bak mendengarkan alunan nada Beethoven kesukaannya. Ditemani secangkir capuccino hangat dan setangkup pancake, semuanya sudah cukup baginya untuk melupakan dunia sekitarnya, seperti hari ini.
“Boleh saya duduk di sini?”
Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan nada-nada Beethoven di kepalanya. Dialihkannya wajahnya dari tetesan hujan yang sedari tadi menari-nari di matanya, menuju ke arah sumber suara. Di sana, seorang pemuda berwajah tampan dengan ransel di punggungnya sedang berdiri di hadapannya. Sejenak pandangannya beralih ke ruangan di sekelilingnya.
“Tempat duduk lain sudah penuh,” kata pemuda itu lagi, seolah-olah bisa membaca pikirannya. Akhirnya dia hanya bisa mengedikkan bahunya.
“Anda mengambil kursus bahasa Perancis?”
Lagi-lagi suara pemuda itu mengalihkan pikirannya. Sekilas dilihatnya diktat bahasa Perancis yang tergeletak begitu saja di hadapannya, menanti untuk dibuka olehnya. Bukannya dia tak ingin melakukannya, hanya saja hujan selalu berhasil mencuri perhatiannya.
“Iya.” Kali ini dia menjawab sambil terlebih dahulu menyunggingkan senyum tipis. Sekedar sopan santun agar si penanya tak tersinggung dengan ketidakpeduliannya dengan dunia sekitar.
“Le Francais est la plus belle langue1.”
Jika kalimat tersebut keluar dari mulutnya sendiri, mungkin dia takkan terlalu kaget. Nyatanya kalimat tersebut keluar dari mulut pemuda di hadapannya, dengan pengucapan yang nyaris tanpa cela. Maka akhinya mau tak mau untuk pertama kalinya dia benar-benar memalingkan wajahnya untuk menatap langsung si pemilik suara, untuk kemudian menyadari ada garis eropa pada wajah pemuda tersebut.
“Anda bisa berbahasa Perancis?” Tanyanya kemudian.
“Kebetulan ibu saya berdarah Perancis,” jawab pemuda itu sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Senyum yang menambah pesona pada pemilik wajah tersebut.
“Wow, what a coincidence..”
“Yah, mungkin juga begitu. Oh ya, saya Arman.”
“Bella..”
***
Suasana Kedai Hujan sore ini tak seramai biasanya. Hanya terdapat satu dua pengunjung yang menikmati tea-time mereka di cafe tersebut, ditemani dengan musik jazz yang mengalun lembut dari band tetap cafe tersebut. Di salah satu sudut, tampak Bella sedang asyik menekuri buku di hadapannya. Kursus bahasa Perancisnya telah berakhir setengah jam yang lalu. Dan seperti biasanya, seusai kursus Bella akan langsung melangkahkan kakinya menuju Kedai Hujan. Menghabiskan sisa sore di sana, entah itu hanya untuk secangkir capuccino hangat atau mengulang kembali pelajaran yang diberikan hari itu.
“Allo, Belle2.”
Sebuah suara terdengar dari hadapannya. Bella tersenyum. Tanpa perlu mendongakkan kepalanya, Bella sudah bisa menebak siapa pemilik suara tersebut. Dia adalah satu-satunya orang yang memanggilnya Belle, cantik. Tanpa menunggu persetujuan dari Bella, pemilik suara tersebut lantas menarik kursi di hadapannya dan duduk dengan santai di sana. Bella sendiri kemudian memilih menutup buku yang sedang dibacanya.
“Sudah lama nunggu, Belle? Maaf aku datangnya agak telat. Ada sedikit masalah tadi.”
“It’s okay, Kak. Oya, Kak Arman mau minta ditemani kemana sih? Tumben banget.”
“Pokoknya kamu ikut aja. Cepat habiskan cappucino-nya.”
***
Honda Jazz biru metalik itu melenggang dengan santai di sepanjang jalan kota mereka. Di jok depan, seorang pemuda yang jika dilihat sekilas wajahnya mirip dengan Gaspard Ullierd tampak sibuk dengan setirnya. Sedang di samping kirinya, seorang gadis manis dengan rambut sebahu yang dikuncir satu duduk dengan nyaman sambil menikmati pemandangan kota. Alunan musik jazz yang lembut mengiringi perjalanan mereka. Tak banyak kalimat muncul dalam perjalanan tersebut. Keduanya tampak nyaman dengan kesendiriannya masing-masing.
Malam sebelumnya, saat dirinya sedang sibuk berkutat dengan tugas kuliahnya, sebuah SMS masuk ke handphone Bella.
“Belle, besok bisa temani aku? Aku ingin membeli sesuatu.”
Begitu isi pesan pendek itu. Pengirimnya adalah Arman, pemuda yang tak sengaja dikenalnya beberapa bulan sebelumnya. Pesan pendek yang mampu membuat Bella harus sibuk memilih-milih pakaian yang harus dikenakannya keeseokan harinya.
Kadang Bella masih tak percaya perkenalan tak sengaja antara dirinya dengan Arman kala itu bisa berkembang sejauh ini. Beberapa kali pertemuan tak sengaja pada minggu-minggu berikutnya berubah menjadi pertemuan rutin. Entah siapa yang memulai, yang jelas siapapun yang lebih dulu mendudukkan dirinya di Kedai Hujan, maka yang datang belakangan akan bergabung di sana, memesan minuman favoritnya dan tanpa disadari mereka berdua sudah larut dalam dunia yang mereka bangun sendiri.
Awalnya Bella hanya tertarik dengan bahasa Perancis yang ditunjukkan Arman pada pertemuan pertama mereka. Namun siapa sangka selain menjadi tandem yang menyenangkan untuk latihan berbahasa Perancis, Arman juga bisa menjadi teman bicara yang mengasyikkan. Siapa sangka juga jauh sebelum pertemuan pertama mereka kala itu, sebenarnya mereka sudah cukup sering berada di tempat yang sama, namun tak pernah saling bersinggungan. Kadang mereka duduk bersisian, kadang berseberangan, hingga saling membelakangi. Dan hujan yang turun dengan lebat di awal bulan Juni tersebut akhirnya menjadi nyanyian yang mengiringi perkenalan mereka.
“Masih jauh, Kak?” Tanya Bella di sela-sela perjalanan mereka. Nyaris setengah jam sudah berlalu sejak mereka meninggalkan Kedai Hujan, dan Bella masih belum bisa menebak kemana sebenarnya Arman akan membawanya.
“Nggak juga sih. Aku sengaja muter-muter biar kesannya jalannya jauh. Hehe.” Arman menjawab sambil memamerkan senyumnya. Senyum yang membuat Bella menjadi salah tingkah. Berada satu mobil dengan Arman benar-benar membuat irama jantungnya sulit dikendalikan.
Sejak kapan perasaan itu muncul di hati Bella, ia sendiri pun tak pernah mengetahuinya. Apakah itu dimulai dari percakapan-percakapan panjang mereka selama menghabiskan sore di Kedai Hujan? Percakapan yang kadang membawa pemahaman baru di kepala Bella, terutama jika Bella sedang terbelit masalah. Arman yang cerdas dan lebih tua empat tahun darinya selalu bisa memberikan pandangan dari sudut pandang yang berbeda. Kadang percakapan mereka juga diiringi dengan gelak tawa tak berkesudahan dari Bella sebagai akibat dari lelucon yang dilemparkan Arman padanya. He can be serious, yet playful too. Itulah satu kalimat yang sering diucapkan Bella kepada kawan-kawannya jika dirinya diminta menggambarkan sosok seorang Arman dan mengapa ia begitu menyukai momen bersamanya, meski setelahnya dia harus siap menerima segala bantahan dan ledekan dari mereka.
“Astaga…Si Fahri perasaan juga karakternya juga kayak gitu, Bel. Tapi kamu adem ayem aja kalo sama dia,” kata Andin pada suatu hari. Fahri adalah adalah salah seorang kawan kuliah mereka yang kabarnya sedang berusaha mendekati Bella.
“Ya aku nggak tau juga, Din. Yang jelas aku nggak ngerasa senyaman saat sama Kak Arman kalo ngobrol sama Fahri,” jawab Bella pendek. Bicara soal perasaan, tidak ada yang bisa memaksa, bukan?
“Hmm…apa mungkin karena karena Fahri tidak menyukai hujan sedangkan Kak Arman sangat menyukai hujan? Sama seperti kamu, Bel?”
Mau tak mau Bella terpikir juga mendengar kemungkinan yang diungkapkan sahabatnya itu.
Bella memang seorang pecinta hujan. Baginya nyanyian paling indah adalah suara rintik hujan dan momen paling romantis adalah saat gerimis mulai menapaki bumi. Ibunya sering berkata kelahirannya diiringi oleh hujan. Mungkin itulah yang menyebabkan dirinya sangat menyukai hujan. Karena lagu pertama yang ia dengar selain lantunan azan dari sang ayah adalah rinai hujan yang membasahi atap rumahnya.
Arman juga seorang pecinta hujan. Persis seperti Bella, Arman selalu menikmati saat-saat menanti hujan reda. Bedanya jika Bella setia menanti hujan untuk bisa menghirup wanginya aroma tanah yang mulai mengering setelah hujan, maka Arman menantikan sebuah lengkungan busur dengan tujuh warna indahnya menghiasi cakrawala, bernama pelangi. Arman juga menikmati hujan dengan cara yang berbeda dengan Bella. Jika Bella sanggup menghabiskan waktu berjam-jam untuk menatap dan mendengarkan suara hujan, maka Arman takkan segan meleburkan dirinya bersama tetesan air yang turun tersebut. Dua perbedaan yang cukup mencolok, namun tetap tak menghapus esensi dasar dari kesamaan mereka tersebut, hujan.
***
Puas mengitari jalan kota mereka, Arman akhirnya membelokkan mobilnya ke sebuah komplek pertokoan. Di komplek itu, beraneka ragam toko berjejer, menyediakan berbagai kebutuhan para pembelinya, menjamin bahwa mereka tak perlu lagi mencari barang ke tempat lain, dengan harga yang tak kalah bersaing dari tempat lain. One stop shopping. Begitu mereka menyebutnya.
Setelah memarkir mobilnya di tempat yang sudah disediakan, Arman kemudian mengajak Bella menuju ke sebuah toko di antara jejeran toko di komplek tersebut.
“Benar Kak Arman mau ngajak aku ke sini?” Dengan ragu Bella bertanya saat mereka berada tepat di hadapan toko yang dimaksud Arman. Sebuah toko dengan berbagai macam perhiasan terpajang di etalasenya.
“Iya benar. Yuk masuk.” Tanpa ragu Arman menarik pergelangan tangan Bella, menuntunnya memasuki toko perhiasan tersebut.
Jika saja detak jantung bisa dikirimkan melalui genggaman tangan, pastilah saat ini Arman bisa merasakan dengan jelas bagaimana jantungnya saat ini berdetak begitu cepat, seiring dengan melambungnya harapan dalam dirinya. Arman mengajaknya ke toko perhiasan. Untuk apakah?
Keduanya kini telah berada di hadapan etalase toko perhiasan tersebut. Sesaat Bella dibuat terkagum-kagum dengan kemilau perhiasan yang dimiliki toko tersebut.
“Menurut kamu mana yang bagus, Belle?” Arman berkata kepada Bella sembari matanya tertuju pada deretan cincin yang terpajang di etalase toko tersebut.
“Kak Arman mau beli cincin?” Bukannya menjawab pertanyaan Arman, Bella malah mengajukan pertanyaan balik padanya.
“Oui3. Untuk Sofie.”
“Sofie?” Bella bertanya lagi. Kali ini ada sedikit getar dalam nada suaranya.
Arman tiba-tiba memukul kepalanya sendiri. Seolah-olah dirinya melakukan sebuah kesalahan besar.
“Ah, sepertinya aku lupa menceritakannya padamu, Belle. Sofie adalah kekasihku. Aku berencana melamarnya besok.”
***
When I see your face
There’s not a thing that I would change
Cause you’re amazing
Just the way you are
Alunan musik Just the Way You Are milik Bruno Mars sayup-sayup terdengar dari Honda Jazz biru metalik milik Arman. Suara penyanyinya sendiri tertutupi oleh suara dua orang penumpang di mobil tersebut, yang dengan pedenya melakukan cover version atas lagu tersebut. Beruntung perjalanan pulang mereka kali ini ditemani oleh nyanyian hujan, sehingga baik Arman dan Bella tak perlu menghadapi tatapan terganggu dari pengendara kendaraan di kanan kiri mereka.
“Ciee..kayaknya bahagia banget nih.” Bella berkata kepada Arman yang duduk di sampingnya, mengemudikan mobil sambil tak henti-hentinya tersenyum. Suaranya agak serak akibat terlalu semangat bernyanyi.
“Iya doong..”
Masih serius dengan kemudi di tangannya, Arman membalas perkataan Bella. Senyum yang sama masih menghiasi wajahnya, malah bisa dibilang semakin berbinar.
“Oya. Makasih banget ya udah mau nemanin aku hari ini, Belle. Semoga aja Sofie suka dengan cincin yang aku beli.” Arman berkata kembali. Kali ini sambil menolehkan wajahnya ke arah Bella, menatapnya dengan hangat.
***
Sewaktu mendengar nama Sofie keluar dari mulut Arman beberapa jam sebelumnya, Bella sudah tahu kalau itu adalah awal dari badai besar yang akan melanda hatinya. Badai itu dengan sukses menghancurkan sebuah impian manis yang dia sendiri tak tahu sejak kapan mulai terbangun di hatinya. Hancur hingga ke pondasi terdasar.
Tanpa sadar pikiran Bella melayang ke berbagai percakapan yang terjalin antara dirinya dengan Arman selama beberapa bulan terakhir. Berusaha mengingat seberapa banyak dirinya mengetahui Arman.
Arman adalah putra ketiga dari lima bersaudara yang semuanya laki-laki.
Arman adalah satu-satunya yang fasih berbahasa Perancis diantara semua saudaranya.
Arman bekerja di sebuah bank swasta di kotanya.
Arman sangat menyukai kopi dan hujan, sama seperti dirinya.
Arman sangat menyukai musik jazz.
Begitu banyak hal yang diketahui Bella tentang Arman. Sayangnya dia lupa menanyakan satu hal. Tak pernah pula mau repot mengecek status Arman di facebook-nya, apakah pemuda blasteran Perancis-Indonesia di sampingnya itu masih berstatus “available” atau “already taken”. Dia terlanjur terlena dengan perhatian yang diberikan Arman padanya.
Masih jelas dalam ingatannya ketika ia meminta pendapat dari sahabat-sahabatnya tentang seorang Arman. Meski tak pernah bertemu langsung, mereka cukup familiar dengan Arman. Mengingat Bella tak pernah berhenti membicarakannya selama beberapa waktu terakhir.
“Kalau dengar dari cerita kamu sih. Kayaknya dia emang naksir kamu, Bel.” Begitu pendapat Andin.
“Sabar aja, Bel. Mungkin saat ini dia masih malu buat bilang ke kamu. Semua akan indah pada waktunya.” Kali ini Alya yang berbicara. Membuatnya khayalannya terbang hingga langit ke tujuh. Lalu ketika Bella memberitahukan SMS yang dikirimkan Arman padanya tadi malam, Bella harus rela mendapati dirinya menjadi bahan godaan para sahabatnya.
“Aku dan Sofie sudah berpacaran selama 2 tahun. Kami bertemu di Jogja, saat aku mengunjungi salah seorang sahabatku di sana.”
Suara Arman tiba-tiba memecahkan kesunyian yang sempat tercipta selama beberapa menit tadi. Membuat pikiran Bella kembali ke tempat asalnya. Sayangnya pikiran tersebut harus mencerna hal terakhir yang ingin didengarnya dari mulut Arman hari ini. Baginya mengetahui kalau Arman ternyata memiliki kekasih sudah cukup menyakitkan. Tak perlu ditambah dengan bumbu cerita tentang bagaimana Arman dan Sofie bisa bertemu.
“Tahun ini kuliahnya sudah selesai. Jadi kurasa sudah waktunya bagi kami untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius. Lagipula kata orang kita sebaiknya tidak menunda pernikahan, bukan?”
Ingin rasanya Bella meminta Arman berhenti ketika kemudian Arman mulai melanjutkan ceritanya tentang Sofie. Namun sayangnya Bella tak bisa melakukannya. Dia harus tetap mendengarkan. Dengan ekspresi yang dibuat setertarik mungkin. Tersenyum, tertawa, sambil sesekali menanggapi ucapan Arman. Meski sebenarnya hatinya berdarah-darah.
“Ah, sial!! Mobilnya mati!” Tiba-tiba Arman mengeluarkan kalimat umpatan di sela-sela ceritanya. Segera ia melepaskan sabuk pengaman yang melintang di tubuhnya dan keluar dari mobil untuk mengecek mesin mobilnya.
***
“Maaf ya, Belle harus ngantar kamu dengan kondisi seperti ini,” kata Arman kepada Bella. Saat ini mereka sudah tiba tepat di depan pintu rumah Bella. Setelah beberapa belas menit sebelumnya berjalan bersama menembus lebatnya hujan.
“Tidak usah dipikirkan, Kak. Aku nggak apa-apa, kok,” jawab Bella sambil tersenyum. Masih terbayang dalam ingatannya bagaimana Arman berusaha keras melindungi dirinya dari guyuran air hujan, mendekap erat bahunya untuk memastikan langkahnya tetap seimbang dalam genangan air yang menutupi jalan mereka. Sebuah kenangan yang mungkin akan sangat sulit dihapus dari ingatannya.
“Ya udah. Aku langsung, ya. Takut mobil kenapa-napa. Kamu habis ini langsung mandi lho, ya. Biar ga sakit.”
Bella hanya mengangguk pelan.
“Kak…”
Tepat saat Arman hendak membalikkan badannya, terdengar suara Bella memanggilnya. Arman urung membalikkan badannya.
“Kalau boleh tau, sebenarnya selama ini Kak Arman menganggap saya apa?”
Entah mendapat kekuatan dari mana hingga akhirnya pertanyaan itu berhasil keluar dari mulut Bella. Pertanyaan yang sejak berpuluh-puluh menit lalu menghantui pikirannya.
Sesaat Arman terlihat membeku. Keningnya berkerut.
“Kamu itu sahabatku, adik perempuan yang tak pernah kumiliki.”
Arman berkata sambil tersenyum. Senyum yang selalu berhasil menghadirkan getaran yang berbeda di jantung Bella.
Tak lama si pemilik senyum itu pun menghilang dari hadapannya. Meninggalkan jejak-jejak langkah yang dengan cepat terhapus oleh guyuran air hujan. Sementara di teras rumahnya, Bella masih memandang sisa-sisa langkah tersebut sembari berkata dengan lirih, “Je t’aime comme la pluie4.”
Ia menangis.
***
Banjarmasin 27052011
Daftar kosa kata:
Le Francais est la plus belle langue : Bahasa Perancis adalah bahasa yang paling indah
Allo, Belle : Halo, cantik
Oui : Iya
Je t’aime comme la pluie : Aku mencintaimu seperti hujan
NB: Cerpen ini ditulis dalam rangka sebuah lomba adaptasi cerita dalam kumpulan tulisan Kulepaskan Engkau dari Hatiku yang diadakan oleh Heart & Soul Writing Community. Tulisan yang diadaptasi adalah milik Sinta Anggoro.
Judulnya romantis bgt
iya. hehe 🙂
Yaah..kirain bakal happy ending
Kirain Arman cuma menciptakan karakter Sofie, sebenarnya Sofie itu nggak ada, dan cincin itu surprise, hehehe
Btw, hujan pagi ini sukses bikin aku telat. Hiks!!
Soalnya di ceritanya emang seperti itu. Ceweknya patah hati
Lebih menggigit lagi kalau pertanyaan Bella yg terakhir itu tidak ada. Cukup dgn rinai hujan yg gerimis itu, menggambarkan betapa gerimisnya hati Bella. Dan, mungkin saja semenjak itu ia jadi membenci hujan. *sok berlagak juri, mbak* Semoga menang, ya
Hehe. Iya juga, dok. Oya ini lombanya udah lama sih sebenarnya. Makanya akhirnya diposting 🙂
aarrgghh udah punya sofie.. patahati dah..
Iya, mba tin. Ceweknya salah sangka