Tempat itu bernama Kedai Hujan. Sebuah cafe mungil yang berada tak jauh dari tempat kursusnya. Kabarnya nama Kedai Hujan dipilih karena dulunya kedai tersebut merupakan tempat persinggahan orang di kala hujan. Dan bagi pecinta hujan seperti dirinya, menanti hujan di tempat tersebut bak mendengarkan alunan nada Beethoven kesukaannya. Ditemani secangkir capuccino hangat dan setangkup pancake, semuanya sudah cukup baginya untuk melupakan dunia sekitarnya, seperti hari ini.
“Boleh saya duduk di sini?”
Sebuah suara tiba-tiba membuyarkan nada-nada Beethoven di kepalanya. Dialihkannya wajahnya dari tetesan hujan yang sedari tadi menari-nari di matanya, menuju ke arah sumber suara. Di sana, seorang pemuda berwajah tampan dengan ransel di punggungnya sedang berdiri di hadapannya. Sejenak pandangannya beralih ke ruangan di sekelilingnya.
“Tempat duduk lain sudah penuh,” kata pemuda itu lagi, seolah-olah bisa membaca pikirannya. Akhirnya dia hanya bisa mengedikkan bahunya.
“Anda mengambil kursus bahasa Perancis?”