lelaki tua di warung makan


Sabtu siang sepulang kerja, biasanya akan saya habiskan dengan berburu makan siang di beberapa warung makan di kota saya. Entah sejak kapan bermulanya, saya menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kebiasaan. Menikmati makan siang sendirian, sementara di kanan kiri saya orang-orang terlihat sibuk berbagi kisah dengan pasangannya.

Saya tak menampik awalnya ada perasaan tak nyaman ketika harus makan siang sendirian, apalagi jika warung yang saya pilih cukup ramai.Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai terbiasa, dan bahkan mulai menikmati keadaan tersebut. Saya bisa makan dengan santai tanpa takut ada yang memperhatikan, saya bisa mencuri-curi dengar pembicaraan orang di samping saya, semua hal yang mungkin tak bisa dilakukan jika saya makan dengan seorang partner. Me time, begitu saya menyebutnya.

Sabtu siang kemarin, tempat yang menjadi pilihan saya adalah Soto Cak Hari yang ada di kawasan jalan Gatot Subroto. Sebagai tempat makan yang menyediakan soto khas Surabaya, Soto Cak Hari ini bisa dibilang yang terlaris di kota saya. Rasanya enak dan harganya terjangkau. Karena itu tak heran jika setiap harinya tempat makan ini selalu dipenuhi pelanggan dari berbagai kalangan.

Saat kaki saya melangkah masuk, tampak kursi-kursi plastik yang ada di tempat itu sudah hampir terisi semua. Dan seperti yang sudah diduga, mereka yang makan di tempat itu rata-rata berpasangan atau rombongan. Perlu waktu beberapa menit bagi saya untuk memutuskan kursi yang akan saya tempati. Akhirnya. setelah melihat-lihat sebentar, saya pun memilih sebuah kursi kosong yang ada di bagian tengah warung.

Tak sampai sepuluh menit menunggu, soto ayam pesanan saya tiba. Tanpa sabar saya segera melahap soto tersebut. Menuangkan sambal, koya, dan tentunya jeruk nipis. Nikmat sekali rasanya. Mungkin itu karena sudah cukup lama saya tidak makan di tempat itu.

Saat sedang asyik menyantap makan siang saya, seorang pria dan dua orang wanita tampak mengambil tempat duduk kosong di samping saya. Entah mereka rekan kerja atau keluarga. Namun dari topik pembicaraan yang mereka bahas, saya menarik kesimpulan kalau tiga orang ini bekerja di lingkungan pemerintahan.

Lalu, ketika saya sibuk mendengarkan pembicaraan ketiga orang tersebut, sesosok renta lewat di samping saya. Perhatian saya teralihkan. Sosok tua itu, kira-kira berusia tujuh puluh tahun, berjalan dengan bingung diantara meja-meja yang ada di tempat saya makan. Beliau menarik sebuah kursi, duduk sebentar, melihat krupuk, lalu berdiri dan berjalan kembali. Tak sampai beberapa menit, beliau duduk lagi di bangku yang lain, dan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukannya tadi.

Mau tak mau berkelebat pertanyaan di kepala saya. Siapa gerangan kakek tua itu? Jika dilihat dari gerak-geriknya, beliau bukanlah seorang peminta-minta. Lagipula selama ini saya belum pernah menemukan ada peminta-minta yang masuk ke warung Cak Hari. Namun jika melihat kondisi kakek tua itu, siapapun pasti akan merasa kasihan. Pakaian beliau sangat biasa dan beliau terlihat kebingungan. Benar-benar sebuah anomali jika dibandingkan dengan pengunjung warung yang lain.

Akhirnya seusai makan saya putuskan untuk bertanya kepada kasir tentang kakek tua tersebut.

“Mba, kakek yang di ujung itu mau makan, ya?” tanya saya pada kasir.

“Oh, nggak, Mba. Bapak itu memang sering ke sini. Dia sudah pikun. Sehari bisa sepuluh kali, Mba. Ditawarin makan juga nggak mau. Ya udah kami biarin aja. Kebetulan rumahnya ada sebelah.”

“Jadi beliau bukan peminta-minta?” tanya saya lagi menegaskan.

“Bukan.”

“Oo…makasih ya, Mba,” kata saya akhirnya sambil membayar tagihan makan saya sebelumnya. Sambil berlalu, saya sempatkan lagi menoleh ke arah kakek tua tadi. Sosoknya masih tampak kebingungan. Dalam hati saya menangis.

Gambar pinjam di sini.