[MV] IU “You and I”

Sampai pertengahan 2010, mungkin hanya segelintir pecinta K-Pop yang “ngeh” dengan keberadaan gadis kelahiran 1993 yang satu ini. Posisinya sebagai solois perempuan di tengah-tengah gempuran boy band dan girl band mungkin menjadi salah satu alasan kenapa sosoknya seolah terpingirkan. Padahal selain memiliki suara yang merdu, IU juga memiliki musikalitas yang tinggi. Ini bisa dilihat dari bagaimana dia berhasil meng-cover GEE dengan begitu indah diiringi dengan permainan gitar akustiknya. Salah satu hal yang jarang dimiliki idol K-Pop saat ini. Selain itu IU juga kerap menjadi langganan pengisi soundtrack drama-drama Korea.

Baca lebih lanjut

[catatan perjalanan] malam terakhir di Bandung, Trans Studio

Usai menghadiri pernikahan Rahmi, saya, Kak Dini, dan Lala pun pamit untuk kembali ke Bandung. Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang ketika kami tiba di terminal. Itu berarti kami akan tiba di Bandung paling cepat pukul 6 sore. Dan karena sudah cukup “berpengalaman” dalam perjalanan sebelumnya, maka perjalanan kali ini lebih banyak saya isi dengan tidur.

Sekitar pukul 6 sore, bis MGI yang kami tumpangi tiba di terminal Leuwi Pajang. Segera kami turun untuk kemudian menumpangi angkot dengan jurusan ke Cihampelas. Sepanjang perjalanan yang kami pikirkan hanyalah dimana kami menginap malam itu. Awalnya Kak Dini menyarankan untuk menginap di hotel yang pernah ia tempati saat ke Bandung beberapa waktu sebelumnya, yang berlokasi tepat di depan Ciwalk. Namun berhubung tarifnya yang selangit, maka nama hotel tersebut dicoret dari daftar kami. Nama berikutnya diajukan oleh Lala. Ia menawarkan hotel yang pernah ditempati seorang temannya saat berada di Bandung juga. Namun karena kami tidak mengetahui lokasi hotel tersebut, plus kami bermaksud mencari penginapan dekat stasiun kereta, akhirnya perdebatan mengalami kebuntuan. Saya sendiri karena merasa sebagai “minoritas” tak berani memberikan saran apapun.

Saat sedang sibuk berdebat untuk menentukan tempat menginap, tiba-tiba Mas-mas yang duduk di depan kami nyelutuk. “Mba, kalo hotel yang dimaksud itu letaknya lumayan jauh dari stasiun,” begitu katanya. Perhatian kami pun teralih kepada Mas tersebut, hingga akhirnya perjalanan kami berujung dengan pindahnya kami dari angkot tersebut menuju angkot jurusan Stasiun.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika akhirnya kami tiba di stasiun Bandung. Satu hal yang tak menjadi perhitungan kami adalah, hari itu weekend, dan weekend berarti hotel-hotel penuh. Dan benarlah, dua hotel pertama yang kami datangi fullbooked. Beruntung ketika mendatangi hotel ke tiga, terdapat sebuah kamar yang tak sudah dibooking namun tak jadi ditempati. Jadilah malam itu kami bermalam di hotel tersebut.

Setelah meletakkan semua barang, kami langsung bergegas kembali ke lobi hotel untuk menunggu kedatangan Abrari. Yup, lagi-lagi kami “menculik”-nya untuk menghabiskan malam minggu di kota Bandung. Tujuan kami kali ini adalah Trans Studio yang terletak di Bandung Super Mal. Tak lama Abrari pun tiba di lobi, kami berempat pun melangkahkan kaki menuju jalan raya.

Ibarat orang kampung yang baru masuk kota, jujur saya terkagum-kagum sendiri ketika memandangi Bandung malam itu. Satu hal yang baru saya sadari malam itu adalah, bangunan-bangunan di kota Bandung rata-rata masih memakai arsitektur Belanda. Mulai dari hotel hingga bangunan pemerintahan. Sebuah hal yang tak saya temukan di Banjarmasin. Bahkan kalau dilihat-lihat lagi, kayaknya replika-replika bangunan di Trans studio di Bandung juga memakai arsitektur Belanda (CMIIW yaaa).


Sesampai di Trans Studio, kami langsung melakukan registrasi. Karena saat itu adalah malam minggu, maka harga tiket masuknya sebesar Rp. 200.000/orang. Lumayan mahal sih sebenarnya. Namun kalau dipikir-pikir, toh saya tidak setiap waktu bisa ke Bandung lagi jadi nggak apa-apalah mahal sedikit, hehe.


Wahana pertama yang kami coba di Trans Studio tak lain dan tak bukan adalah roller coaster. Kali pertama mencoba roller coaster, membuat saya agak lebay dengan sistem keamanan yang ada. Beberapa kali saya meminta tolong mba penjaga di tempat tersebut agar memeriksa tempat duduk saya. Sebenarnya wajar aja kali ya, mengingat ini berkaitan dengan hidup dan mati saya.

Roller coaster pun dijalankan. Anak laki-laki yang duduk di samping saya terus-menerus berteriak “YASIIIIN..YASIIINN,” sementara saya sendiri hanya bisa berteriak, “AAAAAA,” selama 30 detik yang mendebarkan tersebut. Satu momen yang tidak akan bisa saya lupakan saat mengendarai roller coaster itu adalah ketika kami berada di puncak, memandang langit malam kota Bandung selama sepersekian detik, lalu tiba-tiba kami meluncur kembali ke bawah, dengan kecepatan penuh. Sebuah momen yang kalau boleh saya bilang seperti menghadapi detik-detik terakhir hidup kita.


Sesudah merasakan sensasi “mau mati” dengan roller coaster, kami bertiga mencoba beberapa wahana lain yang ada di Trans Studio. Naik perahu di Sky Pirates, Giant Shoes, Dunia Lain, Science Center, hingga mencoba ikut kuis. Sayangnya karena sudah terlebih dahulu mencoba Roller Coaster, membuat wahana-wahana lain yang kami coba tersebut menjadi terasa biasa saja. Antiklimaks kalau kata orang.

Oya, ketika menikmati wahana-wahana di tersebut, kami mendapat 3 kawan baru, Putri, Fatma dan seorang lagi yang saya lupa namanya. Mereka adalah remaja Bandung yang datang dengan ditemani tante-tante mereka. Hanya saja para tante tersebut tidak ikut ke dalam studio.

Ketika ditanya sudah berapa kali ke trans studio, mereka mengaku sudah lebih dari sekali. Bahkan kalau boleh dibilang wahana Dunia Lain sudah bukan hal yang menakutkan lagi bagi mereka. Namun lucunya, tak ada satupun dari mereka yang pernah merasakan naik roller coaster. Pun ketika kami memutuskan mencoba Giant Shoes, salah satu dari mereka menolak untuk ikut. Well, kalau saya seumuran mereka mungkin juga akan menolak wahana-wahana tersebut.

Anak-anak yang cerdas dan selalu ingin tahu. Begitulah kesan saya ketika membersamai Putri, Fatma dan temannya malam itu. Ini bisa dilihat bagaimana antusiasme mereka ketika berada di Science Center. Mereka memper
hatikan setiap penjelasan para instruktor, dan bahkan mencoba sendiri beberapa percobaan. Bahkan dengan rajinnya mereka menuliskan saran dan kritik mereka di lembar yang sudah disediakan di sana.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10 kurang. Wahana-wahana sudah mulai ditutup. Itu artinya sudah waktunya kami meninggalkan trans studio. Sebelum benar-benar meninggalkan studio, mampir sebentar ke pos Dibalik Layar, salah satu tempat dimana kita bisa mencoba menjadi bagian dari Trans TV, baik itu dengan mencoba menjadi presenter, ikut kuis, ataupun belajar dubbing. Sebuah pos yang cukup informatif, menurut saya.
Petualangan malam itu ditutup dengan late dinner di A&W restoran. Dan lagi-lagi di sana kami bertemu dengan trio Putri dan kawan-kawannya. Namun kali ini mereka tak lagi bertiga, melainkan bersama tante-tante mereka. Setelah perut terisi, kami bergegas kembali ke lantai dasar. Sambil sesekali memandang ke arah roller coaster yang kami coba beberapa waktu sebelumnya, kami mencari tumpangan untuk pulang. Karena tubuh yang sudah terlalu lelah, kami memutuskan naik taksi saja. Beruntung malam itu masih ada satu taksi tersisa di halaman BSM. Tanpa banyak basa-basi kami langsung memasuki taksi tersebut. Sebelum taksi berjalan, saya sempatkan untuk mengambil foto terakhir saya di Bandung malam itu.

NB : catatan sebelumnya

http://ayanapunya.multiply.com/journal/item/270/catatan_perjalanan_bandung_aku_datang

http://ayanapunya.multiply.com/journal/item/271/catatan_perjalanan_menjadi_pengiring_pengantin

Edited : Dapat video roller coaster Trans Studio yang di Bandung.