Rahmi, begitu nama teman kami yang menikah tanggal 26 November lalu. Saya mengenalnya tepat di hari keberangkatan saya menuju Sukabumi dua hari sebelum hari pernikahannya. Untungnya meski baru pertama kali bertemu, saya bisa langsung akrab dengannya. Tak hanya dengan Rahmi, beberapa anggota keluarganya yang lain pun bisa dengan cepat saya akrabi. Sebuah hal yang cukup luar biasa mengingat saya biasanya perlu waktu cukup lama untuk bisa akrab dengan orang-orang baru.
Kaget. Begitulah kesan pertama saya ketika melihat sosok Rahmi saat menjemput saya dan Kak Dini untuk ke bandara hari itu. Dengan mengenakan gamis batik, di mata saya dia jauh dari kesan seorang perempuan yang sedang menjalani hari-hari terakhir masa lajangnya. Tangannya tak dihiasi henna seperti yang biasanya dikenakan para calon pengantin, wajahnya juga bersih dari make up. Dalam hati saya bahkan sempat berkata, “Ini benar orang ini mau nikah? Kok keliatannya santai banget.” Selain itu, sepanjang perjalanan menuju Sukabumi dari Banjarmasin, Rahmi juga tak banyak membicarakan tentang pernikahannya. Tapi hal itu mungkin karena Rahmi harus berjuang melawan mabuk yang dialaminya sepanjang perjalanan darat yang kami lalui.
Menemani seorang mempelai wanita menjelang hari pernikahannya bisa dibilang sebuah pengalaman baru bagi saya. Namun berhubung di H-1 pernikahan, saya, Kak Dini dan Lala memutuskan “melancong” ke Bandung, maka tak banyak yang bisa saya ceritakan tentang hari terakhir Rahmi sebagai lajang. Yang saya ketahui, hari itu dia dan calon suaminya berbelanja ke salah satu pusat perbelanjaan di Sukabumi. Hal ini dikarenakan salah satu tas milik Rahmi “terlupakan” saat kami mendarat di bandara Soekarno-Hatta. Dan hal itu baru disadarinya setelah tiba di Sukabumi. Untungnya tas yang tertinggal tersebut bukan yang berisi busana pengantinnya, melainkan beberapa pakaian harian.
Hari pernikahan pun tiba. Di pagi yang bersejarah itu kami sempat dikagetkan dengan suara keras pemilik rumah kepada salah satu anggota keluarga Rahmi. Rupanya anggota keluarga itu tidak mengindahkan peringatan yang diberikan pemilik rumah padanya, dan menganggapnya sebagai candaan, sehingga membuat pemilik rumah marah. Saya sendiri sempat ditegur ketika akan berjalan mencari bubur ayam padahal di rumah sudah disediakan sarapan. Memang tidak sopan ya keliatannya. Hehe.
Untungnya ketegangan itu tidak berlangsung lama. Rahmi sendiri lagi-lagi terlihat santai pagi itu. Entah itu karena faktor dia bukan menjadi pihak yang mempersiapkan pernikahan (pernikahan diadakan di kediaman mempelai pria dengan alasan tertentu), atau memang karakternya yang santai dan easy going, yang membuatnya seolah tak ada beban dalam menghadapi hari itu. Sedikit yang saya ketahui tentang proses pertemuan antara Rahmi dan suaminya; mereka bertemu di dunia maya, kopdar, dan setelah menjalani masa pertemanan selama beberapa waktu, sang lelaki datang ke Banjarmasin untuk melamar Rahmi. Sebuah cerita yang kadang membuat saya iri. Karena sepanjang perjalanan saya di dunia maya, saya tak pernah sampai pada tahap menjalin hubungan dengan teman maya .
Karena konsep pernikahan yang digelar sederhana, maka tak banyak kerepotan muncul, setidaknya untuk kami pihak perempuan. Untuk make up misalnya, dengan santainya Rahmi membiarkan Lala memoles wajahnya layaknya calon pengantin yang lain. Anggota keluarga yang lain bahkan tak perlu repot-repot memakai jasa salon. Mereka berdandan layaknya tamu biasa yang akan menghadiri pernikahan. Benar-benar sebuah pernikahan yang sederhana, dan baru pertama kali saya temui.
Usai selesai mendandani Rahmi, kami semua bergegas menuju rumah mempelai pria yang terletak tak jauh dari tempat kami menginap. Ketika tiba di sana, saya cukup dibuat kaget dengan perubahan yang terjadi di rumah tersebut. Rumah makan kecil yang ada bagian depan rumah sudah disulap menjadi tempat menjamu tamu, lengkap dengan tendanya. Aneka ragam masakan sudah siap tersedia. Beberapa anggota keluarga mempelai pria juga tampak sibuk dengan mondar mandir mempersiapkan acara. Dan rupanya kesibukan ini sudah terjadi sejak malam sebelumnya. Rahmi sendiri ketika tiba di rumah calon suaminya langsung digiring menuju ke kamar belakang untuk dirias ulang. Dan hasilnya? Riasan yang semula tipis berubah menjadi dandanan ala salon.
Setelah selesai didandani, maka tibalah saatnya momen bersejarah itu. Kami semua secara bersama-sama melangkah menuju mesjid yang terletak di hanya beberapa puluh meter di hadapan rumah mempelai pria. Beberapa tamu tampak sudah siap menunggu di teras mesjid. Tanpa perlu menunggu lama, acara pun dimulai. Rahmi, selaku mempelai perempuan terlebih dahulu “disimpan” di teras belakang mesjid, ditemani oleh Lala dan ibunya. Sementara saya dan Kak Dini, berada di dalam mesjid untuk mengabadikan setiap momen yang terjadi selama proses pernikahan. Satu hal yang mungkin akan menjadi kenangan tersendiri bagi kami, dan tentunya bagi Rahmi dan suaminya adalah, ketika Kak Dini menyampaikan sambutannya mewakili pihak mempelai perempuan beberapa saat sebelum akad nikad dilaksanakan. Saat itu dengan pedenya Kak Dini bertitip pesan kepada calon suami Rahmi, yang salah satunya berbunyi, “Jangan lupa ya, Ram. Masih ada tiga orang akhwat yang belum ketemu jodohnya.”
Entah apa yang ada di pikiran suami Rahmi dan tamu yang lain saat mendengar pesan tersebut. Bahkan saya sendiri sempat terjengkang dibuatnya. Meski sebelumnya saya sudah tahu kalau ketika menyusun kata sambutan Kak Dini dan Lala memang sengaja menyisipkan pesan tersebut, namun saya tak menyangka Kak Dini akan benar-benar nekat mengucapkannya. Setelah selesai dengan kata sambutannya, akad nikah pun dilaksanakan. Mempelai pria dengan mantap mengucapkan ijab kabulnya. Dan Rahmi pun resmi menyandang status istri. Selesai sudah tugas kami mengantarkan Rahmi menuju hari bahagianya. Barakallah ya, Mi 🙂