kamera polaroid



Tadi malam, saya baru saja menyelesaikan sebuah novel berjudul Infinitely Yours yang kalau boleh dibilang sangat terinspirasi dengan segala hal yang berbau Korea. Dalam hal ini bisa dipastikan penulisnya juga adalah penggemar berat Korea. Infinitely Yours sendiri berkisah tentang Rayan dan Jingga, dua orang beda kepribadian yang bertemu dalam salah satu tour ke negeri ginseng. Tentunya sudah bisa ditebak bagaimana kelanjutan dari cerita ini, dan bukan itu yang akan dibahas dalam tulisan ini.


JIka ada yang bertanya barang apa yang paling sering muncul dalam novel yang selesaikan tadi malam tersebut, maka tanpa ragu saya akan menjawab Instax, merk sebuah kamera polaroid yang terus-terusan digunakan Jingga. Saya sendiri baru familiar dengan kamera jenis ini setelah menonton Yongseo Couple dan beberapa drama Korea. Awalnya saya merasa heran mengapa orang Korea sangat gemar menggunakan kamera ini. Dengan hadirnya berbagai jenis kamera digital dan segala kecanggihannya di masa sekarang, membuat penggunaan kamera polaroid terlihat begitu kuno di mata saya.

Namun lama kelamaan akhirnya saya dibuat tertarik juga dengan penggunaan kamera polaroid ini. Apalagi jika melihat bagaimana orang Korea tersebut menggunakannya. Dengan kamera tersebut mereka memotret berbagai momen, yang kemudian diberi keterangan dengan spidol dan menempelkannya di sebuah buku. Kreatif dan yang lebih penting, fotonya langsung jadi dan nggak bisa diedit

NB : Sampai hari ini saya masih berpikiran kalau selain sukses menyebarkan demam girlgroupnya, Korea juga sukses mempopulerkan kembali penggunaan kamera polaroid.

Foto dipinjam dari sini.

Lelaki tua dan anak perempuannya

Laki-laki itu berdiri di teras rumahnya, dengan tangan kirinya bertumpu pada salah satu tiang di teras tersebut. Matanya tampak nyalang memperhatikan setiap kendaraan dan orang yang melewati jalan di depan rumahnya. Beberapa tampak menyapanya. Yang lain hanya lewat tanpa memperhatikan keberadaannya. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tak ada emosi terpancar di wajahnya. Yang ada hanyalah sepasang mata yang menatap kosong ke arah jalan.

Sebuah Supra Fit berhenti di hadapan rumah tersebut. Pengendaranya seorang perempuan mungil, mengenakan blouse kotak-kotak, rok hitam, dan selembar jilbab yang menutupi kepalanya. Motor dimatikan, dan seraya mengambil sebuah tas mungil yang tergantung di salah satu sisi stang, perempuan itu pun berjalan ke arah laki-laki tersebut.

“Ayah, ngapain berdiri di teras? Masuk, yuk. Sudah mau magrib,” begitu sapanya pada laki-laki tersebut.

Sang laki-laki hanya menatap perempuan tersebut. Tak ada suara. Tak ada ekspresi. Perempuan itu lalu menggamit lengan laki-laki tersebut. Dengan pelan, dituntunnya laki-laki tersebut memasuki rumah mereka. Tak ada percakapan antara keduanya.

[Batam FF Rindu] Setahun Kemudian


Atika memandang cermin di hadapannya dengan tersenyum. Waktu satu jam yang dihabiskannya untuk berdandan rupanya tidak sia-sia. Di hadapannya kini sudah berdiri sesosok wanita cantik mengenakan gamis longdress berwarna ungu, kerudung paris yang terlilit cantik di kepalanya, serta polesan make up tipis yang menonjolkan kelebihan wajahnya. Sebagai pelengkap, Atika kemudian mengambil sebotol mungil parfum dari salah satu rak di lemarinya dan menyemprotkannya ke beberapa bagian pakaiannya. Semerbak wangi parfum tersebut segera menyebar ke seluruh ruangan. Setelah merasa penampilannya sudah sempurna, Atika pun meraih purse bag putih yang tergeletak di tempat tidurnya dan berjalan keluar dari kamarnya.

“Duh anak mama cantik amat. Mau kemana, Nak?” Tanya ibunya ketika berpapasan dengan ibunya di teras rumah mereka.

“Atika mau ketemu sama mas Fadil, Ma. Kangen,” jawab Atika sambil menyunggingkan senyum termanisnya.

“Tapi apa kamu dandannya ga terlalu berlebihan, Tika?” Tanya sang ibu lagi sambil memandangi pakaian yang dikenakan putrinya.

“Ih, Mama. Masa Atika dandan buat suami sendiri dibilang berlebihan? Lagipula hari ini kan hari yang penting buat kami, Ma. Nggak mungkin dong Atika tampil seadanya,” jawab Atika.

Kali ini sang ibu hanya terdiam.

“Ya udah, Atika berangkat dulu ya, Ma. Kasian mang Ujang nungguin,” kata Atika lagi sambil matanya mengarah pada sosok lelaki tua yang sedang membersihkan debu yang menempel pada Avanza yang sedang terparkir di halaman.

“Mau kemana kita, Neng?” Tanya Mang Ujang ketika Atika sudah berada di dalam mobil.

“TPU Cahaya Abadi ya, Mang,” jawab Atika sambil menyandarkan tubuhnya.

***

Jumlah kata = 238 kata.

Tulisan ini diikutkan dalam lomba FF Batam yang diadakan di sini.

Gambar dipinjam dari sini.

mereka yang jatuh cinta




Adik saya sedang jatuh cinta.


Setidaknya begitulah yang saya rasakan. Apa indikasinya? Gampang. Hampir tiap malam dia habiskan berbicara dengan seseorang lewat handphone-nya. Bahkan kalau boleh dibilang intensitas percakapan udara tersebut semakin meningkat beberapa minggu terakhir. Jikalau awalnya mereka saling telpon hanya menjelang tidur, maka sekarang begitu sampai rumah adik saya sudah menempelkan handphone ke telinganya.

Salah satu hal yang menyebalkan dari fase jatuh cinta ini adalah, saya tak bisa lagi dengan leluasa “menjajah” kamarnya. Semenjak laptop saya rusak saya memang selalu menggunakan laptop miliknya, baik itu untuk internetan maupun untuk menyelesaikan pekerjaan. Bahkan kadang kalau malam sudah terlalu larut saya berakhir dengan numpang tidur di kamarnya.

Nah seiring dengan berjalannya fase jatuh cinta ini maka mau tak mau harus ada yang mengalah dari kami. Awalnya adik saya yang mengalah dengan bermigrasi ke kamar saya jika sudah menerima telepon. Namun pada akhirnya saya jadi tidak enak sendiri dan kembali tidur di kamar saya. Yah, cinta juga butuh privasi, bukan?

Cerita lain tentang mereka yang sedang jatuh cinta ada pada sekretaris di kantor saya. Sebut saja namanya Hana. Saya dan teman-teman kantor tak tahu kapan tepatnya, namun yang jelas saat ini Hana sedang menjalin hubungan dengan seorang pria. Kata teman-teman lagi, setiap sore Hana selalu dijemput pulang oleh pacarnya ini. Saya sendiri baru beberapa hari yang lalu mengetahui sosok sang pacar ini. Dan seperti yang teman-teman kantor katakan pada saya, pilihan Hana sungguh di luar dugaan (kami selalu berpikir Hana memiliki standar yang tinggi untuk lelaki pilihannya, mengingat parasnya yang cantik).

Oke, lupakan soal fisik. Yang ingin saya bahas kali ini adalah bagaimana Hana berubah sejak menjalin hubungan dengan pacarnya ini. Meski tak bisa dipastikan apakah ini memang pengaruh dari sang pacar, namun yang pasti sejak beberapa bulan terakhir saya bisa melihat perubahan positif terjadi pada Hana. Dia menjadi lebih tenang, lebih relijius, dan semakin jarang memakai rok mini kesukaannya. Hal yang membuat saya berkesimpulan bahwa pacar Hana pastilah lelaki yang sangat baik. Dan ditambah dengan cinta, hal ini memberikan efek yang luar biasa.

Terakhir, salah satu kontak di MP juga rupanya sedang menanti saat-saat bersejarah dalam kehidupannya. Dia adalah Aprilia Ekasari aka sukmakutersenyum. Ketika membaca catatan berjudul H-7 miliknya, saya masih berpikir kalau dia baru dalam tahap akan dilamar. Ternyata oh ternyata, dia sedang menghitung hari jelang pernikahannya. Benar-benar tak terduga dan benar-benar tanpa clue. Dan berdasarkan ceritanya, pasangan calon suami istri ini bertemu di dunia maya. Satu lagi bukti bahwa cinta kadang ditemukan di tempat tak terduga.

Dan kesimpulan terakhir dari tulisan ini, saya rindu jatuh cinta 😀

Gambar dipinjam dari sini.

Kejar target akhir tahun

Libur lebaran selama satu minggu kemarin, saya berusaha mengisinya dengan dua hal.

Membaca dan menulis.

Membaca karena begitu banyaknya buku yang saya stok di kamar namun hanya sedikit yang terbaca. Alasan lain juga karena saya mengikuti sebuah tantangan di Goodreads untuk menghabiskan sekian banyak buku dalam setahun. Saya sendiri waktu itu menuliskan angka 50 untuk target saya. Angka yang sepertinya terlalu tinggi mengingat sampai lewat pertengahan tahun ini saya baru berhasil menyelesaikan 21 buku.

Lalu bagaimana hasilnya?

Alhamdulillah selama 2 minggu terakhir saya sudah berhasil menyelesaikan 3 buku. Padahal untuk bulan-bulan sebelumnya, satu buku bisa saya habiskan dalam waktu nyaris satu bulan. Kalau pola membaca seperti ini bisa saya pertahankan sampai beberapa bulan ke depan, maka kemungkinan target 50 buku setahun itu bisa tercapai atau paling tidak mendekati. Yah semoga saja begitu.

Itu tentang membaca. Lalu bagaimana dengan menulis?

Jadi ceritanya libur lebaran lalu saya berniat menulis sebuah cerpen berdasarkan sedikit pengalaman pribadi saya. Dua halaman saya selesaikan dalam waktu dua hari. Memasuki halaman ketiga, saya dilanda kegalauan.

Apakah tulisan ini tidak terlalu pribadi? Kalau teman-teman dekat membaca pasti bakal tau.
Kok bahasanya itu-itu melulu sih?
Kok alurnya jadi ngaco begini? Kayaknya nggak logis banget deh

Begitulah. Berbagai pertanyaan muncul di benak saya sampai pada akhirnya tulisan itu tak mengalami perkembangan lagi. Hal yang sama juga terjadi pada beberapa calon tulisan yang terlantar di salah satu folder di flashdisk saya. Awalnya saya mendapatkan ide yang begitu brilian, entah itu ketika mendengarkan lagu, berkendara di jalan atau bahkan dari proses bertapa di kamar mandi. Saya sudah menyiapkan kalimat pembuka yang bagus serta penutup dari cerita tersebut. Jeleknya, saya bukan tipe yang dengan rajin menuliskan ide-ide yang muncul di kepala saya. Jadilah ketika saya sudah siap menulis di depan keyboard, semua kalimat yang saya siapkan itu hilang. Bisa sih saya menulis kembali dengan kalimat-kalimat baru. Tapi tetap saja saya tidak puas dengan kalimat baru tersebut. Hingga akhirnya saya pun menyerah dan meninggalkan tulisan tersebut.

Anehnya, hal ini tidak berlaku ketika saya menulis lanjutan dari kisah yang saya tulis bersama dengan seorang teman di Facebook. Meski awalnya cuma iseng-iseng menerima tawarannya, saya sungguh tak menyangka sampai hari ini draft novel tersebut sudah mencapai lebih dari seratus halaman, dengan pembagian porsi menulis yang nyaris seimbang.

Memang proses menulisnya masih dilalui dengan pertanyaan-pertanyaan seperti yang saya tulis di atas. Namun pada akhirnya saya selalu berhasil menyelesaikan 4 halaman bagian saya untuk dikirim ke email partner duet saya itu. Padahal kalau dibaca-baca lagi draft novel tersebut masih penuh dengan kekurangan di sana sini. Entah itu di karakter, deskripsi, hingga ke logika cerita. Namun tetap saja jika melihat jumlah halaman yang sudah dicapai, ada rasa bangga terselip di hati saya. Dan kalau proses menulis novel itu tidak ada hambatan, maka insya Allah akhir tahun novel duet itu sudah selesai atau paling tidak hampir selesai. Masalah mau dikirim ke penerbit atau tidak, urusan belakangan. Hehe.

Lalu bagaimana dengan cerpen yang tak terselesaikan di folder flashdisk saya? Seandainya memungkinkan saya ingin menyelesaikannya. Dan pengennya sih, memamerkannya di media. Semoga dengan ditulisnya keinginan ini membuat saya lebih terpacu untuk melaksanakannya. Amiiin