data yang dipalsukan


Kemarin sore, ketika beristirahat sejenak selepas pulang kerja, handphone saya tiba-tiba berbunyi. Dengan malas-malasan saya menjawab telepon tersebut. Rupanya dari salah satu mahasiswa yang ingin minta data untuk Tugas Besar Rekayasa Pondasi. Sebenarnya saya udah malas nerima mahasiswa kalau udah di rumah. Tapi berhubung mahasiswa itu katanya mau pulang kampung hari Kamis besok, dan dia perlu menyelesaikan tugas besarnya maka saya pun berbaik hati untuk menerimanya.

Sesampai mahasiswa itu di rumah, saya bertanya padanya, “Kenapa baru minta data sekarang? Bukannya akhir Agustus ini Tugas Besar itu harus sudah selesai?”

Mahasiswa itu pun beralasan kalau dia sibuk mengerjakan tugas besar lain. Setelah itu mahasiswa itu pun mengeluarkan sebuah tugas besar yang sudah dijilid. Dari gelagatnya sih saya tau kalau dia berharap saya akan memberikan data yang sama persis dengan Tugas Besar yang dia bawa. Secara tidak mungkin baginya untuk mengerjakan soal baru dalam waktu 2 hari.

Namun entah karena saya ingin mengetes mahasiswa itu atau saya yang kelewat idealis, saya merubah sedikit data yang ada di contoh tersebut. Dalam pikiran saya sih toh yang beda kan cuma 1 data, jadi kemungkinan tidak banyak hitungan yang berubah dari soal tersebut. Lagipula dari tampangnya saya beranggapan mahasiswa tersebut adalah tipe yang mau usaha.

Sayangnya dugaan saya salah. Tak sampai 2 hari setelah minta data, mahasiswa itu menghubungi saya dan mengatakan kalau tugas besarnya sudah selesai. Saya agak kaget. Wih cepat juga ya ngerjainnya. Segera saya keluar untuk menemui mahasiswa tersebut. Dan kira-kira beginilah adegan yang terjadi kemudian.

Saya : “Lho, ini kenapa bebannya berubah jadi 600? Perasaan saya ngasihnya 100 aja.”

Mahasiswa : Diam sejenak. “Itu angkanya mirip 600, Bu.”

Saya : Menghela nafas, berusaha untuk tidak marah, namun sayangnya gagal. “Kamu seenaknya aja ngerubah data yang saya kasih. Ya udahlah ini langsung jilid aja. Saya udah males meriksa.” (sambil menandatangani kartu asistensi)

Mahasiswa : “Maaf, Bu. Waktunya udah mepet banget.”

Saya : Melengos pergi meninggalkan mahasiswa itu

Kejadian di atas adalah satu dari beberapa cerita selama saya menjadi asisten tugas besar. Jika mengingat kejadian di atas, saya sadar sepenuhnya salah satu hal yang membuat beberapa mahasiswa melabeli saya sebagai asisten yang “pemarah” adalah karena kelakuan saya yang satu ini. Tapi jujur, saya sangat tidak suka jika data yang saya beri secara tiba-tiba berubah ketika asistensi dilaksanakan. Apalagi jika itu dilakukan di lembar soal yang sudah saya tanda tangani. Saya lebih bisa mentolerir mereka yang mengerjakan soal seadanya, tapi tidak mengutak-atik data di lembar soal yang saya berikan. Baik itu berupa menambahkan sendiri data atau mengganti data yang saya berikan. LAgi pula saya merasa sudah memberikan data yang cukup mudah untuk mahasiswa tersebut. Bahkan beberapa data saya biarkan kosong untuk mereka isi sendiri (saat mengerjakan tugas dan bukan di lembar soal). Namun walau begitu tetap saja ada yang dengan (katakanlah) terpaksa merubah data tersebut.

Yang lebih parah, ketika saya protes soal data yang diubah -kadang ada juga angka ajaib yang jelas-jelas bukan berasal dari tulisan saya- ini salah seorang dari mereka malah ngeles dengan berkata, “Lho, bukannya kakak sendiri yang bilang kalau data yang kosong diisi sendiri?”. Duh, ya. Memang benar saya mengijinkan mereka mengisi sendiri data yang kosong. Namun bukan berarti itu memberi ijin bagi mereka untuk mengubah data yang sudah tertulis di lembar soal, ngotot bahwa saya yang menulis data itu padahal jelas-jelas tulisan tangannya beda, atau bahkan memalsukan tanda tangan saya.

Kalau sudah begini, saking kesalnya saya biasanya langsung meng-acc tugas tersebut tanpa memeriksanya lagi. Meski tak lupa mengeluarkan omelan-omelan tak jelas dan dengan raut wajah yang sangat masam, seperti yang saya lakukan tadi sore. Hal yang sebenarnya kalau dipikir-pikir sangat menguntungkan mahasiswa tersebut. Sebenarnya bisa saja saya mempersulit mahasiswa tersebut dengan memintanya mengulang pekerjaannya atau apa. Tapi begitulah, rasa kesal membuat saya malas berurusan dengan mahasiswa model begini.

Sebenarnya palsu-memalsu data ini bukan hal baru bagi saya. Saya toh pernah kuliah. Pernah juga mengerjakan tugas besar yang bejibun, begadang, menghadapi asisten yang susahnya minta ampun (biasanya ini dosen), hingga mengerjakan tugas besar di sela-sela pekerjaan part-time saya. Namun selama itu rasanya saya tak pernah punya cukup nyali untuk memalsukan data yang diberikan dosen pada saya. Jikapun kasusnya seperti mahasiswa di atas, maka tipuan teraman yang bisa saya gunakan adalah dalam tulisan-tulisan tangan saya sendiri, dan bukan mengganti data yang ada di lembar soal. Bagi saya ini lebih aman karena toh asisten biasanya tak memeriksa tulisan tangan kita. Mungkin karena itu juga ya saya jadi sangat sensitif soal palsu memalsu data ini. Bagaimana kecewanya ketika melihat tulisan tangan saya ditebali, dilapis, hingga tak ketahuan lagi angka aslinya. Kalau sudah begini saya jadi ingat kata-kata dosen saya ketika dia mengetahui datanya diubah. “Ini bukan garisan tanganku. Aku tidak mau memeriksa tugas besar kamu,'” begitu beliau berkata.

Yah, sekarang akhirnya saya tahu bagaimana perasaan dosen itu.

Gambar dipinjam dari sini.