makan minum selama puasa

Sebagai seorang Muslim saya selalu bersyukur tinggal di tempat dengan mayoritas penduduknya beragama Islam. Saya bisa sholat dengan tenang, menutup aurat saya tanpa takut mendapat protes, dan jika bulan Ramadhan tiba, saya mendapat keringanan dalam bekerja. Sungguh saya tak bisa membayangkan jika saya harus tinggal di tempat yang mayoritas penduduknya bukan Muslim. Berbagai kesulitan pasti akan menghadang, salah satunya adalah tak bisanya menjalankan ibadah dengan nyaman.

Dalam hal puasa, salah satu hal yang kadang bisa mengganggu kenyamanan kita dalam menjalankannya biasanya adalah jika kita harus berhadapan dengan “adegan makan”, entah itu di televisi atau juga dalam dunia nyata. Bahkan bisa dibilang menyebut nama makanan merupakan hal yang “makruh” di siang hari pada bulan Ramadhan. Padahal sebagai orang yang sudah dewasa harusnya sih hal-hal seperti itu sudah bukan gangguan lagi. Secara untuk umuran saya seharusnya yang lebih bisa dikendalikan adalah sesuatu yang berkaitan dengan emosi.

Nah, biasanya jika memasuki bulan Ramadhan, sebagai bentuk toleransi warung-warung makanan akan ditutup. Beberapa teman non-muslim juga akan menunjukkan toleransinya dengan tak makan minum di hadapan kita. Hal yang mungkin merupakan sesuatu yang berat bagi mereka, mengingat saya secara pribadi selalu beranggapan bahwa tidak puasa namun harus menahan lapar itu lebih berat ketimbang benar-benar berpuasa. Belum cukup, kita sebagai orang yang berpuasa juga kadang menjadikan “toleransi” itu sebagai sebuah keharusan dengan menempel pengumuman “Dilarang makan di depan mereka yang sedang berpuasa” misalnya.

Selama bertahun-tahun saya selalu terbiasa dengan kondisi seperti yang saya gambarkan di atas. Namun ketika memasuki dunia kerja, saya pun mulai tersadar bahwa kondisi tak selamanya bisa seperti yang saya idealkan. Ketika harus mengawasi sebuah proyek, saya harus berhadapan dengan para tukang yang dengan santainya minum sementara bibir saya sudah mulai kering karena panasnya cahaya matahari. Di lain waktu, saya juga harus berhadapan dengan seorang kawan yang dilema antara meneruskan puasanya atau berhenti karena kelelahan mengawasi proyek. Awalnya menyaksikan hal tersebut dengan hati miris. Namun lama-lama akhirnya saya terbiasa dan memakluminya.

Rupanya, apa yang harus saya saksikan di lapangan juga harus saya saksikan di kantor. Idealnya, jika kita sedang tak berpuasa (karena haid atau sakit) maka biasanya untuk makan ataupun minum kita akan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi. Selain sebagai bentuk penghormatan kita kepada teman-teman yang sedang berpuasa, kadang juga ada rasa malu jika kita sebagai orang dewasa tidak berpuasa. Memang sih kalau untuk perempuan ada keistimewaan tersendiri yang mewajibkan kita untuk tidak berpuasa di saat tertentu. Namun tetap saja rasanya gimana gitu kalau orang sampai tahu kalau kita sedang “terhalang”.

Sayangnya makin ke sini hal-hal ideal yang saya inginkan itu rupanya makin tergerus. Sekarang saya harus terbiasa dengan melihat asap rokok bertebaran di siang hari. Kadang juga ada bekas gelas kopi di dapur kantor, atau yang lebih parah menyaksikan seseorang dengan nyaman makan minum di hadapan saya. Saya akan maklum jika yang melakukannya adalah seorang yang memang tidak berpuasa. Namun jika yang melakukannya adalah saudara sesama muslim, wajarkah jika saya merasa malu?

Gambar pinjam di sini.