feeling guilty

Tahun 2002, saya diterima di fakultas Teknik Sipil Universitas Lambung Mangkurat di Banjarbaru. Sebenarnya ini cukup mengagetkan mengingat saya berpikir kalau fakultas teknik itu terletak di Banjarmasin, dan itu adalah salah satu alasan saya memilih teknik sipil sebagai pilihan pertama waktu UMPTN dulu. Ternyata oh ternyata, satu-satunya fakultas jurusan IPA non keguruan yang ada di Banjarmasin kala itu adalah jurusan arsitektur.

Karena harus berkuliah di luar kota tempat saya dibesarkan, hal pertama yang tentunya harus dilakukan adalah mencari tempat kos. Dan meskipun Banjarbaru itu cuma berjarak 40 km dari Banjarmasin, namun saya benar-benar buta akan kota itu. Beruntung waktu itu ada teman SMA yang menawarkan untuk satu kos dengannya. Sebut saja namanya Lita, dia lulus di fakultas MIPA jurusan Matematika dan pernah satu kelas dengan saya waktu kelas 1 SMA.

Singkat cerita akhirnya saya satu kos dengan Lita. Di kos pertama saya itu, saya bertemu dengan 4 penghuni kos lainnya. Ada R dan Kak La dari kedokteran, Li dari D3 pertanian, dan C, salah seorang kawan SMP saya yang juga kuliah di fakultas pertanian. Semua penghuni kos kala itu -kecuali kak La- adalah mahasiswa baru.

Memasuki semester 3, Kak Laily keluar dari kos karena kuliah beliau sudah memasuki semester 6 yang berarti harus sering ke RS Ulin yang ada di Banjarmasin. Kamar kosong milik kak La tersebut kemudian diisi oleh M, teman satu angkatan Lita. Masuknya M ke kos kami secara otomatis membuat kos kami kehilangan sosok senior, yang pada akhirnya mungkin menjadi awal dari perlakuan buruk yang pernah saya dan kawan-kawan lakukan pada Lita.

Cerita dimulai dari berkenalannya Lita dengan F, salah seorang mahasiswa jurusan Biologi yang katanya ngefans padanya. Perlu diketahui teman saya Lita ini adalah seorang pelajar yang penuh prestasi. Dia pernah ke Jepang secara cuma-cuma berkat kesuksesannya memenangkan sebuah lomba antar pelajar tingkat nasional. Semester 2 itu juga kalau tidak salah Lita berhasil mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar ke Korea Selatan selama kurang lebih 2 minggu. Dari perkenalan ini kemudian berkembang menjadi hubungan yang lebih serius, pacaran.

Awalnya kami semua tak terlalu memusingkan hubungan antara Lita dan F. Sebagai kawan tentu kami turut senang jika Lita menemukan tambatan hatinya. Namun rupanya semua itu tak berlangsung lama. Makin hari kami merasa Lita mulai berubah pasca jadiannya dirinya dengan F. Gaya pacaran mereka yang sebenarnya biasa dan tak neko-neko entah mengapa tiba-tiba membuat kami semua gerah. Lita mulai menjauh dari kami, dan kami membalas dengan perlakuan yang lebih ekstrem, tidak menghiraukannya.

Entah berapa lama perang dingin antara saya, teman-teman di kos vs Lita itu berlangsung. Kami nyaris tak pernah bertegur sapa. Lita terlihat selalu sendiri, sementara saya dan teman-teman yang lain asik berkumpul di salah satu kamar. Kala itu tak ada satu pun dari kami yang terpikir untuk duduk bersama dan menyuarakan ketidaknyamanan kami akan Lita dan F. Yang kami lakukan adalah protes dengan cara yang menyakitkan.

Hingga akhirnya memasuki semester 6, saya, M dan C memutuskan pindah ke sebuah kos baru yang letaknya tak jauh dari kos kami. Air yang sering ngadat serta keluarnya R dan Li dari kos merupakan alasan kami untuk pindah. Saya, M dan C sengaja tidak mengajak Lita untuk turut pindah karena masa itu kami masih memusuhinya. Bahkan seingat saya saat pindah-pindah itu kami tak berpamitan dan memohon maaf padanya atau yang sering disebut “berelaan” bagi orang Banjar. Hal yang tanpa saya sadari telah menghidupkan sesosok hantu bernama “rasa bersalah” pada diri saya.

Waktu berlalu dengan cepat. Saya lulus kuliah, lalu bekerja di perusahaan konsultan teknik sipil. Bertahun-tahun tak bertemu, saya pun akhirnya bertatap muka kembali dengan Lita. Saat itu saya ada urusan ke radio tempatnya bekerja, untuk menemui salah satu penyiar di sana. Sejak awal saya tak berani berharap banyak akan pertemuan kami. Meski di jejaring facebook kami terdaftar sebagai teman, bukan berarti dalam dunia nyata kami benar-benar berteman, bukan. Dan benarlah dugaan saya. Saat kami bertemu, saya berusaha menyapanya namun dia menanggapinya dengan sangat dingin. Dan hal itu selalu terjadi setiap kali saya bertemu dengannya di kantornya.

Sebagai orang yang sadar akan kesalahannya, saya sangat maklum jika Lita bersikap demikian pada saya. Tidak dihiraukan oleh orang-orang di sekitar jelas sangatlah tidak menyenangkan. Dan Lita harus menjalaninya selama berbulan-bulan. Siapa yang tidak sakit hati? Apalagi jika dibandingkan 2 orang teman kos lain yang berlaku buruk padanya, bisa dibilang saya adalah yang terburuk. Kenapa? Karena saya lebih dulu mengenalnya, dan saya berhutang jasa padanya. Saat seharusnya saya ada untuknya, nyatanya saya termasuk salah satu yang meninggalkannya. Adalah wajar bukan jika dia secara tidak sadar membenci saya? Bahkan kalau dipikir-pikir Lita mau membalas teguran saya saja mungkin sudah dikatakan sangat baik hati.

Saat ini Lita dan F masih berhubungan, bahkan dari info yang saya dapat mereka akan segera menikah. Hal ini bisa dibilang merupakan salah satu hal yang saya syukuri. Setidaknya Lita tidak pernah kehilangan F sampai hari ini.

NB : Tulisan ini bukan bermaksud apa-apa. Semoga saya tidak dianggap membuka aib sendiri. Saya pernah sangat jahat di masa lalu tanpa saya sadari. Dan saya dihantui rasa bersalah karenanya. Saya bahkan masih belum berani untuk meminta maaf pada Lita atas perlakuan saya padanya di masa lalu.