sinopsis cerpen adaptasi

Beberapa waktu yang lalu ada sebuah lomba menulis cerpen adaptasi di rumah sebelah. Cerita yang diadaptasi diambil dari kumpulan cerita di buku Kulepaskan Kau Dari Hatiku yang diterbitkan secara indie melalui Leutikprio. Cerita yang saya adaptasi sendiri berasal dari tulisan Sinta Anggoro, sang juara 2. Entah kenapa saya sudah jatuh cinta dengan ceritanya sejak kalimat pertama. Maka setelah berkali-kali membaca ulang ceritanya, berkali-kali mengganti scene ending-nya, akhirnya cerpen itu terselesaikan. Berikut sinopsisnya

***

Le Francais est la plus belle langue .

Jika kalimat tersebut keluar dari mulutnya sendiri, mungkin dia takkan terlalu kaget. Nyatanya kalimat tersebut keluar dari mulut pemuda di hadapannya, dengan pengucapan yang nyaris tanpa cela. Maka akhinya mau tak mau untuk pertama kalinya dia benar-benar memalingkan wajahnya untuk menatap langsung si pemilik suara, untuk kemudian menyadari ada garis eropa pada wajah pemuda tersebut.

“Anda bisa berbahasa Perancis?” Tanyanya kemudian.

“Kebetulan ibu saya berdarah Perancis,” jawab pemuda itu sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Senyum yang menambah pesona pada pemilik wajah tersebut.

“Wow, what a coincidence..”

“Yah, mungkin juga begitu. Oh ya, saya Arman.”

“Bella..”

***

Itulah awal mula pertemanan antara Bella dan Arman, pemuda yang tak sengaaja ditemuinya di Kedai Hujan. Pertemuan pertama yang diiringi nyanyian hujan itu kemudian berubah menjadi pertemuan rutin antara keduanya. Kedai Hujan seolah menjadi saksi bagaimana perasaan Bella tumbuh seiring dengan percakapan-percakapan yang terjalin antara keduanya di sana. Perasaan yang hanya berani Bella ungkapkan kepada orang-orang terdekatnya.

Satu hari Arman meminta Bella untuk menemaninya ke sebuah tempat. Dengan harap-harap cemas Bella menyetujui permintaan tersebut. Maka dengan Honda Jazz biru metalik miliknya Arman mengajak Bella berkeliling-keliling kota mereka sebelum akhirnya berhenti di sebuah tempat. Toko perhiasan.

“Menurut kamu mana yang bagus, Belle?” Arman berkata kepada Bella sembari matanya tertuju pada deretan cincin yang terpajang di etalase toko tersebut.

“Kak Arman mau beli cincin?” Bukannya menjawab pertanyaan Arman, Bella malah mengajukan pertanyaan balik padanya.

Oui. Untuk Sofie.”

“Sofie?” Bella bertanya lagi. Kali ini ada sedikit getar dalam nada suaranya.

Arman tiba-tiba memukul kepalanya sendiri. Seolah-olah dirinya melakukan sebuah kesalahan besar.

“Ah, sepertinya aku lupa menceritakannya padamu, Belle. Sofie adalah kekasihku. Aku berencana melamarnya besok.”

***

Gambar pinjam dari sini.

no smoking please, honey


Tadi siang saya dan seorang teman kantor memutuskan untuk makan siang di kampus Universitas Lambung Mangkurat. Kebetulan kami memang baru saja singgah di kampus teknik waktu itu. Cukup lama tidak makan di sana (sebenarnya kampus saya ada di banjarbaru, namun saya pernah satu kali makan di tempat itu), saya cukup kaget dengan bertambahnya variasi penjual makanan yang berlokasi tepat di samping gedung Menwa tersebut. Kalau dulu yang saya ingat jenis makanan yang dijual di tempat itu hanya sate dan mie ayam plus penjual minuman, maka sekarang sudah ada soto lamongan, nasi lalapan, empek-empek, hingga bakso. Dan karena lokasinya yang strategis ditambah harga yang pas di kantong mahasiswa, maka sudah sangat wajar jika tempat itu selalu ramai setiap harinya.

Sesampai di sana, saya dan teman segera memesan makanan. Saya memilih mie ayam, sedangkan teman saya memilih sate. Kami lalu mencari tempat duduk yang kosong diantara sekian banyak tempat duduk yang sudah terisi. Tak lama setelah saya duduk, beberapa orang pria datang dan duduk di bangku yang terletak di samping saya. Sialnya salah seorang di antara mereka merokok, dan asapnya tepat bertiup ke arah saya. Lalu datang lagi sepasang laki-laki dan perempuan (mungkin sepasang kekasih) yang kemudian duduk di bangku di depan saya namun lebih ke samping. Dan lagi-lagi si cowok merokok. Singkat kata, saya diserbu asap rokok dari 2 penjuru.

Sebagai orang yang tumbuh di lingkungan (baca : rumah) yang bebas asap rokok, hal seperti ini tentu sangat mengganggu saya. Sayangnya saya bukan termasuk orang yang cukup punya nyali untuk dengan santainya menegur orang yang tak saya kenal agar dia berhenti merokok. Paling banter saya memberikan tanda seperti mengipas-ngipaskan tangan tanda saya tak nyaman. Lain halnya jika orang yang merokok tersebut sudah cukup mengenal saya, maka saya tentu takkan segan-segan memintanya untuk menjauh jika ingin tetap merokok. Dan alhamdulillah teman-teman saya itu menghormati keinginan saya.

Nah, ketika saya melihat seorang laki-laki bisa dengan santainya merokok di samping gadis yang anggaplah pacarnya, bisa dibilang membuat saya bertanya-tanya. Apakah si gadis sudah begitu terbiasanya dengan asap rokok sehingga dia tidak peduli dengan kepulan asap yang mengotori udara yang ia hirup? Bukankah seharusnya sebagai seorang pacar dia punya hak untuk meminta sang pacar agar tidak merokok setidaknya saat sedang bersamanya?

Nb : gambar pinjam di sini.

[I love Multiply] Rumah yang Paling Nyaman



Kalau diliat dari tanggalnya, akun Multiply saya ini dibuat pada tanggal 09 Agustus 2007. Weits, kesannya kok veteran banget ya? hehehe. Saya aja pas sadar dengan tanggal itu rada kaget. Masa iya tahun 2007 saya sudah kenal yang namanya Multiply? Padahal kalau dirunut postingan pertama saya dibuat pada tanggal 19 Oktober 2009. Jadi artinya MP saya nganggur selama 2 tahun lebih. Saya bahkan sempat lupa kalau saya punya rumah bernama Multiply.Lalu, bagaimana ceritany rumah yang sempat terlupakan ini bisa hidup kembali? Well, here we goes…


Sejak bertahun-tahun yang lalu saya memang sudah tertarik dengan dunia blog. Waktu itu saya sempat membuat beberapa akun blog, salah satunya di blogspot. Beberapa tulisan sempat lahir di blog yang bernama sama dengan alamat rumah saya yang sekarang di kampung Multiply ini. Namun karena emang dasarnya saya bukan orang yang hobi “kelayapan” (baca : blogwalking) dan nggak ngerti gimana mendekorasinya akhirnya blog tersebut terlantar karena saya keburu bosan.

Tak lama, berkenalanlah saya dengan Multiply. Saya lupa dapat info dimana yang menyebutkan kalau ngeblog di Multiply lebih gampang ketimbang di blogspot. Maka dibuatlah akun ayanapunya.multiply.com. Sayangnya ketika rumah baru itu sudah berdiri, saya malah merasa makin bingung dengan tampilan Multiply kala itu. Ditambah dengan akses internat yang di masa itu emang nggak segampang sekarang (warnet dimana-mana, bisa pake modem dsb), akhirnya saya pun lagi-lagi menelantarkan rumah kedua saya.

Tahun 2009, saya lagi-lagi membuat akun di multiply (see..saya sepertinya benar-benar penasaran dengan yang namanya nge-blog). Akun tersebut akhirnya dinamai antungapriana.multiply.com karena nama ayanapunya sudah ada yang punya katanya. Waktu itu saya sendiri nggak ngeh kalau akun yang “sudah ada yang punya” itu adalah milik saya sendiri. Hanya ada 2 postingan di akun tersebut. Kenapa? Karena ketiga kalinya saya log in ke multiply, secara tanpa sengaja saya memasukkan id dan password akun lama saya, ayanapunya.

Mungkin ada yang bertanya-tanya, kenapa sih saya ngotot banget pake nama ayanapunya? Dan sebernarnya apa arti dari nama tersebut. Well, memang ada kisah historis dibalik nama ayanapunya. Masa-masa saya menggunakan nama ayanapunya adalah masa ketika seorang lawan jenis berhasil menjadi salah satu inspirasi hidup saya. Dia selalu menambahkan kata punya di belakang barang-barang miliknya (misal xxdrivepunya, xxdatapunya). Dia juga yang secara tanpa sengaja memberikan nama ayana pada saya. Sayangnya impian saya untuk menyatukan nama saya dengan namanya harus rela dikubur. Sementara nama itu sudah sangat melekat pada saya. Apa boleh buat, karena saya juga sudah terlanjur suka dengan id tersebut, maka saya memutuskan untuk tetap menggunakan nama ini. Toh untuk saat ini statusnya dalam hidup saya hanyalah bagian dari kenangan.

Bicara tentang interaksi sesama penduduk Multiply, harus saya akui kalau MP ini memiliki kelebihan tersendiri di banding kampung lainnya. Formatnya yang dibuat layaknya social network membuat pemilik akun pemalas kayak saya nggak harus repot blogwalking untuk mendapat update tulisan terbaru dari tetangga saya. Cukup liat di inbox, maka saya bisa dapat banyak tulisan untuk dibaca. Format seperti ini juga memungkinkan para pemilik akun multiply untuk memperluas jaringan pertemanannya.

Sayangnya untuk urusan memperluas jaringan pertemanan ini, saya termasuk orang yang payah. Di Multiply, bisa dibilang berlaku hukum tak tertulis “the more you comment, the more you get friend.” Saya jarang ber-OOT ria (tak terbiasa lebih tepatnya). Padahal kalau diliat OOT terbukti bisa lebih mengakrabkan suasana. Dan lebih parah, saya memiliki kecenderungan untuk menjadi silent reader, membaca tanpa mengomentari. Untuk yang satu ini saya punya alasan. Alasan terbesar biasanya karena lapak yang saya kunjungi udah punya ratusan komen, sehingga membuat saya agak ragu dan bingung untuk sekedar meninggalkan jejak di sana. Mau komen apa? Kayaknya komen saya bakal tenggelam di antara komen yang lain. Itu biasaya yang terpikir di benak saya.

Memutuskan menjadi silent reader, tentunya saya harus siap untuk menanggung resiko. Salah satunya adalah tulisan saya jadi jarang dikomentari orang. Kadang sedih juga kalau melihat history view dari tulisan saya yang sedikit dilirik orang. Namun saya sepenuhnya sadar kalau itu dalah resiko yang harus saya tanggung ketika memutuskan tak banyak bicara. Lagipula jika dibandingkan dengan apa yang saya dapat sejak berkenalan dengan Multiply, sedikitnya komentar di tulisan saya rasanya bukanlah hal yang harus dibesar-besarkan. Toh sampai saat ini saya masih betah berada di rumah ini.

Lalu apa saja sebenarnya yang saya dapatkan selama ber-Multiply ria? Banyak. Lewat Multipy ini saya bisa bertemu dengan orang-orang luar biasa yang membuat saya tersadar kalau selama ini saya hidup di bawah tempurung. Ada Dani (darnia) yang koleksi bacaannya benar-benar di luar standar (dulu saya sempat bingung apakah harus memanggil dani mba atau mas :D). Dani ini termasuk salah satu yang berperan dalam peralihan genre bacaan saya. Saya juga ketemu Desi (malambulanbiru), penulis berbakat dengan gaya tulisan yang selalu membuat saya ngiri. Ada Mba Anaz dan Ivonie yang membuka mata saya kalau menjadi TKW tak berarti kita harus melupakan mimpi. Lalu ada Nita yang membuktikan
kalau kekurangan bukanlah halangan untuk maju. dan ada juga
Dila Saktika Negara, ibu guru muda yang sering membuat saya minder dengan determinasi yang dia miliki.

Melalui Multiply, saya juga jadi mengetahui apa itu yang namanya kopdar. Lalu, berbagai review buku ataupun film bagus juga rata-rata saya temukan di Multiply. Bahkan kadang untuk update berita terbaru pun saya dapatkan dari rumah ini (kasus video ariel misalnya). Beberapa tulisan teman-teman MP-ers juga sukses membuka pikiran saya. Dan yang lebih penting, melalui Multiply saya belajar untuk menuangkan segala pikiran saya dalam bentuk tulisan.

Untuk semua alasan di atas, pantaslah jika saya menyebut Multiply sebagai rumah yang paling nyaman.

***

Tulisan ini dibuat dalam rangka ikut serta dalam lomba yang diselenggarakan oleh mba Reny dan Bu Feby.

Foto diambil dari sini.

self controlling

Tadi malam saya baru saja menyelesaikan sebuah novel karangan Nora Umres berjudul Metamorfo(r)love. Sebuah novel yang bercerita tentang Restu -seorang redaktur tabloid hiburan- yang memiliki kecenderungan menyukai laki-laki yang jauh lebih tua darinya. Dalam novel ini diceritakan Restu terlibat hubungan asmara dengan Damar Alam, seorang artis ibukota berstatus duda yang kebetulan memenuhi persyaratan sebagai laki-laki idamannya.

Ada sebuah bagian dari cerita tentang Damar Alam yang menarik perhatian saya. Bagian ketika ia menceritakan latar belakang perceraiannya dengan Kania, mantan istrinya. Di situ diceritakan Kania adalah seorang wanita yang kasar dan tak bisa mengontrol emosinya. Dia tak tahan ketika mendengar anaknya menangis, yang kemudian berakibat terjadinya kekerasan pada buah cintanya sendiri. Dan semua itu dilatarbelakangi oleh bagaimana ia dibesarkan semasa kecil.

Sepanjang masa hidup saya, cukup sering saya mendengar cerita tentang bagaimana anak-anak jaman saya dibesarkan dengan “kekerasan” yang kadang tidak disadari oleh orang tua mereka sendiri. Saya sendiri adalah bagian dari produk pendidikan dengan kekerasan tersebut. Dan karena pada jaman saya tidak mengenal yang namanya Komisi Perlindungan Anak ataupun Kekerasan terhadap anak, maka pada masa itu saya menganggap wajar saja jika orang tua saya menghukum saya dengan hal yang mungkin saat ini sudah bisa dijadikan sebuah kasus.

Kala itu saya tak pernah terpikir kalau proses pendidikan saya di masa kecil tersebut bisa berpengaruh pada kepribadian saya di masa depan. Entah ini pengaruh faktor genetis atau bukan, saya tumbuh menjadi seseorang yang agak sulit mengontrol emosi dan tidak telaten dalam mengajari seseorang. Itu semua mungkin bukan masalah besar jika yang saya hadapi adalah orang yang seusia dengan saya. Karena biasanya saya malah lebih bisa menahan diri pada mereka yang seusia dengan saya. Yang paling saya takutkan adalah ketika ledakan emosi dan ketidaktelatenan itu terjadi pada anak dan orang tua saya nanti.

Saya takut dengan emosi yang saya miliki sekarang ini akan membuat saya bisa dengan mudah melayangkan tangan pada anak saya nanti atau memarahinya dengan kata-kata kasar hanya karena mereka melakukan sedikit kesalahan. Saya juga takut dengan tipisnya kesabaran yang saya miliki akan membuat orang tua saya tersakiti. Saya takut tak cukup telaten ketika waktunya saya merawat mereka nanti. Membentak mereka hanya karena mereka tak cukup mengerti penjelasan saya.

Ah kadang jika membayangkan semua itu membuat saya takut pada diri saya sendiri. Lalu pertanyaannya adalah adakah cara yang bisa membuat saya sedikit lebih sabar dan lebih pandai mengontrol emosi?

spending a boring day

Another morning..

As usual, she came to her office at eight thirty. Open her PC, browsing, checking email, reading article, untill she realise, that maybe today will gonna be another boring day for her. There’s not many things to do. And she get bored with internet these days. In a short way, she feel useless and failed.

But..

Look at the bright side..

She can try to write a short story all day.