[movie scene] My Sassy Girl

“Kopi dua. Kau yang bayar ”

Dengan santainya gadis itu berkata kepada waitress yang bertugas melayani kami, tanpa bertanya terlebih dahulu padaku. Kau mengerti kan? Siapa tahu aku tak suka kopi. Atau jika aku menyukainya, mungkin saja saat ini aku sedang ingin minum yang lain. Lalu bukankah seharusnya aku menyelanya saat dirinya memesan dua cangkir kopi tadi? Dan bukannya duduk terpana seperti yang kulakukan saat ini?

Kali ini gadis itu memandang ke arahku. Hari ini dia mengenakan blouse pink dilapisi cardigan dengan warna senada dan celana khaki 7/8. Wajahnya yang cantik tampak semakin bersinar kali ini. Sungguh berbeda dengan saat pertama kali aku bertemu dengannya beberapa hari yang lalu. Jika memandangnya saat ini mungkin tak akan ada yang percaya kalau dia adalah gadis yang sama kugendong di sepanjang jalan stasiun Bupyung karena terlalu banyak minum dan membuatku harus merasakan tidur di balik terali besi.

“Ceritakan apa yang terjadi.”

Jika saat ini kopi yang dipesannya sudah berada ditenggorokanku, mungkin aku akan tersedak dibuatnya. Alih-alih memperkenalkan diri dan meminta maaf karena telah merepotkanku, dia malah memintaku menceritakan apa yang terjadi beberapa hari sebelumnya. Benarkah dia sudah dengan kejadian tersebut? Ah mungkin saja itu benar. Bukankah waktu itu dia dalam keadaan mabuk berat?

Jadi dari mana sebaiknya aku memulai cerita? Apakah saat aku mencegahnya dari upaya mencelakakan diri sendiri saat sedang menunggu kereta? Atau saat aku tiba-tiba harus bertanggung jawab atas kelakuannya hanya karena dia memanggilku “chagiya” di hadapan puluhan penumpang kereta?

Ah, kadang aku tak habis pikir dengan orang-orang itu. Hanya karena seorang gadis mabuk memanggilku dengan sebutan “chagiya”, lantas mereka langsung berpikiran bahwa aku adalah kekasih dari gadis itu. Padahal jelas sekali di antara aku dan gadis itu tak terlihat sebagai sepasang kekasih. Oke, mungkin benar aku berdiri di dekatnya, satu meter di hadapannya. Aku juga sempat mentertawakan dirinya saat terantuk-antuk di dalam kereta sambil berusaha menahan agar isi perutnya tidak keluar melewati mulutnya. Namun itu bukan berarti aku mengenalnya, bukan? Lagipula gadis pemabuk tidak termasuk dalam daftarku. Dan bukan salahku bukan jika paman itu akhirnya harus membersihkan kepalanya dari muntahan gadis itu. Dia sendiri yang memutuskan meninggalkanku dan berdiri di dekat gadis itu.

Jadi singkatnya setelah menyelesaikan urusanku dengan paman yang sedang sial tersebut, aku akhirnya harus menggendong gadis itu di sepanjang jalan Bupyung. Sebenarnya bisa saja aku meninggalkannya di salah satu bangku di stasiun Bupyung. Tapi sebagai laki-laki sejati tentunya aku tak mungkin melakukannya. Dan bukankah itu yang dilakukan para tokoh pria dalam film romantis tersebut? Mengorbankan kakinya demi seorang gadis cantik, dan di akhir cerita tokoh laki-laki tersebut akan mendapatkan hati perempuan yang ditolongnya tersebut.

Namun rupanya kisahku malam itu jauh berbeda dengan para tokoh laki-laki dalam film romantis tersebut. Setelah berjalan berjam-jam tanpa tentu arah, dengan seorang gadis tak sadarkan di punggungku tentunya. Akhirnya aku menemukan sebuah motel murah. Kalian tentu bisa menebak bukan bagaimana reaksi pemilik motel ketika melihatku masuk ke motelnya dengan seorang gadis mabuk? “Apa yang terjadi pada kekasihmu?” Itulah kalimat pertama yang keluar dari mulutnya. Aku terlalu lelah untuk menanggapi ucapan pemilik motel tersebut dan rasanya takkan ada gunanya jika aku berusaha menyangkal. Yang kupikirkan saat itu adalah segera menurunkan gadis ini dari punggungku.

“Berikan aku kamar kosong,” kataku padanya.

Si pemilik motel mengecek buku catatannya sebentar.

“Kamar 301,” katanya sambil menyerahkan sebuah kunci padaku.

“Tidak ada kamar di lantai satu?”

“Hanya ini kamar yang tersisa. Ambil atau cari motel lain.”

Sampai di sini kuhentikan ceritaku. Sengaja kulakukan untuk mengetahui apakah gadis tersebut benar-benar mendengarkan apa yang kukatakan padanya. Ada sedikit rasa puas ketika kulihat raut wajahnya yang berubah ketika aku berhenti bercerita.

“Jadi aku menyebutmu “chagiya” malam itu? Aku memanggilmu dengan sebutan sayang?” tanyanya setelah beberapa saat ada kekosongan antara kami.

“Benar sekali, Nona.”

Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Lanjutkan ceritamu,” katanya lagi.

Nah, sebenarnya ini adalah bagian yang ingin kuhindari. Menceritakan kelanjutan dari kisah yang sengaja kupotong sebelumnya, mengingat betapa memalukan dan sialnya aku malam itu. Namun jika tidak kuceritakan, gadis itu tidak akan tahu bagaimana dirinya telah menjerumuskanku dalam masalah seperti ini. Lagipula toh aku sudah mengungkapkan tiga perempat cerita. Menambahkan seperempatnya lagi kurasa takkan jadi masalah.

Jadi setelah mengambil kunci kamar 301 itu dari tangan pemilik motel, aku dengan tenaga yang tersisa menaiki satu demi satu tangga motel tersebut. Dengan sebelah tangan kubuka pintu kamar 301, lalu secepat mungkin menuju tempat tidur yang disediakan dan langsung melemparkan tubuh gadis itu di sana. Tak lama sesuatu berbunyi dari dalam tas gadis itu. Kuambil sumber bunyi tersebut, ternyata sebuah telepon genggam. Tanpa berpikir panjang kujawab panggilan tersebut.

Yobeseyo?” Dengan sopan aku menjawab panggilan tersebut.

“Siapa kau? Mana pemilik handphone ini?!!” Terdengar suara seorang perempuan dari ujung sana. Dari nadanya jelas sekali dia terkejut mendapati suara yang didengarnya berbeda dari biasanya.

“Dia sedang tidur di sampingku.”

“Apa? Katakan kalian berada dimana sekarang.”

Oke. Mungkin ini adalah salah satu kebodohan terbesar dalam hidupku. Entah karena terkejut atau memang sedang tak bisa berpikir, dengan tololnya aku memberitahukan alamat motel itu pada perempuan di ujung handphone itu. Bisa ditebak bukan apa yang terjadi beberapa puluh menit kemudian? Benar sekali. Beberapa polisi tiba-tiba mendobrak pintu kamar motel dan menangkap diriku yang sialnya masih ditutupi oleh gelembung sabun. Benar-benar hari yang sempurna.

“Hmm…kurasa aku ingat kejadian itu,” komentar gadis itu setelah mendengar lanjutan ceritaku. Mendengar komentarnya mau tak mau aku diliputi rasa penasaran. Kejadian apakah yang berhasil diingatnya tersebut? Apakah kejadian yang memalukan itu? Saat para polisi itu menembakkan gas air mata kepadaku yang ditutupi gelembung sabun? Ah sungguh…

“Baiklah. Terima kasih atas penjelasannya. Aku pergi dulu.”

Apa?? Apa yang dikatakannya tadi? Dia akan pergi? Astaga gadis ini. Aku bahkan belum sempat menanyakan kejadian apa yang ia maksud tadi, bahkan naman
ya pun aku tak tahu. Dan lihatlah. Dengan santainya dia berjalan meninggalkanku di cafe ini, dengan dua cangkir kopi yang belum dibayar.

***

Sedang belajar menulis dengan gaya yang berbeda. Cerita diambil dari salah satu scene dari My Sassy Girl. Tidak kreatif ya? hehehe

[HIKMAH] jangan asal mengeluh

Suka mengeluh, tidak peka, dan suka mengungkit masa lalu.”

Entah mengapa kalimat itu masih saja terngiang-ngiang di kepala saya, meski sudah hampir satu bulan lebih setelah peristiwa itu terjadi. Terngiang-ngiang sebenarnya mungkin bukan kata yang tepat untuk mengungkapkannya, mengingat kalimat tersebut tidaklah disampaikan secara langsung di hadapan saya, melainkan melalui sebuah surat elektronik. Namun jika mengingat kesan yang saya dapat setelah membaca surat tersebut, saya rasa tak akan ada bedanya jika saya mendengar langsung dia mengucapkan kalimat tersebut atau hanya menuliskannya dalam rentetan kalimat panjang, tajam dan menusuk. Tapi mungkin memang seperti itulah adanya. Mungkin begitulah cara terbaik yang sedang Ia diberikan untuk menunjukkan salah satu kekurangan saya dan memberi peringatan kepada saya.

***

Sebenarnya dia bukanlah orang baru dalam hidup saya. Kami sudah saling mengenal bertahun-tahun yang lalu, saat di bangku kuliah. Dia berada di kelas A, saya berada di kelas B. Sebuah alasan yang tepat untuk ketidakakraban yang terjadi di antara kami berdua. Bahkan kalau mau sedikit mengingat, satu-satunya percakapan yang terjadi antara kami selama empat tahun masa kuliah adalah ucapan “Hai” saat secara tak sengaja bertemu di sebuah tempat.

Namun dengan hal itu bukan berarti saya tidak tahu sama sekali tentang dirinya. Sebagai rekan satu angkatan tentunya bukanlah hal aneh jika seseorang mengetahui kabar temannya cukup dari mulut orang ketiga. Tentang kecelakaan yang ia alami, misalnya. Saat itu saya dan teman-teman lain sedang asyik duduk-duduk di ruangan menunggu kedatangan seorang dosen. Kemudian seorang teman tiba-tiba datang, duduk dengan santai diantara kami semua, dan berkata, “Adi mengalami kecelakaan tadi pagi. Motornya tergelincir di jalan.”

Lain lagi dengan berita tentang dirinya yang “jadian” dengan salah seorang teman seangkatan kami lainnya. Saat itu saya dan dia ada di semester enam. Berita tersebut cukup menghebohkan mengingat tak ada satupun pertanda kalau kedua orang tersebut saling “flirting”. Berbagai spekulasi beredar antara saya dan sahabat tentang bagaimana mereka bisa jadian. Pembahasan yang sebenarnya tidak perlu mengingat saya sendiri pun mengalami hal yang sama dengannya, pada periode yang sama.

Waktu berlalu dengan cepat. Saya dan dia sama-sama lulus dari kampus. Kami sama-sama bekerja. Dia diterima di sebuah instansi pemerintahan, dan saya bekerja di konsultan teknik sipil. Selama periode “bekerja” tersebut tak pernah terpikirkan di benak saya kalau pada akhirnya saya akan bersentuhan dengan dunianya, dan tentunya mendapat pelajaran darinya.

Semuanya berawal dari Facebook. Ya, siapa yang tak kenal dengan jejaring sosial yang satu itu? Keberadaan Facebook dengan sukses mempertemukan mereka yang tak saling mengenal, mengakrabkan mereka yang jauh, bahkan kadang menautkan mereka yang berjodoh. Awal mula keakraban saya dengannya pun dimulai dari sini. Beberapa kali dia menyapa saya melalui fasilitas chatting yang ada di Facebook. Tak intens memang, namun cukup membuat saya merasa akrab. Apalagi belakangan saya mengetahui kalau dia mengalami nasib yang sama dengan saya, putus cinta setelah menjalin hubungan sekian tahun. Kondisi yang membuat saya berpikiran kalau saya curhat padanya, tentu tidak akan ada masalah. Nyatanya, saya salah besar.

Masalah bermula ketika dengan satu hari saya dengan cueknya bertanya tentang mantannya dan mengungkapkan kekesalan saya gagalnya hubungan saya di masa lalu. Awalnya dia masih memberikan tanggapan yang baik. Namun entah kenapa kemudian dia tak lagi menjawab teguran saya. Mendapat firasat tak baik, saya pun bertanya padanya. Apakah dia marah pada saya? Dan saya mendapat jawaban singkat. YA.

Mendapat jawaban seperti itu saya pun mulai berpikir kalimat apa pada percakapan via Yahoo Messenger yang kami lakukan yang membuat dia tersinggung. Waktu itu saya benar-benar tak punya bayangan selain karena saya telah mengungkit masa lalunya. Saya berinisiatif meminta maaf yang disambut dingin olehnya. Jujur saat itu saya merasa tidak puas dengan tanggapan yang diberikan olehnya. Akhirnya saya mengirimkan sebuah email untuknya, yang berisi permintaan saya kepada dia untuk memberi penjelasan kesalahan yang saya buat.

Beberapa hari setelah email tersebut terkirim, akhirnya saya mendapat balasan. Dalam email balasan yang dikirimkan olehnya akhirnya saya memperoleh kejelasan mengenai kesalahan saya. Intinya selain mengatakan hal-hal seperti yang tertulis di paragraf pembuka tadi, dia juga tidak terima dengan beberapa pendapat saya yang menurutnya menyamakan dirinya dengan mantan pacar saya. Membaca email balasannya tersebut sempat membuat saya tersenyum geli dan bingung. Bagian mana dari kalimat saya yang menggambarkan kalau saya menyamakan dirinya dengan lelaki yang meninggalkan saya? Dan bagaimana mungkin saya menyamakan dia dengan mantan pacar saya, sementara selama ini saya menganggap baik dirinya dan saya adalah korban. Namun kenyataannya, selain murni karena kecerobohan saya dalam berkata-kata, telah terjadi pula kesalahpahaman dalam mengartikan tulisan yang saya kirim.

Mengetahui bahwa permasalahan yang terjadi antara saya dan dia lebih banyak karena salah paham, sempat membuat saya merasa sangat kecewa. Kenapa? Karena hal tersebut membuat saya merasa ia telah menghakimi saya, tanpa berusaha lebih jauh untuk mengenal saya. Tapi mungkin memang disitulah letak kesalahannya. Kami memang tak benar-benar saling mengenal. Pertemanan kami hanya sebatas pembicaraan singkat di dunia maya, dengan media tulisan yang kadang kala tidak mewakili emosi sebenarnya dari diri kami masing-masing. Saya dan dia masih berada pada level teman kemarin sore, dan bukan teman bertahun-tahun. Kondisi yang tentunya tidak bisa membuat saya dengan mudah berkata, Hei, saya lagi sakit nih, padanya dan berharap dia akan mengerti dan memberikan saya sedikit pencerahan.

Selama beberapa waktu saya berusaha menerima keadaan, dan tak lagi mengganggunya. Namun entah mengapa dalam situasi “diam” tersebut ada bagian dari diri saya yang tak terima dengan tuduhan yang diberikan olehnya. Saya ingin membuktikan kalau saya tidak seperti yang ia ucapkan dalam email balasan yang ia kirimkan kala itu. Belum lagi dengan kenyataan bahwa kalimat itu terus menerus menghantui saya selama berminggu-minggu, yang hingga akhirnya membuat saya memutuskan untuk memulai lagi pertemanan dengannya.

Saat ini, hampir tiga bulan berlalu setelah peristiwa itu terjadi. Alhamdulillah hubungan pertemanan saya dan dia sudah sedikit membaik, dengan beberapa catatan tentunya. Banyak hikmah yang saya peroleh dari kejadian kala itu. Kritikan pedasnya sukses membuka mata saya atas salah satu sisi gelap saya yang tak pernah diungkapkan orang lain. Membuat saya belajar untuk lebih bisa memilih kemana seharusnya saya menumpahkan uneg-uneg saya, dan tentunya mengajarkan saya untuk berpikir dahulu sebelum berkata-kata.

***

Tulisan ini diikutkan d
alam lomba yang diselenggarakan oleh Fauzi Atma, yang berhadiah 3 buah buku
Be Strong, Indonesia!#8 untuk 3 pemenang serta satu buku Be Strong, Indonesia#13 untuk pengomentar terbaik. Buku ini merupakan kumpulan cerpen dari para penulis yang royalti dari penjualannya akan disumbangkan kepada para korban bencana banjir di Wasior, letusan Merapi, dan tsunami Mentawai.

Gambar pinjam di sini.

chaiyya-chaiyya

Gara-gara kelakuan anggota brimob yang satu ini, membuat saya kangen untuk menonton lagi versi asli dari lagu chaiya-chaiya yang dia nyanyikan. Lagu ini merupakan original soundtrack dari film Dil Se yang diproduksi pada tahun 1998. Diciptakan oleh A.R. Rahman, Chaiya-chaiya berhasil memperoleh 3 penghargaan di Filmfare award 1999, yakni untuk koreografi terbaik, lirik terbaik, music director terbaik, dan playback singer terbaik.

Berikut lirik lagu dan terjemahannya :

jinke sar ho ishq ki chhaanh He whose head is in the shadow of love
pao.n ke neeche jannat hogi will have heaven beneath his feet.
jinke sar ho ishq ki chhaanh Whose head is in the shadow of love…
chal chhaiyya Walk in the shadow.
Paon jannat chale chal chhaiyyan Walk in heaven, walk in the shadow.

vo yaar hai jo khushboo ki tarah There’s a friend who is like a sweet fragrance,
jiski zubaan urdu ki tarah whose words are like Urdy poetry
meri shaam raat meri qayaamat who is my evening, my night, my resurrection.
vo yaar mera saiyya saiyya That friend is my beloved!

Chorus

gulposh kabhi itaraye kahi Sometimes (my beloved) flirts like a flower,
maheke to nazar aa jaaye kahi so fragrantly that you may see her scent.
taaweez banake pahanu use Having made it into an charm, I will wear it.
aayat ki tarah mil jaaye kahin She shall be obtained as a miracle is obtained.
mera nagama vahi mera qalama vahi She is my song, my declaration of faith
vo yaar hai jo imaam ki tarah My friend is like a priest to me.
mera nagama nagama mera qalama qalama My song… my declaration of faith…
yaar misale os chale She moves like the dew.
paon ke tale firdaus chale She walks with the garden of heaven beneath her feet,
kabhi Daal Daal kabhii paat paat sometimes through branches, sometimes amidst leaves.
mai.n hawa pe DhunDhuu us ke nishaan I shall search the wind for her trail!

Chorus

mein uske roop ka shehdaai I trade in her beauty.
vo dhoop chhanhon sa harjaai, she flits shamelessly from sun to shade.
vo shokh rang badalta hai She changes her bright colors;
mein rang roop ka saudaee I negotiate that as well.

(Lirik dan translasi dipinjam dari sini)

Farewell Yongseo



Every good thing must come to an end. Setiap hal baik pada akhirnya harus berakhir. Begitu pula perjalanan pasangan virtual kesayangan saya ini. Setelah melewati 397 hari mereka di We Got Married, Jung Yong Hwa dan Seo Joo Hyun pada akhirnya harus mengakhiri “pernikahan” mereka.

Memulai “pernikahan” dengan tidak saling mengenal satu sama lain, pertemuan pertama yang benar-benar canggung, belajar membangun hubungan dari nol, hingga pada akhirnya harus berpisah di saat mereka sudah benar-benar nyaman satu sama lain, tentunya bukan hal yang menyenangkan. Memang benar ini hanyalah sebuah “reality show“. Namun jika melihat effort yang mereka berikan satu sama lain untuk “menyukseskan” pernikahan ini, maka bukan tidak mungkin apa yang mereka lakukan juga melibatkan perasaan mereka masing-masing.

Menyaksikan episode terakhir (saya lebih suka menyebutnya sebagai final episode) Yongseo hari Sabtu yang lalu, mau tak mau saya harus menitikkan air mata. Seo Hyun yang sepertinya tak mau berpisah dengan Yong Hwa. Yong Hwa yang akhirnya mewujudkan keinginannya membelikan Seo Hyun gitar yang tak mampu dibelinya di hari kedua pertemuan mereka, plus sebuket mawar merah. Seo Hyun yang juga akhirnya berhasil berbicara dengan bahasa banmal (non-formal) pada Yong Hwa. Semuanya terlihat begitu indah, yang ironisnya terjadi di hari-hari terakhir pernikahan mereka.

Dalam forum yang saya ikuti, beberapa member dengan berani mengatakan kalau We Got Married adalah Reality Show yang kejam. Kejam bagi mereka yang menjalaninya dan kejam bagi bagi mereka yang menontonnya. Mereka mempertemukan dua orang dalam sebuah hubungan virtual. Memberikan mereka tugas-tugas yang harus dilakukan bersama-sama. Membuat pasangan tersebut (mungkin) saling memiliki rasa satu sama lain, membuat mereka kesulitan membedakan antara pekerjaan dan kenyataan. Para penonton pun jatuh cinta pada pasangan tersebut. Dan saat cinta itu terasa semakin besar, mereka (penonton dan pelaku WGM) dipaksa untuk berpisah. Kejam dan menyakitkan.

Jika WGM adalah sejenis drama, tentu dengan mudah penonton bisa mengatakan kalau pasangan favorit mereka sedang berakting. Sayangnya WGM bukanlah drama. Ini adalah sebuah reality show. Reality Show yang bagi saya memberikan gambaran langsung bagaimana dua orang yang tidak saling kenal tiba-tiba terikat pernikahan. Apa yang mereka lakukan tidak berdasarkan script layaknya sebuah drama. Tak ada konflik yang benar-benar tajam, tak ada orang ketiga ataupun peran antagonis untuk membuat cerita lebih menarik. Semuanya murni tentang pasangan tersebut dan bagaimana mereka me-manage pernikahan virtual mereka. Kadang mereka bertengkar, kadang terjadi salah paham karena kurangnya komunikasi, kadang juga romantis, dan bahkan kadang apa yang mereka lakukan di reality show tersebut berkaitan langsung dengan kehidupan nyata mereka. Membuat penonton mengalami kesulitan membedakan apakah mereka sedang berakting atau tidak.

Setelah WGM Yongseo berakhir, maka mungkin saya takkan lagi bisa menyaksikan 2 orang idola Korea ini tertawa bersama atau berbicara dengan akrab seperti yang saya saksikan dalam setiap episode mereka di WGM. Setelah ini mereka akan kembali ke kehidupan nyata mereka, menjalani kehidupan sebagai idola, yang jika bertemu mungkin tak bisa berinteraksi seakrab seperti di WGM, karena akan menimbulkan skandal.

Kadang saya berharap para pecinta Idol di Korea Selatan sana bisa lebih rasional dalam mencintai idolanya. Karena seperti yang diketahui, para fans di Korea terkenal sangat posesif terhadap idolanya. Sebuah kondisi yang membuat para idola di Korea tak bisa dengan leluasa mengumumkan hubungan mereka, karena akan sangat berpengaruh pada kelangsungan karir mereka. Mungkin karena hal itulah We Got Married hadir, agar para fans irrasional tersebut bisa memahami, kalau idola mereka juga berhak mencintai.