wedding party, reuni dan kopdar

Kemarin saya didampinggi adik perempuan saya menghadiri acara pernikahan salah seorang teman kuliah di Banjabaru. Biasanya saya agak malas menghadiri pernikahan di luar kota. Namun karena acara pernikahan kali ini cukup istimewa, maka saya dengan senang hati menghadirinya.

Salah satu hal yang membuat acara pernikahan ini istimewa adalah karena acara ini sekaligus menjadi acara reuni bagi angkatan kami setelah bertahun-tahun terpisah. Beberapa teman bahkan sengaja datang dari luar kota untuk menghadiri acara pernikahan ini. Ada yang dari Amuntai, Kapuas, hingga Bontang. Ada yang datang sendiri, ada yang datang dengan pasangannya, dan ada juga yang datang bersama buah pernikahannya. Memang teman-teman yang terkumpul tak sampai separo dari jumlah kami jaman kuliah dahulu. Namun hal itu tidak mengurangi serunya reuni hari itu.


Selain sebagai acara pernikahan dan reuni, acara kemarin juga bisa dikatakan sebagai kopdar saya dengan salah seorang teman di facebook, Rina (baju merah di samping saya). Dua orang yang selama ini hanya berakrab ria di dunia maya akhirnya bisa bertemu juga. Rina hari itu datang bersama calon suaminya yang juga merupakan teman kuliah saya. Dan mereka juga dipertemukan oleh facebook :D. Well, tak selamanya juga facebook membawa masalah. Dan pertemuan saya dengan Rina yang tak sampai 15 menit itu sungguh berkesan bagi saya. Rina yang asli ternyata tak berbeda dengan yang saya kenal di dunia maya. Cantik dan ramah. Yang saya tidak menyangka adalah tingginya yang menjulang. Membuat saya serasa jadi liliput berdiri di sampingnya 😀

Sepulang dari acara pernikahan saya dan Ani menyempatkan diri mampir ke rumah Hani -teman jaman kuliah juga-. Bermain-main bersama putrinya yang cantik, Saila, dan menyambung kembali nostagia yang terputus di acara pernikahan.




jelang pemilihan gubernur kalsel

Beberapa jam lalu di Metro TV disiarkan debat cagub-cawagub untuk provinsi saya tercinta. Debat ini diikuti oleh 5 kandidat
1. Khairil Wahyuni – Alwi Sahlan (Khawal)
2. Sjachrani Mataja – Gt. Farid Hasan Aman (Safa)
3. Rudi Arifin – Rudy Resnawan (Dua Rudi)
4. Rosehan NB – Saiful Rasyid (Rossa)
5. Zairulah Azhar – Habib Abu Bakar Al Habsyi (ZA)

Semua kandidat gubernur yang disebutkan di atas, kecuali nomor 1, setahu saya saat ini masih menjabat sebagai pejabat pemerintahan. Sjahrani Mataja adalah bupati kabupaten Kotabaru, Rudi Arifin selaku gubernur Kalsel, Rosehan juga masih menjabat sebagai wagub Kalsel, dan Zairullah yang tercatat sebagai bupati kabupaten Tanah Bumbu.Untuk Khairil Wahyuni, setelah saya tanya-tanya sama mbah Google, ternyata beliau adalah pegawai PLN 😀 .

Tak banyak yang bisa saya katakan soal acara debat tadi. Kalau menurut saya sih namanya debat yang adu argumen. Dan adu argumen tidak menjamin bagus tidaknya seorang kandidat. Begitu juga kampanye. Dalam kampanye juga orang bisa saja menjanjikan bermacam-macam hal. Namanya juga kampanye, tujuannya menjaring dukungan sebanyak-banyaknya.

Saya hanya bisa berharap siapapun gubernur yang terpilih nanti bisa membawa Kalsel menjadi lebih baik. Nggak ada lagi pemadaman bergilir, dan eksploitasi akan batu bara. Dua hal yang sangat ironis untuk Kalimantan Selatan.

Hmm…kalau sudah begini saya jadi merindukan sosok-sosok itu, para sahabat Rasulullah. Yang ketika menjadi pejabat kehidupannya tak lebih baik ketimbang rakyat yang dipimpinnya. Yang kadang tidur beralaskan pakaiannya di pinggir jalan. Yang begitu sederhananya sehinggga kadang orang tak mengenali mereka. Yang gajinya disumbangkan seluruhnya ke Baitul Maal, sedangkan mereka sendiri hidup dari hasil berdagang. Mungkin ini agak mengada-ngada. Tapi semoga saja suatu saat kita bisa menemukan pemimpin seperti itu 😀


Married by Guarantee

Dalam Islam, perempuan dinikahi karena 4 hal. Hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Bagaimana dengan laki-laki? Sejauh yang saya ketahui, untuk memilih calon suami, maka kita perempuan dianjurkan memilih yang baik agama dan akhlaknya. Kenapa? Karena jika laki-laki itu mencintai kita, maka dia akan memuliakan kita, dan jika laki-laki itu tidak mencintai kita, dia tidak akan merendahkan kita. Correct Me If Wrong yach 🙂

Oke..cukup pengantarnya. Yang ingin saya bahas kali ini adalah tentang memilih calon suami menurut pengamatan saya. Yaah..beberapa minggu ini nggak tau kenapa otak saya dipenuhi dengan teori seputar pernikahan. Mungkin karena pengaruh umur. Mungkin juga karena kondisi saya yang memang sedang dilema 😀

Kalo ada orang bertanya, kriteria calon suami saya apa? Maka pasti akan muncul jawaban standar macam gini : agama bagus, punya pekerjaan halal, humoris. Soal fisik? Ah itu cukup saya saja yang tau standarnya. Lalu didatangkan kepada saya seorang laki-laki yang kalo menurut standar orang tua saya pas banget buat saya. Harusnya saya mau dong. Tapi nyatanya tak semudah itu jika kita berbicara masalah perjodohan. Ada faktor X yang membuat saya tak serta merta setuju untuk menerimanya.

Kemudian entah kenapa kemudian saya terpikir akan satu hal. Ternyata setelah saya amati, kadang perempuan memilih menikah dengan seorang pria bukan hanya karena cinta, bukan juga semata karena agama dan akhlak yang baik, tetapi juga karena jaminan yang akan ia peroleh nantinya. Dalam hal ini tentunya maksudnya adalah jaminan akan tercukupinya materi bagi si perempuan. Bahkan kadang saya melihat faktor “jaminan” ini jauh lebih dominan ketimbang faktor cinta itu sendiri. Contoh sederhana bisa kita liat pada para artis yang menikah dengan pengusaha 😀

Jaminan akan kehidupan yang lebih baik. Entah kenapa tiba-tiba hal ini mulai mengusik pikiran saya. Saya kadang miris ketika mendengar cerita seorang laki-laki ditinggalkan pacarnya karena sang pacar lebih memilih menikah dengan laki-laki lain yang jauh lebih mapan dari pacarnya itu. Tapi saya juga tak bisa menyalahkan si perempuan. Sebagai perempuan dia, dan juga saya punya hak untuk mendapatkan suami yang bisa mencukupi kebutuhan kita. Atau kadang ada orang tua yang memaksa anaknya untuk menikah dengan lelaki pilihan mereka. Saya juga tak bisa menyalahkan orang tua tersebut. Toh apa yang dilakukan orang tua adalah untuk kebahagiaan anaknya. Dan kadang kadar kebahagiaan itu diukur dengan materi. Ibu saya sendiri menikah juga karena faktor jaminan itu sendiri. Dan apakah beliau bahagia dengan pernikahan yang berusia 27 tahun ini? Entahlah. Saya tak pernah menanyakannya.

Lalu bagaimana jika hal itu terjadi pada saya? Ada laki-laki baik dan mapan datang kepada saya, tapi nyatanya hati saya tak bisa menerimanya. Lalu saya menemukan laki-laki lain yang secara finansial tak semapan laki-laki pertama, dan saya merasa klik dengan dia. Manakah yang harus saya pilih? Apakah saya juga akan mengikuti para perempuan yang menikah karena jaminan yang akan diperoleh setelah menikah? Atau saya tetap berkeras dengan pilihan saya yang menurut kata hati saya akan lebih membahagiakan saya?

Jika saya mengikuti saran orang tua, maka saya mungkin akan bahagia. Toh laki-laki itu mencintai saya. Karena kata orang, perempuan memang lebih baik menikah dengan lelaki yang mencintainya. Dan keputusan saya itu akan disambut dengan senyum sumringah orang tua. Namun jika tetap ngotot untuk menikah dengan lelaki pilihan saya, maka saya harus siap-siap membuktikan pada orang tua bahwa saya tidak salah pilih. Bahwa ketika ternyata saya harus hidup sederhana dengan lelaki pilihan saya orang tua saya tetap melihat saya bahagia. Karena jika tidak begitu, maka saya harus siap-siap “ditiwas” (ini bahasa indonesianya apa ya?) dengan kata-kata, “Makanya dengerin kata Emak dulu”

Yah semoga saja orang tua saya bukan tipe yang seperti itu 😀

NB : Tengah malam kok nulisnya panjang banget gini ya?




menjadi abu-abu

Salah satu yang saya sukai dari drama Korea adalah, tokohnya yang tidak melulu hitam putih. Yang baik tak selamanya berhati malaikat, sebaliknya yang jahat sepertinya memiliki alasan yang logis untuk menjadi jahat. Walaupun tetap saja, kita akan dibuat sebal setengah mati dengan tokoh “penjahat” itu, akan tetapi, lagi-lagi kita akan maklum kenapa orang itu bisa menjadi jahat.

Zona abu-abu, begitu biasanya kita menyebutnya. Dan kali ini saya sedang tidak ingin membahas tentang drama Korea itu, melainkan tentang si Abu-abu ini.

Menjadi jahat, tentunya bukan sebuah pilihan yang baik. Walaupun mungkin katanya ada yang memang sifat bawaannya untuk berpotensi menjadi jahat, tetap saja itu bukan pilihan yang baik. Bagi saya sendiri, menjadi jahat adalah sebuah pilihan di saat saya sudah merasa tidak bisa lagi menjadi baik. Dan di sinilah saya merasa menjadi seorang yang Abu-abu.

Selama 26 tahun masa hidup saya ini, seingat saya baru 2 kali saya berkata sangat tidak menyukai seseorang, dan memutuskan untuk menghindari interaksi dengan orang itu. Pertama pas masih kuliah, dan kedua, sekarang. Sebenarnya ini bukan pilihan yang menguntungkan. Mengingat saya bukan orang yang pandai bergaul, dan lingkup pertemanan saya yang terbatas. Memusuhi orang sama artinya dengan mengurangi jumlah teman saya yang memang sudah sedikit. Dan seperti yang saya sebutkan di atas, saya mempunyai alasan untuk menjadi si Abu-abu yang memusuhi orang.

Jika pada saat masih kuliah dulu saya memusuhi orang karena sakit hati belaka, maka sekarang ini keputusan saya memusuhi orang adalah karena sifat orang itu yang benar-benar tidak bisa saya kompromikan. Pada awalnya, saya merasa terganggu dengan sifatnya yang suka meremehkan saya, membuat saya terintimidasi. Keputusan pertama saya adalah, sebisa mungkin berinteraksi dengannya. Kenapa? Karena saya tidak mau terpengaruh oleh intimidasi yang dia lakukan. Lalu dalam perkembangannya muncul lagi penyebab baru yang pada akhirnya membuat saya memutuskan benar-benar memutus interaksi dengan orang ini. Dan untuk penyebab kedua ini lagi-lagi saya harus menyalahkan “rumah sebelah”. Haha.

Entah kenapa saya tidak suka pada mereka yang terlalu mengumbar emosinya di facebook. Dan lebih tidak suka lagi jika ada yang menyindir orang lain di facebook. Dengan maksud agar orang yang disindir merasa, dan mungkin tersulut emosinya. Bagi saya tindakan seperti itu menggambarkan betapa tak bisa dipercayanya orang itu. Hanya untuk mengingatkan kawannya, dia menyebarkannya ke seluruh dunia. Sigh. Jika maksudnya ingin mengingatkan, kenapa tidak berbicara langsung saja? Bicara empat mata. Tak perlulah orang lain tahu.

Memang bukan saya yang disindir. Tapi entah kenapa prinsip hidup saya terganggu menghadapi kondisi seperti ini. Orang yang hanya berani mengumbar kata-kata di facebook, dan bersikap seolah-olah kata-katanya tak membawa pengaruh apapun pada yang membaca. Lalu setelah dia menyindir temannya sendiri di facebook, dengan tak tahu malunya dia minta tolong pada si kawan itu. Benar-benar bermuka dua. Huh.

Ketidaksukaan secara pribadi, dan rasa setia kawan. Dua hal yang membuat saya menjadi si abu-abu selama berminggu-minggu ini. Semoga si Abu-abu ini dapat segera menemukan kembali pemutih hatinya. Karena kalau tidak, hati saya akan semakin rusak karenanya 🙂


NB : Lagi-lagi harus menumpahkan kekesalan dengan cara seperti ini. Tapi mungkin ini lebih baik ketimbang saya balas menyindir orang di fesbuk.

pertanyaan

ada banyak pertanyaan muncul di benak saya akhir-akhir ini

bagaimana saya menemukannya?

kapan?

semuanya cukup menambah beban pikiran saya

dan sekarang

muncul satu pertanyaan baru

bagaimana jika “dia” mendahului saya?

akan seperti apakah rasanya?

hmm…

sepertinya saya harus menemukan

tempat yang benama ujung dunia 😀