Gita sedang berdiri di balik kaca rumahnya. Pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang sedang makan di belakangku. Sesekali kami menggodanya dengan memanggil-manggil nama Deny, cowok yang sedang dipandanginya dengan tatapan penuh cinta. Kalau sudah begitu, Gita pun akan menjerit karena malu. Dan hal itu dilakukan oleh anak berusia kurang dari 4 tahun.
Sebelumnya sang kakak, Anya, juga pernah melakukan hal yang sama. Anya, yang usianya juga belum genap 5 tahun pernah mengekori seorang arsitek Jakarta yang datang ke kantor kami. Dengan lugunya dia berkata kalau dia jatuh cinta pada sang arsitek. Dan jangan salah. Sang arsitek yang dikejar-kejarnya ini memang benar-benar gagah dan keren. Bahkan di mata kami yang notebene sudah jauh lebih besar dari Anya.
Itulah sebagian kisah mengenai Gita dan Anya, putri-putri dari salah satu pemilik saham perusahaan, mereka berdua bisa dibilang sebagai anak impian para ibu-ibu. Terlebih untuk Gina. Wajahnya cantik bak boneka, kulitnya putih bersih, dan bicaranya pun fasih bak anak usia 4 tahun. Seandainya tidak tinggal di Banjarmasin, mungkin Gita bisa menyaingi Baim untuk kategori balita paling menggemaskan.
Tapi yang membuat kami semua tak habis pikir adalah, darimana anak sekecil mereka mengenal kata-kata cinta? Darimana mereka belajar “filrting” pada cowok? Dan darimana mereke belajar menilai kekerenan seorang cowok? Perasaan saya dulu waktu masih seumur mereka cuma ngerti main-main deh. Apakah itu karena pengaruh lingkungannya? Yang mana dikelilingi oleh kami, perempuan-perempuan 20-sekian yang sedang mencari belahan jiwanya? Secara kantor kami memang terletak di samping rumah pribadi keluarga bos. Atau memang anak kecil jaman sekarang sudah lebih cepat dewasa sebelum umurnya?
Dan ketika kami kembali memandang Gita dan Anya, kami pun mulai membayangkan bagaimana repotnya orang tua mereka nantinya. Dua putri cantik yang terlahir bak permata, dan sudah tertarik pada lawan jenis di usia kurang dari 5 tahun. Bagaimana cara menjaganya?